Oleh: Dony Himawan (Penyuluh Pajak Ahli Madya)
REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Fluktuasi harga minyak dunia memiliki pengaruh terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yakni atas subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dan listrik. Kenaikan harga mendatangkan windfall (keberuntungan), namun juga memicu defisit anggaran dan memacu kesinambungan fiskal (fiscal sustainability). Hal ini berpotensi mendorong pemerintah untuk melakukan revisi APBN di tahun berjalan, selain upaya lainnya berupa pengamanan kebijakan, penjagaan iklim investasi, pengendalian laju inflasi, dan penguatan fondasi perekonomian nasional dalam momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi Coronaviruse Desease-19 (COVID-19).
Kondisi perekonomian dunia saat ini masih dihantui dengan ketidakpastian dan belum sepenuhnya pulih kembali pasca pandemi COVID-19. Situasi ini diperparah dengan berlangsungnya konflik antara Ukraina dengan Rusia dan keterlibatan beberapa negara lain seperti Inggris, Perancis, dan Jerman yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara/North Atlantic Treaty Organization-NATO, dan Amerika Serikat, serta Jepang. Mereka secara lugas menyatakan dukungan politik terhadap Ukraina dengan pemberlakuan sanksi ekonomi terhadap Rusia.
Situasi tersebut berdampak terhadap harga dan distribusi komoditas internasional, akibat blokade ekonomi dan militer sebagai bagian dari penerapan sanksi ekonomi, termasuk di dalamnya harga minyak mentah di pasaran internasional. Di samping faktor lainnya yang turut memengaruhi fluktuasi tersebut seperti situasi geopolitik global, kebijakan ekonomi China dan Amerika Serikat, tingkat produksi minyak dunia, forecast cadangan minyak, nilai tukar USD, dan peningkatan permintaan energi minyak yang tidak diimbangi dengan kapasitas produksi. Pada akhirnya berpengaruh terhadap APBN kita karena harga minyak mentah dunia merupakan salah satu asumsi makro dalam penyusunan RAPBN. Kenaikan yang signifikan atas harga minyak mentah dunia dan berlangsung lama akan berdampak serius terhadap pengeluaran APBN, berupa besaran subsidi BBM dan listrik serta Dana Bagi Hasil (DBH).
Tentu kita tahu bahwa dalam penyusunan RAPBN selalu digunakan indikator ekonomi makro sebagai dasar perhitungan, yakni tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat laju inflasi, tingkat suku bunga Bank Central, nilai tukar rupiah terhadap USD, harga minyak mentah di pasaran internasional (ICP), dan lifting minyak. Dengan indikator-indikator tersebut dihitung besaran pendapatan, belanja dan pembiayaan APBN.
Realisasi masing-masing indikator di tahun berjalan menjadi pertimbangan Pemerintah dalam penentuan kebijakan strategisnya di bidang ekonomi. Di antaranya pada Sabtu, 3 September 2022 yang lalu Pemerintah resmi menetapkan harga baru BBM-subsidi jenis solar, pertalite dan pertamax. Solar dari harga Rp.5.150,- menjadi Rp.6.800,-, pertalite dari harga Rp.7.650,- menjadi Rp.10.000,- dan pertamax dari harga Rp.12.500,- menjadi Rp.14.500,-.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani dalam dalam Rapat Paripurna DPR RI, 30 Agustus 2022 menyatakan subsidi dan kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) dapat mencapai lebih dari Rp698 triliun sampai akhir 2022. Jumlah tersebut melampaui kuota yang ditetapkan dalam APBN 2022, yakni Rp.502,4 T akibat tren kenaikan minyak dunia, pelemahan kurs rupiah, dan konsumsi pertalite dan solar yang besar.
Pada listrik, subsidi tetap diperlukan oleh karena PLN sebagai penyedia listrik negara sebagian pembangkit listriknya masih bergantung kepada pembangkit listrik yang berbahan bakar.
Pembelian BBM oleh PLN adalah BBM nonsubsidi, sehingga apabila terjadi perubahan harga minyak mentah akan berpengaruh terhadap Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik. Jika Tarif Dasar Listrik (TDL) yang ditetapkan Pemerintah tidak mengalami penyesuaian, maka beban subsidi listrik (selisih TDL dengan BPP) akan mengalami perubahan sesuai perubahan harga minyak mentah tersebut.
Selanjutnya perubahan penerimaan SDA Migas akibat perubahan harga minyak mentah akan memengaruhi besaran alokasi belanja daerah, yakni DBH penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas alam. Sesuai UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, bahwa DBH disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan. Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan persentase dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam APBN, sehingga setiap perubahan pada penerimaan negara dari sektor migas (PPh Migas maupun PNBP SDA Migas) dan DBH dalam penyusunan APBN, secara otomatis akan menyebabkan perubahan besaran DAU. Hal ini berbeda dengan penyusunan APBN Perubahan (APBN-P), di mana perubahan asumsi ICP tidak memengaruhi besaran DAU, oleh karena besaran DAU dan alokasinya telah ditetapkan dengan Peraturan Presiden untuk masing-masing pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Dampak kenaikan harga minyak mentah terhadap APBN dapat diredam dengan mengupayakan peningkatan produksi minyak mentah dan mengendalikan (membatasi) konsumsi BBM-subsidi dalam negeri. Hal yang disebutkan pertama tidaklah mudah untuk direalisasikan, oleh karena terdapat beberapa faktor dan kendala yang dihadapi para pelaku usaha di bidang eksplorasi minyak dan gas bumi. Sedangkan hal yang disebutkan berikutnya juga tidak mudah, oleh karena pembatasan konsumsi BBM kepada masyarakat akan mendapat tantangan resistensi publik yang cukup luas.
*Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi penulis bekerja.
