REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Penyair nasional kelahiran Desa Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur, 1 Januari 1945, D.Zawawi Imron, Kamis (8/12/2022) kemarin tampil dalam acara Temu Penulis Makassar II di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar.
Acara yang dikemas atas kerja bareng Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin, Makassar Satu Pena, dan Dinas Perpustakaan Kota Makassar itu juga dihadiri Wakil Rektor III UIN Alauddin Prof.Dr. Darussalam, M.Ag., sejumlah guru besar, dan sedikitnya 50 penulis serta sejumlah mahasiswa.
Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Dr.Firdaus Muhammad yang juga tuan rumah, mempersilahkan sejumlah penulis tampil menjelaskan resepnya menjadi penulis sebelum Zawawi Imron tiba di tempat Acara Temu Penulis. (Foto: Courtesy: Media Celebes).
Baca Juga : Perempuan Belum Selesai dengan Urusan Domestik
Mengenakan kopiah hitam dan kemeja batik panjang warna hijau, Zawawi mengisahkan tentang tanah kelahirannya di Madura yang memiliki kaitan erat dengan Bugis Mandar. Di daerahnya dikenal ada sapaan “ambo” dan di kalangan masyarakat Madura juga memanggil ibu dengan “embu”.
Yang tidak kalah menariknya, ungkap Zawawi, sembilan kilometer atau, 45 menit dari pantai timur rumahnya, ada pulau namanya Gili Iyang. Di pulau ini hanya terdapat dua desa. Panjang pulau itu 5 km dengan lebar sekitar 3 km. Pulau ini merupakan lokasi oksigen terbaik kedua di dunia (berdasarkan Air Quality Index (AQI) — indeks kualitas udara — yang hanya satu tingkat di bawah kadar oksigen di Laut Mati, Jordania terletak di Desa Bancamara, sekitar 10 menit berkendara dari pantai. “Titik oksigen” terbaik ini, menurut Wikipedia, berpagar bambu dengan luas sekitar 200 meter persegi. Tersedia pula 10 gazebo di sana untuk menikmati kesegaran udara. Lantaran udaranya bersih sepanjang masa usia hidup warga di sini mencapai 90-100 tahun dalam kondisi tubuh masih segar bugar. Mereka tidak mengalami gangguan penglihatan, misalnya, pen.).
Zawawi melanjutkan, kepala desa yang pertama tahun 1800-an, saat Raffles menguasai Singaura, bernama Daeng Masalle. Pada kesempatan Temu Penulis itu, Zawawi juga memperkenalkan sosok yang menemaninya seorang pria bertubuh subur yang disebutnya sebagai generasi ketiga imigran Mandar yang ke pulau itu. Pria tersebut masih memiliki hubungan keluarga dengan istri dari Almarhum Arief Djamaluddin, adik mendiang Husni Djamaluddin.
Baca Juga : Andi Aderus: Israk Mikraj dan Quran, Mukjizat Nabi Bagi Umat Islam
“Ada pulau di Madura yang pendudukannya 80% keturunan orang Bugis-Makassar dan Mandar, setiap hari menghasilkan gas 13 ribu ton,” sebut Zawawi.
Zawawi pernah menulis puisi yang diterbitkan Habibie Center yang berjudul “Berlayar di Pamor Badik” berisi 100 puisi. Dia bercerita bagaimana sang penyair mengagumi Ibunya dan anak-anak Bugis yang kalau berurusan dengan “uang panaik” tidak mau dibantu oleh orang tuanya.
Dia kemudian bercerita tentang seorang anak Bugis dari Sinjai. Dari kampungnya dia mengikuti perahu untuk mengumpulkan uang dan terdampar sekitar antara Pontianak dan Singapura. Ia menyanyi sebagai sebuah puisi. Bunyinya:
Baca Juga : Kealpaan “Why-How” dalam Kasus Pembunuhan Berencana FS (Refleksi Hari Pers Nasional 2023)
“Sampaikanlah salamku hai..
Pada bumi Bugisku yang hangat.
Perahuku teramat jauh kini berlayar.
Kutembangkan siul di tengah jeritnya lautan.
Dan langit tempat melukis hati gadisku… dstnya.
Puisi ini mengundang tepuk sorak yang hadir. Lalu Zawawi berpindah ke Ambon, saat dia membacakan puisinya di gereja Maranata. Di dalam puisinya berjudul “Amboina”. Membaca puisi di sana sangat menarik. Dia bertemu dengan seorang perempuan yang kulitnya cokelat, guru SD. Cantik menurut ukuran batin karena cantik itu sangat relatif. Zawawi membuat puisi. Puisinya pendek.
Tersenyumlah Sonya
Agar hatiku yang garang seperti parang
Jangan marah Sonya..
Dan biarkan aku berbisik di telingamu
Menyatakan cintaku pada Indonesia…
Zawawi tinggal di sebuah desa yang sudah batasnya laut. Jarakya 1000 km dari Jakarta, 200 km dari Surabaya. Sejak tamat SD dia tidak pernah melanjutkan pendidikan, tetapi diminta membawakan kuliah tentang proses kreatif kepada para mahasiswa S-3.
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
“Saya ini ‘turki’ (turunan kiai) yang keseleo menjadi penyair,” cerita Zawawi Imron dengan gaya kelakar.
Dia menceritakan, ada yang meragukan dirinya sebagai kiai yang justru membaca puisi. Kemudian penyair yang menjadi pelukis. Dia mengakui, pekerjaannya sekarang melukis.
“Kemudian menjadi pelukis pun masih diragukan,” katanya.
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
Dia menyebutkan, jika menyebut seorang itu cantik, selalu memilih frasa tak biasa. Ya, seperti, “cantikmu itu tak bisa kumaafkan”. Ya, begitulah.
“Menjadi penyair itu harus kurang ajar-kurang ajar seperti itu,” kelakarnya lagi.
Dia mengakui banyak terinspirasi oleh filosofi Bugis. “Saya Terinspirasi kepada orang Bugis, ditemukan oleh sahabat saya Mukhlis PaEni,” sebutnya.
“Berpikirlah dengan hati yang jernih.. Hati yang bersih, sehingga tidak ada waktu untuk membenci orang lain. Hati yang ‘macinnong” itu, kata Zawawi yang menyebutkan, filosofi Bugis itu, merupakan sumber energi yang positif.
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
Zawawi menyebutkan, puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku’ dalam kumpulan Deru Campur Debu”, sudah didahului oleh puisi Bugis empat ratus tahun lalu. Ada puisi Bugis yang justru Chairil Anwar yang memiripkannya.
“Kalau layarku sudah berkembang
kemudi telah kupasang,
biar perahu akan tenggelam
pantang aku kembali ke pantai”.
Zawawi menemukan puisi ini pada tahun 1986, ketika dia menulis kumpulan puisi yang berjudul “Berlayar di Pamor Badikku”. Hanya sejengkal tanah badik, tapi tidak kunjung selesai. Yang namanya filosofi Bugis itu menjadi inspirasi. Menjadi pemimpin saja sekarang, kalau mengambil filosofinya orang Bugis, itu tinggal mengikuti nyanyinya orang Wajo.
“Walaupun bagus perahu,
tapi bodoh pendayungnya..
Tidak akan sampai ke tujuan..
Ketika Bung Karno memeras Pancasila itu menjadi gotong royong, di Bugis ada “sipakatau”.Oleh sebab itu, dia sedang menulis puisi berjudul “Mata Badik, Mata Puisi” yang belum terbit.
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
Ada juga puisinya yang dibacakan di depan Presiden Joko Widodo yang membuat mantan Wali Kota Solo itu tertawa dan bertepuk tangan. Bisa dilihat di Youtube berjudul “Pidato Budayawan Zawawi Imron yang menggetarkan Presiden Jokowi”. Hanya dua baris, tetapi orang Bugis senang mendengarnya karena diambil dari filofois Bugis.
“Telur. Dubur ayam yang mengeluarkan telur. Lebih mulia dari mulut intelektual yang hanya menjanjikan telur,” yang membuat peserta Temu Penulis Makassar II ini terkagum dan bertepuk tangan meriah.
Dalam orasinya, Zawawi menceritakan kedekatan dirinya dengan etnis Bugis. Ia bahkan mengutip sejumlah pepatah Bugis yang sarat filosofi yang sangat tinggi. Falsafah-falsafah Bugis banyak menjadi sumber inspirasi puisi-puisinya.
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
Temu penulis Makassar ini dihadiri lebih 50 penulis. Mereka memberikan testimoni tentang proses kreatif dalam menulis. Seorang penulis lainnya, Prof Hamdar Arraiyah membacakan puisi-puisi karyanya.
Mereka yang hadir antara lain Qasim Mathar, Rusdin Tompo, Waspada Santing, Kadis Perpustakaan Kota Makassar Tenti A.Palallo, Amir Muhidin, Moh.Yahya Mustafa, M.Dahlan Abubakar, Yudisthira Sukatanya, Wanua Tangke, Adi Suryadi Culla, Nur Alim Jalil, Amir Jaya, Abd. Karim, dan banyak lagi lainnya.
Ayah tiga anak (seorang meninggal) yang menikahi istrinya ketika masih berusia 13 tahun dan Zawawi berusia 21 tahun ini, mulai terkenal dalam percaturan sastra Indonesia sejak Temu Penyair 10 Kota di Taman Ismail Marzuki, di Jakarta pada tahun 1982. Bakat kepenyairannya ditemukan oleh Subagio Sastrowardojo.
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
Sejak tamat Sekolah Rakyat, dia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Lambicabbi, Gapura, Semenep. Kumpulan sajaknya “Bulan Tertusuk Ilallang” mengilhami Sutradara Garin Nugroho untuk membuat film layar perak “Bulan Tertusuk Ilallang”. Kumpulan sajaknya “Nenek Moyangku Airmata” terpilih sebagai buku puisi terbaik dengan mendapat hadiah Yayasan Buku Utama pada 1985.
Pada 1990 kumpulan sajak “Celurit Emas” dan “Nenek Moyangku Airmata” terpilih menjadi buku puisi di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Juara pertama sayembara menulis puisi AN-teve dalam rangka HUT ke-50 RI pada 1995. Beberapa sajaknya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, Belanda dan Bulgaria.
Zawawi Imron merupakan Anggota Dewan Pengasuh Pesantren Ilmu Giri (Yogyakarta). D. Zawawi Imron banyak berceramah Agama sekaligus membacakan sajaknya, di Yogyakarta, ITS. Surakarta, Unhas, Makasar, IKIP Malang dan Balai Sidang Senayan Jakarta. Juara pertama menulis puisi di AN-teve.
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
Pembicara Seminar Majelis Bahasa Brunei Indonesia Malaysia (MABBIM) dan Majelis Asia Tenggara (MASTERA) Brunei Darussalam (Maret 2002). Selain itu Dia juga dikenal sebagai Budayawan Madura.
Pada Juli 2012 Zawawi meluncurkan buku puisinya yang berjudul “Mata Badik Mata Puisi” di Makassar, kumpulan puisinya ini berisi tentang Bugis dan Makassar.
Hingga kini, Zawawi Imron masih setia tinggal di Batang-batang, Madura, tanah kelahiran sekaligus sumber inspirasi bagi puisi-puisinya.
Penghargaan.
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
Pada 2012 dia menerima penghargaan “The S.E.A Write Award” di Bangkok Thailand, The S.E.A. Write Award adalah penghargaan yang diberikan keluarga kerajaan Thailand untuk para penulis di kawasan ASEAN.
Pada 2018 menerima penghargaan sebagai tokoh yang berjasa di bidang kebudayaan dalam acara Kongres Kebudayaan Indonesia, Kemendikbud.[5] Penghargaan ini diserahkan oleh Presiden Joko Widodo. Tokoh lain yang menerima penghargaan adalah Ismiyoto (tenaga ahli konservasi Candi Borobudur 1973-1983), Hubertus Sadirin, dan sastrawan Putu Wijaya’.
Dia pernah menjabat Ketua Bidang Sastra Lembaga Kesenian Sumenep. D. Zawawi Imron adalah sosok seniman langka. Ayahnya meninggal sebelum ia berumur delapan tahun. Zawawi Imron lahir di lingkungan masyarakat yang tidak biasa menggunakan bahasa Indonesia. Istrinya sempat mengenyam pendidikan sampai Kelas III SD dan tidak bisa berbicara dalam bahasa Indonesia (hanya mengerti secara pasif). Namun, istrinya pandai setiap tulisan suaminya hingga tidak pernah ada yang hilang.
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
Sebagai orang Madura yang masih terikat adat, Zawawi mengalami masa kawin muda. Istrinya baru berumur 13 tahun saat dikawininya, sedangkan Zawawi sendiri saat itu berumur 21 tahun. Dia memiliki tiga orang anak, tetapi satu di antaranya meninggal dunia. Anak sulungnya, Zaki, semasa remaja menyukai sajak juga. Pertama kali Zawawi Imron menulis sajak ketika berusia 17 tahun dalam bahasa Madura.
Zawawi beralih menulis dalam bahasa Indonesia karena teman-temannya mengomentari bahwa ia tampak kolot saat membacakan sajaknya dalam bahasa Madura. Dia merasa sangat berterima kasih kepada Pak Sutama, camat di tempat dia pertama kali memberinya kesempatan untuk mengetik puisi-puisinya. Pak Sutama itu pula yang berjasa mengirimkan puisinya ke Mingguan Bhirawa (Surabaya) asuhan Suripan Sadi Hutomo dan pertama kali disiarkan tahun 1974.
Pada tahun 1979 ia memenangi sayembara cipta puisi tingkat nasional yang diadakan oleh Pengurus Pusat Perkumpulan Sahabat Pena Indonesia. Pada tahun 1981 ia memenangi lomba mengarang buku bacaan SD yang diadakan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
Tulisan-tulisan Zawawi banyak dimuat di koran-koran dan majalah pusat dan daerah seperti Suara Karya, Bhirawa, Berita Buana, Sinar Harapan, Horison, Zaman, Liberty, dan Panji Masyarakat.
Dengan demikian, Zawawi Imronlah yang pertama-tama berhasil mematahkan pandangan selama ini bahwa seorang penyair Indonesia yang berkualitas mesti lahir di kota-kota besar. Subagio mengangkat dua kumpulan puisi Zawawi, yaitu Bulan Tertusuk Ilalang dan Nenek Moyangku Air Mata, sebagai topik makalahnya pada Pertemuan Sastrawan Nusantara V di Makasar tahun 1986. Dalam kesempatan itu Subagio memberikan pujian dengan menyatakan bahwa Zawawi Imron telah mencapai pengucapan pribadi yang khas dengan mengungkapkan dunia angan-angannya yang berwatak surealisme yang mengatasi dan menolak batas-batas kenyataan.