Republiknews.co.id

Abdul Muin Kamus Hidup Olahraga Akuatik Indonesia

Drs. H. Abdul Muin diterima Presiden RI Soeharto, setelah menerima penghargaan di Istana Negara 9 September 1995.

REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Pada tanggal 12 Mei 2021 ini, Drs. H. Abdul Muin genap berusia 80 tahun. Ketua Umum Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) Hilmi Panigoro, 20 Maret 2013 menganugerahkan penghargaan Pembina Akuatik Terbaik Indonesia Seumur Hidup kepada Drs. H.Abdul Muin, penghargaan itu diberikan atas usaha yang dilakukan berupa pengorbanan yang disumbangkan selama hidupnya bagi membangun dunia akuatik Indonesia.

Penghargaan tersebut dimaksudkan untuk mendorong pribadi-pribadi luhur lainnya guna ikut membangun dan dan mengembangkan insan akuatik Indonesia. Abdul Muin satu di antara dua orang Sulawesi Selatan yang menerima penghargaan itu dan tidak cukup sepuluh orang dari seluruh Indonesia. Di tengah kebanyakan teman se-penerima penghargaannya banyak yang sudah tiada, Abdul Muin masih selalu menghadiri berbagai kegiatan olahraga akuatik tingkat nasional.

Abdul Muin tidak sendiri memperoleh penghargaan kategori pembina tersebut. Dia bersama lima orang lainnya, Dadeng Kunia, Datuk Hakim Thantawi, Johannes Indradjaja (alm.), Lily Maria Sutedja, dan Suworo.  Seorang asal Sulawesi Selatan lainnya yang memperoleh penghargaan seperti ini untuk kategori pelatih atas nama MN Aliman Marzuki (alm.).

Tidak hanya itu, Abdul Muin juga termasuk penerima Tanda Penghargaan Olahraga Adimanggalya Krida selaku Wasit Renang Nasional dan Internasional dari Menteri Pemuda dan Olahraga Hayono Isman pada 4 September 1995. Pada tahun itu, Presiden Soeharto pun sempat menerma Abdul Muin bersama para penerima lainnya di Istana Negara bertepatan dengan Hari Olahraga Nasional 9 September.   
Dari Chairman Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, The Phillipine-Easr Growth Areas (BIMP-EAGA) Sprts Council 2006 asal Fili[ina Leon G.Montemayor, Muin juga diganjar penghargaan atas kontribusi dan partisipasinya yang tiada henti dalam kegiatan olahraga kawasan timur ASEAN tersebut. Muin ditempatkan sebagai salah seorang pemrakarsa lahirnya BIMP-EAGA.

Pria kelahiran Soppeng 12 Mei 1941 ini boleh dikatakan sebagai kamus hidup cabang olahraga akuatik Indonesia, lebih khusus lagi di Sulawesi Selatan.

Sejak Mahasiswa

Muin pada mulanya belajar di Sekolah Tinggi Olahraga (STO) Makassar, yang waktu itu  berkampus di Jl. Andi Mappanyukki kemudian beralih ke Stadion Mattoanging yang baru berusia 7 tahun ketika itu. Dari Stadion Mattoanging, Kampus STO beralih ke Bantabantaeng, lokasi Kampus Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Universitas Negeri Makassar (UNM) sekarang.

Pada awalnya Muin sebenarnya berniat melanjutkan pendidikan ke Akademi Pendidikan Djasmani (APD) Bandung, mengikuti jejak Ilyas Haddade dan M.Tahir Djide (alm.) yang melanjutkan pendidikan ke kota itu. Namun  Razak Hane menghentikan rencananya dengan mengatakan akan membuka Program Pendidikan B1 Pendidikan Jasmani. Muin pun tergerak hatinya dan mendaftar bersama 80 orang lainnya. Dia ada di antara 30 orang yang dinyatakan lulus, bersama antara lain Naim Sulaeman (alm.) dan Wim Parinusa. Kebanyakan angkatannya sudah meninggal dunia.

Di program B1 ini, Muin bertemu dengan M.Djafar (alm.) yang juga asal Soppeng yang langsung duduk di tingkat II. Itu bersamaan dengan terbentuknya Jurusan Pendidikan Jasmani Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Cabang Universitas Hasanuddin yang kelak menjadi cikal bakal  lahirnya IKIP Ujungpandang.

“Jadi saya punya sarjana muda itu dari Unhas,” ujar Muin kepada penulis 8 April 2021 dalam bincang-bincang di Kantor KONI Sulawesi Selatan.

Seminggu setelah meraih gelar sarjana muda lengkap (Bachelor of Arts – B.A.) dari Unhas, 1964, Unhas memperoleh panggilan Departemen Olahraga mengikuti penataran Pelatih Olahraga se-Indonesia di Jakarta. Di antara beberapa nama yang ikut dipanggil adalah Suwardi Arland (sepakbola), Bonny (bulutangkis), Kadir Hambali (bola voli), Nur Ahmad (bola basket), Rasmin dan Amir Sakiman (senam).

Muin berangkat bermodalkan selembar ijazah sarjana muda yang baru diraihnya di Unhas. Hanya ada sedikit uang di saku.  Berbeda dengan teman-temannya  lain yang sudah menjadi guru (pegawai negeri negeri) enak, seperti Kadir Hambali (alm.) . Untung ada Suwardi Arland. Usai bertemu dengan kawan-kawan lamanya di Jakarta, saat kembali ke Wisma Atlet Senayan Suwardi dapat mendapat “saweran” dari teman-temannya, juga berbagi dengan  Muin.

Di sekitar Wisma Atlet di Senayan, tempat para peserta ditampung, dipenuhi tentara. Semua orang harus mengikuti aturan jam malam. Pukul 18.00 WIB tidak boleh lagi ada orang yang keluar WISMA kecuali tentara. Masalahnya waktu itu, baru saja terjadi kasus kudeta yang dilaksanakan oleh kelompok yang menamakan diri Gerakan 30 September/G.30.S.) yang didalangi Partai Komunis Indonesia.

Penataran yang semula berlangsung seminggu, khusus untuk cabang renang ditambah 2 minggu.  M.F.Siregar yang nama lengkapnya Mangombar Ferdinand Siregar, tokoh olahraga nasional yang kemudian pernah menjabat Sekjen Pengurus Besar Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PB PBSI) termasuk yang kenal baik dengan Muin, Siregar dijuluki sebagai teknorat olahraga Indonesia dan juga pernah menjabat Sekretaris Jenderal KONI  selama 15 tahun (1971 s.d. 1986).

Ketika menjabat Sekjen PB PBSI, Siregar berhasil mengantar tim bulutangkis Indonesia meraih dua medali emas di Olimpiade Barcelona 1992, saat pasangan pemain yang kemudian menjadi suami istri, Alan Budikusuma dan Susy Susanto mengibarkan bendera Merah Putih di ajang itu.

Di saat menunggu kepulangan M.F.Siregar dari Amerika Serikat. Muin didatangi staf dari Departemen Olahraga.

“Siapa yang belum menjadi pegawai negeri di antara peserta,” staf Departemen Olahraga itu bertanya.
“Saya, Pak,”, jawab Muin yang langsung mengangkat tangannya.
“Ada bawa ijazah?,” staf itu bertanya lagi. “Ada, Pak,” sahut Muin.
“Tolong difotocopy satu lembar,” pinta staf tersebut. 
Saat hendak kembali ke Makassar, Muin sudah mengantongi surat keputusan pengangkatannya sebagai pegawai negeri. SK yang prosesnya hanya berlangsung seminggu itu menempatkan Muin di Kantor Departemen Olahraga Sulsel yang ketika itu dipimpin Pak Amir, ipar dari Jack Nur, salah seorang atlet Sulsel.

Setelah kembali dari penataran, menjelang G.30.S.PKI pada tahun 1965, di Jakarta berlangsung  Pekan Olahraga Mahasiswa (POM). Tim Polo Air Sulawesi Selatan yang dilatih Muin berhasil keluar sebagai juara I mengalahkan tim DKI Jakarta yang memiliki atlet persiapan Olimpiade dan Asian Games.

Waktu itu menjelang Asian Games Tokyo. Sebagian tim sudah terbang ke Negeri Sakura itu. Yang tersisa cabang Polo Air dan Hoki yang belum berangkat.  Dua orang yang juga tidak dapat dilupakan dalam tim Polo Air ini adalah A.R Malaka dan Rafiuddin Hamarung, keduanya dari Fakultas Hukum Unhas. Dari sinilah nama Muin mulai dikenal di belantara olahraga akuatik Indonesia. Ketika menghadapi persiapan Asian Games 1966 Bangkok, para pemain Polo Air Sulsel, Jabar, DKI diundang mengikuti seleksi. Salah seorang pemain Sulsel yang terpilih adalah Beng Musa Gani, yang nama aslinya Kian Beng. Pria ini merupakan insinyur teknik Unhas dan kini tinggal di Jakarta dan menjadi pengusaha sukses.

Muin terpilih sebagai pelatih Polo Air Indonesia ke Asian Games 1966 Bangkok tersebut, sekaligus mendampingi Beng Musa Gani. Seorang pemain lainnya yang terpilih berasal dari Bandung. Kontingen dilepas oleh Presiden Soekarno di Istana Merdeka, kemudian berkunjung ke Kantor Pak Soeharto yang waktu itu baru menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang heboh itu. Di Asian Games Bangkok, Tim Polo Air Indonesia meraih medali perunggu, kalah atas India dan Jepang. 
Sekembali dari Asian Games Bangkok, Muin bertemu dengan Siregar.
“Muin, kau mau sekolah? Saya mau kirim kau ke Jerman,” tiba-tiba saja Siregar bertanya membuat Muin tersentak kaget.
“Saya tidak tahu apa-apa, Pak. Terserah Bapak saja,” jawab Muin yang belum mampu mengendalikan perasaannya dan dengan lugu menjawab pertanyaan Siregar.
“Ah.. kau yang menentukan,” kata Siregar lagi.
“Jika itu yang terbaik menurut Bapak, saya ikut,” jawab Muin.
“Kau sia-siap saja berangkat Maret 1967,” kata Siregar.

Maret 1967 yang dijanjikan, Muin siap menuju Leipzig, kota industri di Berlin Timur (waktu itu) dan merupakan kota terbesar di negara bagian Sachsen. Kota ini luasnya 297,60 km2 dengan  penduduk pada tahun 2013  531. 582 jiwa dengan pepadatan  18 jiwa/km2.

Gelombang pertama pelatih olahraga Indonesia yang ke Jerman Timur ini selain Muin juga ada Suharno (pemain voli Asian Games 1966 asal Yogyakarta, kini sempat profesor, sudah meninggal dunia). Tahap kedua menyusul Ilyas Haddade (sepakbola) yang mewakili Bandung, bersama Step Tenu (atletik), yang juga termasuk atlet nasional peloncat jangkit yang pernah meraih peringkat 4 pada Asian Games 1962 di Jakarta.

Keberangkatan ke Jerman ini berlangsung Maret 1967 menjelang detik-detik jatuhnya Soekarno pasca-Supersemar 1966. Dari Jakarta, dua pelatih Indonesia ini terbang dari Halim Perdanakusuma Jakarta menggunakan pesawat Aeroflot Uni Soviet yang menyinggahi Colombo (Srilanka) setelah mengudara 5 jam dari Indonesia. Pesawat kemudian melanjutkan penerbangan ke Kota Karachi, Ibu Kota Pakistan, lalu Tashkent (Tasken), Ibu Kota Uzbekistan. Kota ini merupakan rute pemberhentian perdagangan (jalur sutra) dari Asia ke Eropa. Pada tahun 2008, kota ini berpenduduk 2.180.000 jiwa dengan kepadatan 560/km2. Dari Tasken Aeroflot itu menuju “kandang”-nya, Moscow yang ketika itu dilanda musim dingin.
Lantaran tidak memiliki visa untuk memasuki negara komunis itu, Muin dan Harno terpaksa menginap semalam di hotel bandara sebelum melanjutkan perjalanan ke Leipzig.  Ketika itu, Leipzig berada di wilayah Berlin Timur yang bersekutu dengan Uni Soviet yang komunis. Muin dan Harno  juga kecapean setelah terbang lebih dari 20 jam, termasuk transit dari Indonesia ke Moscow.

Duta Besar Republik Indonesia pada tahun 1967 adalah Manai Sophian, pria kelahiran Takalar 5 September 1915 yang menjabat dubes di negara itu mulai 1963. Manai Sophian, ayah dari aktor kondang Indonesia Sophan Sophian (alm.) – suami Widyawati, termasuk salah seorang pejuang kemerdekaan Sulawesi Selatan.

Selain menjadi seorang diplomat, sebelumnya Manai Sophian seorang wartawan, Dia pernah menjabat Ketua Umum Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) Yogyakarta (1946-1948). Sebagai wartawan dia pernah menjabat Pemimpin Redaksi Pewarta Selebes, Anggota Dewan Haminte, Makasar.

Sebagai seorang diplomat, dia pernah dipercaya sebagai Anggota Perutusan Irian Barat ke Negeri Belanda (1950), Anggota Delegasi Indonesia ke Sidang Umum PBB New York (1959-1961), Ketua Delegasi Interparliemantery Union Brussel (1960) dan Beograd (1953), Manai Sophian pernah memperoleh tanda kehormatan Bintang Gerilya, Satya Lencana Aksi Militer I dan II, Satya Lencana Gerakan Operasi Militer (GOM) I,II, dan III serta Satya Lencana Penegak.

Dari hotel bandara, Muin berinisiatif menelepon ke Wisma Kedutaan RI di Moscow.  Hendak  menemui langsung Dubes, tetapi tidak punya visa untuk memasuki negara itu. Kebetulan yang menerima, Ny. Moenasiah, istri Pak Manai Sophian. Ketika itu, Pak Manai Sophian sedang bertugas luar. Ibu  Moenasiah perempuan kelahiran Makassar 19 Oktober 1924 dan termasuk lulusan Taman Muda, Taman Siswa, Makassar.

Sebagai salah seorang anak pejuang, Moenasiah pernah ikut dibuang ke Boven Digul Papua (sekarang) ketika usianya baru 4 tahun. Dia kembali ke Makassar pada tahun 1932 dan masuk Taman Siswa. Pada tahun 1942 dia termasuk anggota Partai Indonesia Raya (Parindra). Tiga tahun kemudian ikut mendirikan Pusat Pemuda Nasional Indonesia (PPNI) bersama Ny, Ratulangi. Pada tahun 1949 dia bergabung dengan suaminya, Manai Sophian di Yogyakarta dan menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada tahun 1951 mendirikan Wanita Demokrat Indonesia, Rumah Bersalin Darma Bakti (Yayasan Wanita Demokrat Indonesia), dan ikut mendirikan Kesejahteraan Keluarga Sulawesi Selatan yang kini berubah menjadi Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS).

Pintu masuk untuk menghubungi  Pak Manai Sophian ini diperoleh Muin atas jasa Suaeb Rizal, mantan pemain PSM yang kemudian menjadi pemain nasional. Dia dan kawan-kawannya hampir membawa PSSI ke Olimpiade Montreal Kanada  pada tahun 1976, kalau saja tidak kalah 4-5 dalam drama adu penalti yang cukup menegangkan melawan Korea Utara.
“Ada berapa orang,” tanya Ibu Moenasiah ketika menerima telepon Muin.
“Dua orang, Bu. Mestinya empat orang, tetapi dua orang lainnya menyusul  karena belum lulus tes,” Muin menjelaskan.
“Di mana menginap?,” Ibu Moenasiah kembali bertanya.
“DI hotel bandara,” Muin menyahut.
“Wah, sayang Bapak tidak ada di tempat. Tetapi nanti saya suruh staf hotel menemui di hotel bandara. Kalau bisa keluar, nanti dibawa keluar,”  kata Ibu Moenasiah lagi.

Staf KBRI Moscow pun tiba di hotel tempat Muin dan Harno menginap. Ibu Moenasiah mentip amplop berisi masing-masing US$ 100. Harno, teman Muin, sangat senang karena tidak menyangka akan memperoleh rezeki di luar negeri.

Keesokan hari, Muin dan Harno terbang ke Berlin Timur. Sudah ada yang menjemput karena peserta dari beberapa negara lainnya di Asia dan Afrika juga akan tiba.

Pada tanggal 17 Agustus 1967, rombongan peserta pendidikan dan pelatihan olahraga dari Indonesia diundang menghadiri peringatan HUT Proklamasi di Praha Chekoslowakia karena di Jerman Timur Indonesia tidak memiliki perwakilan. Duta Besar RI di Ceko memanggil warga negara Indonesia yang ada di Jerman Timur merayakan HUT Proklamasi di sana. Waktu itu, Jerman masih terbagi ke dalam dua bagian, yakni Jerman Timur dan Jerman Barat yang dipisahkan oleh Tembok Berlin yang diruntuhkan 9 November 1989.

Rombongan ini berangkat menggunakan kereta pada malam hari dan langsung masuk ke penginapan yang ternyata ditempati oleh para mahasiswa Indonesia yang beraliran komunis. Muin bersama empat orang termasuk salah seorang mahasiswa perempuan yang sedang melanjutkan pendidikan di Jerman Timur.

Step Tenu yang masih memiliki keluarga di Belnda mengajak Muin ke Negeri Kincir Angin tersebut.
“Yang penting ada biaya tiket kereta api,” kata Step Tenu yang ketika itu para pelajar mahasiswa hanya membayar 25% dari total tarif kereta. Namun Muin menolak.

Bagaikan Air.

Perjalanan hidup Muin mengalir biasa saja bagaikan air mengalir. Jika dia mau kaya, ada peluang, tetapi dia tidak mau memanfaatkannya. Menjadi Pimpro di IKIP Ujungpandang (UNM) dan menjadi Satuan Tugas, Sekretaris Program Diploma. Setelah Amir Sakiman meninggal dia ditunjuk menjadi Bidang Peralatan Material dan Bangunan  (Permaba) di bawah kepemimpinan Ketua KONI Sulsel H.Z.B.Palaguna, bidang yang memberi kemungkinan orang memperoleh pendapatan lebih jika mau “main-main”.

Padahal waktu itu, Muin belum paham pekerjaan sebagai Permaba, padahal sudah diangkat sebagai sekretaris proyek di IKIP Ujungpandang. Permaba itu menangani perlengkapan cabang olahraga di KONI Sulsel. Penunjukan Muin sebagai pengganti Amir Sakiman ini boleh jadi atas arahan Dra.Sabina Amir, istri almarhum Amir Sakiman.

Di kepengurusan KONI pimpinan H.Z.B.Palaguna dia menjabat Ketua Bidang Permaba selama satu setengah periode. Pada era kepemimpinan H.M.Amin Syah, Muin dipercaya menjabat Sekretaris Umum selama dua periode. Mengisi sisa-sisa usianya yang genap 80 tahun pada 12 Mei 2021, Muin masih tetap melaksanakan aktivitasnya. Mengemudi sendiri mobil jika pergi main tenis yang tetap ditekuninya bersama kawan-kawan purnabakti lainnya. Dia mengikuti alur kehidupan seperti air mengalir. (M. Dahlan Abubakar)

Exit mobile version