“Saya memilih sabar, luka ini kusimpan rapat-rapat dalam hati”..
REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Jumat, 18 Februari 2022 sekitar pukul 20.00 Wita, suasana Cafe Tulus (Exs Cafe Tuli) di Jalan Ujung Bori, Antang, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan mulai ramai pengunjung. Tak seperti pada di waktu siang hari saat penulis pertama kali datang ke cafe itu.
Hampir seluruh kursi yang disiapkan cafe bernuansa minimalis itu di duduki pengunjung yang mayoritasnya adalah penyandang disabilitas tuli. Meski cuaca di luar sedang dingin karena sejak seminggu kota ini diguyur hujan, suasana di dalam cafe nampak memperlihatkan kehangatan.
Di salah satu kursi di dekat pintu masuk yang terbuat dari kaca itu duduk seorang wanita sekitar usia 33 tahun dengan menggunakan kaos hitam polos berjilbab hijau. Ia kemudian mengangkat handphone seperti memberi tanda kepada penulis bahwa dialah yang akan ditemui penulis.
Adalah Marina (bukan nama sebenarnya) tenaga kerja kontrak di salah satu instansi di Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang merasakan pengalaman pilu menjadi disabilitas di tengah-tengah lingkungan kerja. Ia berkisah selama delapan tahun menjadi pegawai kontrak dengan disabilitas tuli kerap kali mendapat kekerasan verbal berupa hinaan dan ejekan (bullying). Saat mencoba mengingat pengalaman itu di balik kacamatanya tergambar kesedihan pada mata yang sedikit basah.
Dengan bibir bergetar ia menceritakan lewat juru bahasa isyarat bagimana rekan kerjanya itu memperlakukan dirinya. Marina mengaku kerap kali mendapatkan kekerasan dalam bentuk verbal, seperti bullying dan penghinaan terhadap dirinya sebagai disabilitas tuli.
“Saya selalu di teriaki pepe (bisu: red) sama teman karena saya tuli, itu hampir beberapa kali. Bahkan saya juga pernah dibilangi kalau saya tidak bisa bikin apa-apa,” kata Marina mengenang.
Meski kerap kali ia menolak dan marah jika dipanggil dengan ejekan seperti itu, rupanya tidak memberikan efek bagi rekan kerjanya. Ejekan dan hinaan serupa ini bukan kali pertama, pada 2015 lalu ia juga pernah mendapat hinaan serupa oleh seorang office boy di instantsi tempatnya bekerja. Hanya saja tak berselang lama office boy tersebut tidak lagi bekerja disitu.
“Ada juga dulu tukang bersih-bersih ruangan selalu katai saya, kamu tidak mendengar, kamu pepe. Kalau ingat itu sakit hatiku. Tapi sebelum pindah ia sempat meminta maaf dengan saya,” kisahnya lagi.
Beberapa kali mendapatkan hinaan serupa, Marina pun mencoba melaporkan hal tersebut ke pimpinannya melalui kepala dinas dan kepala bidang di instansi tersebut. Hanya saja laporannya tidak ada penyelesaian yang jelas. Tidak ada mediasi yang dilakukan pimpinan kepada dirinya dan rekan kerjanya itu.
“Saya pasrah mi saja, mau lapor keluar juga saya takut karena nanti saya dipecat, susah cari kerja sekarang. Jadi saya sabar-sabar saja,” kisah Marina.
Karena tak mendapat perlindungan dari istansti tempatnya bekerja, ia pun melakukan upaya untuk melindungi dirinya sendiri. Seperti dengan memberikan pemahaman dan edukasi melalui tulisan-tulisan yang ia bagikan di grup-grup WhatsApp terkait bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas tuli di tempat kerja dan lingkungan lainnya. Hanya saja rekan kerjanya solah tidak peduli bahkan justru melucutinya dengan kalimat yang cukup menyakiti.
“Issengko (mana ku tahu) Marina, tidak penting ji bagi saya,” begitu kata Marina sambil memperlihatkan bukti chatnya di grup WhatsApp kantornya.
Beberapa dari rekan kerja Marina juga selalu menuduhnya bereaksi berlebihan karena ia terlalu membawa perasaan dan dinilai memiliki sifat cepat tersinggung. Sehingga ia merasa tidak ada yang mendukung dirinya, dan merasa apa yang dilakukan rekan kerjanya itu adalah hal yang benar.
“Saya kalau marah dan menolak dipanggil pepe, saya dibilang terlalu baper. Terlalu cepat tersinggung, padahal saya cuman tidak mau dipanggil begitu,” ia menegaskan.
Kini, untuk menghindari hinaan dari rekan kerjanya itu, Marina memilih untuk menarik diri dari aktivitas yang melibatkan dirinya dengan teman kerjannya itu. Marina pun tetap memilih bekerja dengan aktivitas seperti biasanya sebagai karyawan yang mengurus seluruh berkas-berkas administrasi di instansi tersebut.
“Memang sudah tidak nyaman kerja selama kejadian itu, tapi karena tidak ada kerjaan lain saya memilih bertahan di sini saja. Saya juga tidak berani menceritakan ke siapa-siapa,” tutup Marina.
Penolakan di lingkungan kerja juga dapat menyebabkan trauma mendalam bagi tenaga pekerja disabilitas. Hanya saja mereka memilih bungkam dan bertahan karena akses pekerjaan bagi mereka masih sangat kurang. Data Dinas Ketenagakerjaan Sulawesi Selatan di periode 2021 menyebutkan tenaga kerja dari perempuan disabilitas masih sangat kurang, baru di Kota Makassas yang tercacat mempekerjakan perempuan penyandang disabilitas atau sebanyak 26 orang. Untuk sektor pekerjaan pun masih sangat kecil.
Masih kurangnya akses pekerjaan bagi perempuan penyandang disabilitas menjadi alasan utama mengapa mereka memilih diam jika mereka mengalami kekerasan atau pun penolakan di lingkungan kerjanya. Termasuk belum adanya ruang aman dan aturan perlindungan pencegahan kekerasan bagi mereka sehingga mereka memilih pasrah jika menjadi korban kekerasan. Baik pada kekerasan psikis, fisik maupun kekerasan seksual.
Seperti yang dirasakan Selfie (bukan nama sebenarnya). Menjadi tenaga pengajar di sekolah luar biasa di Kota Makassar selama delapan tahun bukanlah hal mudah ia jalani. Di tolak siswa hingga orangtua siswa karena kekhususannya sebagai penyandang disabilitas tuli merupakan pengalaman paling menyedihkan yang ia rasakan. Sementara pihak sekolah tempatnya bekerja tidak memberikan perlindungan dan penjaminan keamanan baginya.
Selfie mengakui, ketika mengingat kembali momen-momen itu ia merasa trauma, sehingga dirinya merasakan sesak di dada. Meski akhirnya Selfie memilih berdamai dengan keadaan.
“Saya kalau ingat langsung sakit dada, tapi pelan-pelan saya sudah lupa itu,” kenangnya.
Sejak awal mengajar pada mata pelajaran konsep matematika di sekolah tersebut dirinya memang sudah tidak diterima oleh siswa, tetapi ia tetap memilih untuk mengajar, hingga pada puncaknya siswa secara bersamaan memilih untuk tidak masuk kelas pada mata pelajaran yang diajarkan Selfie.
Ia menceritakan, saat itu masuk pada jam mengajarnya, seperti biasanya dia menyambutnya dengan semangat, hingga saat memasuki kelas ia kaget karena tak seorang pun siswa ada di kelas itu.
“Kejadiannya sekitar 2018 lalu, waktu itu saya masuk mengajar ke kelas, tapi tidak ada satupun siswa saya di ruangan. Saya cari tahu, ternyata mereka tidak mau saya jadi guru mereka karena dipikir saya punya kekurangan, orangtua mereka juga tidak mau kalau saya yang mengajar anak-anak mereka,” katanya.
Padahal ia telah mencoba menjadi pengajar yang baik di tengah kondisi disabilitasnya itu. Seperti ia menggunakan alat bantu dengar yang ia beli sendiri karena pihak sekolah tidak memfasilitasi, kemudian mencoba melatih siswa-siswa berbahasa isyarat. Tetapi tetap saja dirinya tidak diterima oleh siswa dan orangtua siswa.
“Sejak bekerja di situ (di sekolah) siswa dan orangtuanya memang sudah tidak menerima saya. Karena mungkin di sekolah itu hanya saya guru dengan kondisi disabilitas , yang lain tidak. Makanya saya sabar, karena mau keluar juga tidak ada tempat kerja lain waktu itu, kurang yang mau terima kayak kami ini,” lirih Selfie.
Selfie pun kemudian melaporkan hal ini ke pihak sekolah melalui kepala sekolah. Tetapi ia tidak mendapatkan kejelasan ataupun tindak lanjut dari laporan atas keluhannya itu.
“Setelah kejadian itu saya mulai jarang ke sekolah, kalau ke sekolah saya tidak masuk mengajar hanya duduk saja di ruang guru. Kepala sekolah juga tidak ada tindakan apa-apa melihat saya tidak mengajar,” katanya.
Setelah kejadian itu berlalu dan tidak ada tindak lanjut dari pihak sekolah Selfie pun akhirnya memilih untuk berhenti dari sekolah itu. Meskipun awalnya orangtua (ibunya) mempertanyakan keputusannya itu, sebab lewat ibunya ia bisa mendapatkan pekerjaan tersebut.
“Saya rahasiakan dari mama, saya tidak mau kasih tahu dia. Biar saya saja yang tahu,” kisah Selife.
Saat mengajukan pengunduran diri pihak kepala sekolah pun tidak mempertanyakan, ia hanya menitip pesan agar Selfie sesekali datang berkunjung ke sekolah untuk menjenguk para guru dan siswa.
“Saya tidak bisa menerima penghinaan ini, tapi saya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi saya sabar saja,” Selfie mengelus dada.
Selfie secara perlahan-lahan mencoba melupakan kenangan tersebut dengan menikmati pekerjaannya saat ini sebagai seorang barista di salah satu cafe di Kota Makassar yang pada umumnya merupakan disabilitas. Kini Selfie mengubur mimpi dan harapannya sebagai seorang guru.
Begitu banyak penyitas kekerasan bagi pekerja perempuan penyandang disabilitas yang memilih berlindung di balik kata “sabar”, hal ini karena akses mereka di dunia kerja masih sangat minim. Sementara ancaman kekerasan bagi mereka sangat nampak di depan mata.
Pada laporan Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar pun yang ditemukan hanya pada kasus hak kerja atau aksesibilitas. Sementara terkait kasus kekerasan baik fisik, psikis maupun pelecehan seksual di tempat kerja belum ditemukan. Artinya sejauh ini para tenaga kerja penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan, masih memilih bungkam.
“Bisa jadi ada tenaga kerja disabilitas yang mengalami kekerasan tapi mereka tidak melapor sehingga kami tidak bisa menjangkau itu,” kata Tenaga Fungsional Pengantar Kerja Disnaker Makassar, Rizka Mahardika.
Sepanjang 2021 laporan pada isu ketenagakerjaan disabilitas sebanyak 5 hingga 6 kasus tetapi kasusnya hanya seputar hak dan akses mereka di tempat kerja.
“Sejauh ini perusahaan maupun instansi sudah banyak yang telah mempekerjakan disabilitas sesuai dengan regulasi yang ada. Tetapi pada kenyataannya di dunia kerja mereka masih banyak terjadi ketidakcocokan antara aturan perusahaan dan kemampuan disabilitas itu sendiri,” terangnya.
Jika di Disnaker Makassar mengklaim tidak pernah menerima laporan kasus kekerasan di dunia kerja yang dialami tenaga kerja perempuan penyandang disabilitas. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menujukkan adanya pendampingan pada kasus tersebut dalam periode 3 hingga 4 tahun terakhir. Pada catatan LBH Makassar sekitar dua laporan kasus kekerasan seksual terhadap pekerja perempuan disabilitas yang mereka dampingi. Salah satunya pada kasus Lusi (bukan nama sebenarnya) yang menjadi korban penculikan, penyekapan dan pemerkosaan oleh sopir angkot yang beraktivitas di wilayah tempatnya bekerja pada 2019 lalu.
Lusi merupakan penyandang disabilitas intelektual yang berkerja sebagai tenaga administrasi berstatus kontrak di sekolah luar biasa di Kota Makassar.
Lewat kuasa hukum Lusi, Fauziah Erwin menceritakan bahwa waktu itu ia dihubungi kerabatnya yang juga keluarga Lusi secara pribadi untuk dibantu dalam kasus dugaan penculikan dan penyekapan dengan korban penyandang disabilitas. Ia pun kemudian meminta untuk dihubungkan langsung dengan orangtua Lusi sebelum melakukan pengecekan kasus di Polerstabes Makassar.
“Setelah berkomunikasi dengan ibu Lusi saya langsung mengecek ke Polrestabes Makassar dan dibenarkan bahwa memang ada kasus itu, tetapi awalnya hanya diduga kasus penculikan dan penyekapan. Tetapi setelah dilakukan visum hasilnya itu ternyata juga ada tindak kekerasan seksual,” terangnya.
Ia menceritakan, dalam proses penyelidikan disebutkan Lusi mengaku dirinya dibawa hingga malam hari oleh pelaku memutari Kota Makassar, dan pada malam hari Lusi kemudian dibawa ke salah satu wisma di sekitar pelabuhan Makassar dan disekap selama dua malam tiga hari. Selama penyekapan terjadi pemerkosaan lebih dari satu kali.
“Bahkan pada proses BAP yang dilakukan kami mencurigai ada sindikat penjualan orang atau human trafficking karena berdasarkan keterangan klien kami mereka sempat mendengar percakapan dibalik telepon yang membahas soal bandara dan mau dibawa pergi, apalagi saat itu sedang maraknya kasus human trafficking. Tetapi polisi tidak menyelidiki lebih dalam untuk keterangan klien kami yang ini,” jelasnya.
Awalnya pelaku juga tidak mengakui bahwa dirinya melakukan aksi penculikan, penyekapan dan pemerkosaan dengan dalih suka sama suka. Tetapi melalui hasil visum yang dikeluarkan RS Bahayangkara Makassar membuktikan adanya tindakan pemerkosaan, termasuk pada hasil asesmen yang dilakukan antara penyitas dan psikolog, membuktikan ada trauma mendalam yang dialami sehingga sangat cukup dijadikan alat bukti untuk dilanjutkan ke meja hukum.
“Saat ini prosesnya sudah vonis, pelaku di hukum 7 tahun pidana, meskipun awalnya kami sempat keberatan dengan hasilnya,” ujarnya.
Dalam proses penyelesaian kasus ia menilai pihak sekolah tempat Lusi bekerja tidak terlalu mengambil peran. Seperti saat melibatkan beberapa pegawai di sekolah untuk menjadi saksi, hampir semuanya menolak dengan alasan mereka takut dan akan menjadi pihak yang disalahkan. Sementara seharusnya pihak sekolah memiliki sistem pendukung yang luar biasa, bahkan pihak sekolah yang menerapkan sistem sekolah luar biasa harusnya lebih paham dan mengetahui apa yang menjadi kebutuhan seorang penyandang disabilitas dengan ragam kedisabilitisannya.
“Waktu kami minta mereka memberikan kesaksian disetiap persidangan mereka takut, tetapi setelah saya memberikan pengertian bahwa mereka aman, mereka pun akhirnya mau memberikan seluruh keterangan yang dibutuhkan dalam proses persidangan,” jelas Fauziah.
Dirinya mengaku, pada proses penyelesaian kasus penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum memakan waktu yang cukup lama dan panjang jika dibandingkan dengan non disabilitas, termasuk pada proses BAP. Sehingga sebelum ingin memberikan pendampingan hukum kepada klien dengan kondisi penyandang disabilitas perlu memahami cara-cara berkomunikasi .
Belum lagi pada kondisi trauma penyitas kekerasan yang dialami penyandang disabilitas itu sangat berbeda dengan non disabilitas. Misalnya, untuk mengetahui adanya traumatik saja perlu menggunakan alat peraga sebab informasi yang sampai ke mereka itu sangat terbatas. Apalagi pada pengetahuan kekerasan seksual. Sehingga perlu diberikan pemahaman.
“Butuh waktu yang sangat panjang untuk merekonstruksi peristiwa pada korban penyandang disabilitas terutama disabilitas tuli, intelektual dan mental. Bahkan tiga bulan pun kadang kita belum bisa membuat kronologi karena keterangan selalu berubah sesuai kondisi perasaan dan ingatannya,” terangnya.
Pasca kejadian itu pun orangtua Lusi kemudian memilih memberhentikan anaknya bekerja di sekolah tersebut. Ia pun kini sangat memberikan perlindungan ekstra kepada anaknya, seperti Lusi tidak lagi diberikan ruang untuk keluar rumah sendiri, dan saat keluar rumah Lusi harus didampingi.
“Informasi dari ibunya Lusi, kalau ia sekarang membuatkan usaha untuk Lusi yang dikelola bersama saudara perempuannya. Kondisi terakhinya katanya sehat,” sebut Nurfaizah.
Sebelum maraknya kasus kekerasan di tempat kerja yang dialami tenaga kerja perempuan, khususnya lagi perempuan penyandang disabilitas memang sudah saatnya publik membuka mata dan menaruh perhatian tentang perlunya panduan, petunjuk teknis atau regulasi yang memiliki payung hukum terkait keamanan dan keselamatan perempuan selama berkerja. Memastikan para pekerja terutama pekerja penyandang disabilitas di seluruh perusahaan maupun instansi dan lembaga itu aman dan selamat selama berada di lingkungan kerja. Hal ini penting untuk meyakini bahwa meskipun mereka seorang penyandang disabilitas, mereka perlu mendapatkan ruang aman dalam bekerja, apalagi tidak sedikit tenaga kerja penyandang disabilitas bisa memproteksi dirinya dari ancaman kekerasan dan pelecehan seksual.
“Perusahan, instansi maupun lembaga lainnya ketika berkomitmen merekrut tenaga kerja penyandang disabilitas menejemen harus membuat aturan bagaimana caranya pekerjanya bisa datang, dan pulang di tempat kerja dengan selamat,” tegas dia.
Pembuatan aturan itu menurut Nurfaizah perlu melibatkan seluruh pihak. Tak kalah penting adalah organisasi penyandang disabilitas, karena kebutuhan penyandang disabilitas dengan ragam kedisabilitasannya tentunya memerlukan perlakuan yang berbeda-beda pula. Sehingga sudah sangat tepat isu atau wacana Konvensi ILO 190 terkait pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual ditempat kerja ini masuk untuk dipertimbangkan .
“Hanya saja saya masih mempertanyakan hal ini menjadi tanggungjawab siapa?, apakah Dinas Pendidikan, Kementrian Sosial, Dinas Ketenagakerjaan, atau lainnya. Cuma ini harus menjadi perkejaan bersama, karena berat jika hanya dikerja sendiri,” tutup Nurfaizah.
Tenaga Kerja Disabilitas Juga Kompoten
Masih banyaknya diskriminasi hingga kekerasan yang dihadapi para pekerja penyandang disabilitas di dunia kerjanya itu dikarenakan belum adanya penerimaan yang baik kepada kelompok mereka. Mereka masih dihadapkan pada alasan kekurangan fisik tanpa melihat kemampuan mereka dari sisi pengetahuan, dan keterampilannya.
Akademisi Sekolah Tinggi Ilmu Kesejahteraan Sosial (STIKS) Tamalenrea Makassar Gilang Susanti mengakui, kelompok disabilitas juga memiliki tingkat pendidikan yang sama dengan non disabilitas. Ia mencontohkan, di STIKS Makassar memiliki mahasiswa dengan disabilitas netra, tetapi dia dikenal sebagai mahasiswa cerdas, terampil dan kompoten dalam ilmu informasi teknologi (IT), kemampuannya ini melebihi kemampuan dari non disabilitas. Begitupun di beberapa sekolah, perguruan tinggi hingga lembaga lainnya. Hanya saja meski begitu para kelompok penyandang disabilitas ini tetap merasa masih kesulitan dalam mendapat pekerjaan.
“Nah ini menandakan bahwa mereka belum bisa diterima dengan baik. Perusahaan belum bisa membuka akses yang seluas-luasnya bagi mereka, perusahaan juga belum mampu menyiapkan suasana bekerja yang aman. Terlebih lagi lingkungan kerja dari pekerja penyandang disabilitas itu sendiri belum bisa menerima mereka dengan baik, sebab mereka dilihat hanya dari keterbatasan fisiknya saja, bukan pada kemampuan yang mereka punya,” kata Gilang.
Kondisi kedisabilitasan yang mereka punya seharusnya tidak melapangkan terjadinya diskirmnisai atau perlakukan kekerasan bagi mereka di dunia kerja. Sebab perusahaan yang mempekerjakan mereka sedari awal bukan hanya melihat pada kondisi fisiknya (kedisabilitasannya) saja, tetapi pada keterampilan, dan keilmuan yang mereka miliki.
Tak hanya pada aturan perusahaan yang melanggengkan diskriminasi pada tenaga kerja penyandang disabilitas, lingkungan kerja seperti rekan kerja juga tidak sedikit ikut berkontribusi sebagai pelaku diskriminasi, sementara dalam dunia kerja hak dan tanggungjawab pekerjaan mereka sama.
“Ada banyak memang faktor yang membuat tenaga kerja penyandang disabilitas sulit untuk maju dan berkembang. Kerena mereka tidak terlepas dari kebijakan perusahaan dan rekan kerjanya,” akuinya.
Kedepan hal yang perlu didorong agar tidak lagi terjadi lagi diskriminasi terutama tindak kekerasan di lingkungan kerja yang dialami tenaga kerja penyandang disabilitas adalah menciptakan tiga faktor. Pertama, mendorong perusahaan menciptakan suasana yang aman dan nyaman bagi pekerja penyandang disabilitas. Kedua, mendorong peningkatan dan pemahaman bagi tenaga kerja penyandang disabilitas, dan ketiga melakukan pendekatan di lingkungan kerja mereka untuk melihat mereka sebagai individu yang sama.
“Jadi ketika kita ingin membantu teman-teman disabilitas, maka kita harus membantu dari ketiga sisi itu. Menguatkan mereka (tenaga kerja disabilitas), mengadvokasi ke perusahaan dan melakukan pendekatan kedalam lingkungan kerjannya,” terang Gilang.
Pemerintah dan Perusahan Wajib Siapkan Aturan Tentang Perlindungan Pekerja
Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan menilai, meski pemerintah telah melakukan upaya untuk membuka aksebilitas bagi kelompok disabilitas dengan membuat kebijakan atau peraturan daerah tentang ketenagakerjaan disabilitas. Tetapi dilain pihak pemerintah belum membuka diri untuk melakukan evaluasi bagaimana efektivitas kebijakan yang dikeluarkan. Termasuk di dalamnya mendorong bagaimana perusahan dapat menjamin keamanan dan perlindungan bagi pekerja, secara khusus pekerja disabilitas.
Hal ini penting dilakukan untuk mengurangi permasalahan dan persoalan penyandang disabilitas di semua sektor. Salah satu caranya dengan mendengar dari kelompok disabilitas itu sendiri, apalagi beberapa hak dari kelompok disabiltas yang disiapkan perusahaan masih jauh dari kata efektif.
“2020 lalu kami sempat mengkritisi perusahan BUMN karena waktu itu mereka membuka lowongan pekerjaan pada kelompok disabilitas tetapi dia membatasi bahwa itu untuk laki-laki. Dari hasil pertemuan yang kami lakukan itu mereka berdalih bahwa jenis pekerjaan yang dibukannya akan lebih banyak bekerja di malam hari, lebih pada alasan keselamatan dan keamanan pekerja,” jelas Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan Maria Un.
Ia menilai, adanya aturan tersebut menandakan bahwa situasi keamanan dan perlindungan kerja yang disiapkan perusahaan bagi pekerja perempuan penyandang disabilitas belum menjadi perhatian penting. Sehingga masih terjadi pembatasan hak pekerjaan bagi laki-laki maupun perempuan.
“Memang masih banyak ketimpangan-ketimpangan, ini karena memang perusahaan belum mau menyiapkan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi perempuan yang bekerja, termasuk pada kelompok penyandang disabilitas. Seperti pekerja yang bekerja hingga malam hari, itu pihak perusahaan tidak menyiapkan kendaraan operasional bagi mereka, sehingga memang ini harus kita dorong kedepannya,” tegas Maria.
Kondisi pekerja perempuan disabilitas di Sulawesi Selatan masih pada sektor perusahaan ritel, perbankan, dan instansi pemerintahan. Sementara untuk perusahaan daerah itu belum satu pun terdata mempekerjakan tenaga kerja disabilitas.
Ketua Pemberdayaan Daerah HWDI Sulsel Nia Selestin mengaku, adanya tindak kekerasan di tempat kerja yang dialami pekerja perempuan penyandang disabilitas itu dikarenakan mereka tidak memahami bahwa apa yang dialaminya merupakan bentuk kekerasan. Terutama pada kekerasan verbal seperti bullying itu masih banyak yang tidak memahami bahwa itu merupakan tindak kekerasan yang harus dilawan atau dilaporkan.
“Banyak teman-teman yang mengalami kekerasan seperti diejek, dicubit, dicolek oleh teman kerjanya, bahkan bosnya tetapi mereka tidak paham bahwa itu kekerasan. Ini juga menjadi penyebab mengapa dari mereka tidak berani angkat suara karena mereka tidak mengetahui tentang itu,” jelas Nia.
Saat ini HWDI Sulsel pun mulai aktif melakukan sosialisai kepada seluruh anggotanya di setiap daerah baik pekerja maupun yang bukan pekerja terkait bentuk-bentuk kekerasan dan ekpolitasi yang rentan dihadapi perempuan. Tujuannya untuk memberikan pemahaman kepada mereka, sehingga jika mereka nantinya mengalami bentuk-bentuk kekerasan tersebut, mereka lebih berani untuk berbicara dan melapor.
“Sebelum ke perusahaan kita terlebih dahulu menyosialisasikan ancaman kekerasan di dunia kerja itu seperti apa, sehingga mereka mengenal dan tahu. Jadi nantinya jika mereka mengalami seperti itu mereka tahu itu melanggar dan harus ditindaki,” tegas Nia.
Direktur Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulawesi Selatan Nur Syarif Ramadhan mengakui, isu perlindungan pekerja penyandang disabilitas dari kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja masih belum terlalu menjadi perhatian. Sebab sejauh ini masih pada isu pencegahan kekerasan pada penyandang disabilitas secara umum.
Masih kurangnya pekerja perempuan penyandang disabilitas yang mengalami tindak kekerasan dan berani melapor menjadi alasan utama kenapa isu perlindungan dan keamanan kerja bagi mereka belum menjadi isu yang sensitif untuk dibahas dan didorong seluruh organisasi disabilitas. Kondisi ini tentunya karena para pekerja, terutama kelompok perempuan khawatir kehilangan pekerjaannya, apalagi bagi pekerja disabilitas tuli. Olehnya ia memilih untuk menerima segala bentuk kekerasan yang dialaminya.
“Mereka pasti merasa daripada tidak kerja mending begini saja. Apalagi tidak banyak memang yang bisa fasilitasi mereka. Para penyandang disabilitas juga kebanyakan takut diekspos media,” aku Syarif.
PerDIK Sulsel menilai kedepan perlu ada lembaga khusus yang menjadi pusat aduan bagi kelompok disabilitas yang membutuhkan bantuan hukum untuk mengakomodir bentuk-bentuk diskriminasi yang didapatkan kelompok disabilitas. Terutama yang menyangkut hak dan perlindungan keamanan tenaga kerja disabilitas.
“Kita berencana akan membentuk lembaga bantuan hukum (LBH) disabilitas, cuman saat ini kami masih mencari tim yang memiliki misi perjuangan yang sama dan bisa mendukung kerja-kerja kita. Apalagi kita cukup memiliki pengalaman dalam melakukan pendampingan bagi disabilitas yang berhadapan dengan hukum,” katanya.
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Sulawesi Selatan Rosmiati Sain, sejauh ini kasus kekerasan seksual dengan korban disabilitas yang didampingi bukan pada dunia kerja. Hanya saja memang hal ini perlu didorong, sebab kasus kekerasan sangat rentan diterima oleh siapa saja dan di mana saja, termasuk pada perempuan disabilitas maupun non disabilitas.
“Memang ini sudah menjadi keharusan, meskipun kasus-kasusnya belum kelihatan tetapi kita perlu melakukan upaya perlindungan bagi mereka (pekerja perempuan disabilitas). Karena kekerasan itu siapa pun bisa mengalami,” katanya.
Sejauh ini upaya yang dilakukan LBH Apik terkait isu penghapusan kekerasan di dunia kerja masih dilakukan secara berjejaring dengan melibatkan diri pada organisasi yang fokus dalam isu tersebut. Ia menilai, hal ini harus menjadi perhatian, mengapa ? karena jika kelompok rentan seperti perempuan dan disabilitas mengalami kekerasan di dunia kerja otomatis itu merupakan kekerasan berlapis.
“Tahun lalu kita sudah mendorong isu ini, cuman memang ini belum menjadi perhatian pemerintah,” kata Rosmiati.
Penerapan Konvensi ILO 190 Harus Segera Diberlakukan
“Kekerasan dan pelecehan berbasis gender, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, harus diarus utamakan ke dalam keselamatan dan kesehatan kerja. Pengusaha wajib mengambil tindakan dan membuat kebijakan tempat kerja dan berkonsultasi dengan serikat pekerja guna mencegah kekerasan dan pelecehan”
Kutipan diatas menjadi poin penting untuk menjadi perhatian agar penghapusan segala bentuk kekerasan di dunia kerja mulai menjadi perhatian, baik oleh pemerintah daerah, organisasi perusahaan, dan pihak-pihak lainnya.
Berangkat dari wacana Konvensi ILO 190 ini pun, HWDI Sulsel akan membuat semacam kebijakan atau pedoman tentang perlindungan dan pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan disabilitas di tempat kerja. Dalam hal ini pihak HWDI akan bekerjasama LBH Apik Makassar untuk membuat sejumlah poin penting yang akan diatur dalam kebijakan tersebut.
“Kita sudah merencanakan ini sejak Januari 2022 lalu bersama LBH Apik Makassar, drafnya pun sementara kami susun. Poin penting dalam aturan ini yaitu bagaimana perusahaan, instansi dan lembaga lainnya yang mempekerjakan disabilitas itu harus betul-betul menyiapkan ruang aman serta perlindungan bagi mereka terhadap ancaman kekerasan, diskriminasi dan ekspolitasi,” jelas Ketua Pemberdayaan Daerah HWDI Sulsel Nia Selestin.
Ia menargetkan, pedoman ini pun dapat segera rampung dalam waktu dekat untuk segara disosialisasikan ke pemerintah, perusahaan dan seluruh instansi yang akan menerima dan mempekerjakan penyandang disabilitas.
“Ini menjadi perhatian kami dengan melihat kenyataannya bahwa saat ini belum ada perusahaan atau instansi yang memiliki aturan perlindungan bagi tenaga kerjanya, “ akuinya.
Pedoman itu juga nantinya akan disosialisasikan kepada seluruh anggota HWDI dan organisasi disabilitas lainnya untuk menjadi rujukan bagi mereka di lingkungan kerjanya. Dengan harapan adanya pedoman perlindunga tersebut, para pekerja disabilitas, terutama pekerja perempuan kedepan bisa lebih berani dalam bersuara.
“Banyak hal yang akan dibahas dalam pedoman tersebut. Intinya kita berharap dukungannya agar ini bisa berjalan sesuai target,” harap Nia.
Menurut Direktur PerDIK Sulsel Nur Syarif Ramadhan, jika Konvensi ILO 190 ini memiliki tujuan dalam memberikan hak yang sama bagi kelompok disabilitas di dunia kerja sangat tepat untuk diberikan dukungan. Sehingga lewat Konvensi ILO 190 ini bisa diimpelmentasikan dengan menjadikan rujukan dalam menyusun kebijakan atau pun standar operasional bagi perusahan atau dalam lingkungan kerja.
Dalam pengawasan yang dilakukan PerDIK Sulsel sendiri masih banyak hal yang belum dipenuhi pihak perusahaan yang mempekerjakan tenaga disabilitas, utamanya pada standar operasional prosedur (SOP) perlindungan dan keamanan di wilayah kerja.
“Belum ada perusahaan yang mempekerjakan tenaga disabilitas itu memiliki SOP perlindungan dari kekerasan dan diskiriminasi, jangankan pada perlindungan itu, perlindungan dasar seperti hak dan aksebilitasnya saja belum terpenuhi dengan baik,” kata Syarif.
