REPUBLIKNEWS.CO.ID, JENEPONTO — Desa Wisata Kassi, di Kecamatan Rumbia, Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan siang itu terlihat ramai pengunjung. Desa ini dikenal sebagai salah satu desa wisata terbaik yang menawarkan keindahan alam dan destinasi agrowisata.
Seorang anak muda berbaju kaos bergaris dengan kombinasi warna hitam dan abu-abu terlihat mengarahkan telepon gengamnya ke sebuah tiang bambu. Di tiang itu, tergantung kode QR yang menjadi sistem pembayaran resmi untuk pembelian tiket masuk.
Pembayaran melalui Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) atau tanpa uang tunai menjadi simbol perubahan besar yang mulai menyentuh kehidupan masyarakat di desa ini. Sekaligus, menjadi penanda bahwa masyarakat di desa secara bertahap mulai menuju desa inklusif finansial.
Kemajuan sistem transaksi ke arah digital di Desa Wisata Kassi ini tidak terlepas dari dorongan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar) melalui program Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI). Program ini dilaksanakan melalui kolaborasi antara OJK Sulselbar, Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) Jeneponto, dan Bank Sulselbar yang diluncurkan pada 2024 lalu.
”Dari program EKI ini kami menjadi desa binaan Bank Sulselbar. Kami perlahan-lahan didorong untuk naik kelas dengan menyediakan transaksi QRIS untuk pembelian tiket bagi pengunjung. Termasuk juga pada sistem transaksi lainnya di dalam lokasi wisata,” terang Pengelola Desa Wisata Kassi, Nur Syarif, saat dikonfirmasi, Selasa, 14 Oktober 2025 lalu.
Penyediaan layanan transaksi QRIS ini diakui memberikan multiplayer effect, dimana bukan hanya memudahkan pengunjung dalam melakukan pembayaran, tetapi juga bagi pelaku usaha. Misalnya, pengunjung tidak perlu lagi membawa uang tunai yang banyak, serta proses pembayaran bisa lebih cepat.
”Kita sebagai pelaku usaha juga terbantu karena pengelolaan transaksi lebih sederhana, terpenting juga risiko penipuan uang palsu semakin berkurang,” jelasnya.
Syarif menjelaskan, desa wisata ini dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kassi yang telah dirintis sejak 2011 lalu oleh anak muda yang tergabung dalam Karang Taruna Desa Kassi. Hingga saat ini desa tersebut dikenal sebagai destinasi agrowisata yang menawarkan wisata buatan, seperti camping, kolam renang, dan wisata kebun.
”Saat ini pengunjung kami banyak yang menikmati wisata camping dan juga wisata kebunnya, untuk pengunjung memang saat ini masih didominasi oleh wisatawan lokal,” ujarnya.
Program EKI di Desa Kassi ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui inklusi keuangan. Dimana diimplementasikan dengan memfasilitasi masyarakat mengenal dan menjangkau produk dan layanan keuangan, memfasilitasi pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam mengakses modal usaha di perbankan hingga menjadi merchant QRIS, serta mengedukasi masyarakat dalam mengenal layanan jasa keuangan yang legal dan diawasi OJK.
”Jadi waktu itu kami diberikan banyak edukasi, mulai dari mengenal layanan jasa keuangan hingga produk keuangan yang legal, seperti pinjaman online (pinjol) yang resmi. Dari sini kami tahu mana produk-produk jasa keuangan yang legal dan tidak, termasuk produk keuangan di perbankannya,” jelas Syarif.
Sementara, Kepala Desa Kassi, Murniati menilai bahwa adanya program EKI yang menyentuh masyarakatnya memberikan dampak positif yang signifikan. Salah satunya membantu pelaku UMKM dalam memanfaatkan sistem pembayaran digital.
”Dari segi UMKM, sekarang di desa kami ini sudah banyak pelaku usaha yang menggunakan sistem transaksi QRIS, tidak lagi pakai uang tunai. Ini sebuah kemajuan bagi desa kami, makanya manfaatnya cukup besar dari program EKI ini,” terangnya.
Selain itu, mengedukasi masyarakat hingga pelaku usaha dalam mengakses pembiayaan Kredit Usaha Rakyar (KUR). Apalagi, secara garis besar masyarakat di desa ini masih terkendala dalam hal akses permodalan, sehingga dari program EKI sangat membantu masyarakat yang mayoritasnya adalah petani hortikultura.
”Kenapa saya katakan begini, karena memang masyarakat kami disini mulai banyak yang mengakses kredit di bank dari awalnya mereka awam soal itu. Dulu juga banyak warga yang mengira bahwa bank yang bisa memberikan kredit itu hanya BRI dan Mandiri, tetapi setelah ada program ini masyarakat jadi tahu kalau di bank lainnya seperti Bank Sulselbar ini ternyata bisa memberikan KUR,” katanya.
Terpisah, Kepala OJK Sulselbar, Moch. Muchlasin menjelaskan, program Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI) merupakan inisiatif kolaboratif antara OJK dan TPAKD di daerah untuk memperkuat akses keuangan masyarakat di wilayah perdesaan melalui pendekatan ekosistem.
”Artinya, kami tidak hanya mendorong masyarakat untuk menabung atau mengakses pembiayaan, tetapi juga membangun rantai nilai ekonomi yang utuh. Mulai dari sisi produksi, pemasaran, hingga pembiayaan,” jelasnya.
Di Jeneponto, misalnya, lanjut Muchlasin, program EKI difokuskan pada Pokdarwis Desa Kassi, dengan tujuan memperkuat aktivitas ekonomi wisata berbasis potensi lokal seperti agrowisata dan produk olahan hasil pertanian. Implementasinya melibatkan lembaga keuangan, pemerintah daerah, dan pelaku usaha lokal untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan.
Ia mengungkapkan bahwa program EKI di Jeneponto telah membuka akses keuangan bagi kelompok masyarakat melalui berbagai inisiatif. Pertama, memfasilitasi pembukaan rekening dan tabungan bagi anggota Pokdarwis dan UMKM desa. Sepanjang 2024 telah terealisasi penyaluran kredit sebanyak Rp3,7 miliar kepada 40 orang pelaku UMKM, serta menghimpun Dana Pihak Ketiga (DPK) sekitar Rp565 juta dari 150 orang nasabah.
Kedua, peningkatan penggunaan QRIS bagi pelaku usaha wisata dan penjual produk lokal. Dimana pembentukan QRIS sebanyak 39 merchant, pembentukan Agen Bank Sulselbar sebanyak 1 orang, serta pembukaan tabungan haji sebanyak 28 orang.
Ketiga, pendampingan untuk mengakses pembiayaan produktif dari lembaga keuangan formal. Hingga saat ini, tercatat peningkatan signifikan pada jumlah rekening simpanan dan transaksi digital di wilayah EKI Jeneponto.
”DPK dari masyarakat desa meningkat, dan pelaku usaha lokal kini lebih aktif menggunakan layanan keuangan digital dalam aktivitas ekonominya,” katanya.
Dalam program ini pelibatan TPAKD dianggap besar dalam membantu OJK mendorong literasi dan inklusi keuangan di daerah. Pasalnya, TPAKD memiliki peran yang sangat strategis sebagai wadah koordinasi antara OJK, pemerintah daerah, lembaga keuangan, dan stakeholder lainnya.
TPAKD dinilai menjadi motor penggerak program literasi dan inklusi keuangan di daerah. Melalui TPAKD, berbagai inisiatif seperti EKI dan business matching antara pelaku usaha dan lembaga keuangan dapat dijalankan secara efektif. Dengan adanya TPAKD di tingkat kota dan kabupaten, program-program ini dapat menjangkau masyarakat pedesaan secara lebih efektif, karena lokasinya yang dekat dan memahami kebutuhan spesifik masyarakat setempat
”Kolaborasi ini memastikan program inklusi keuangan tidak hanya bersifat seremonial, tetapi benar-benar memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat perdesaan. Hal ini memungkinkan TPAKD untuk merancang dan melaksanakan program literasi dan inklusi keuangan yang lebih tepat sasaran dan berkelanjutan,” jelas Muchlasin.
Ekonom Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Rianda Ridho Hafizh menilai, program yang digagas OJK merupakan suatulangkah yang sangat strategis dan efisien dalam konteks pemerataan ekonomi. Efisiensinya terletak pada pendekatan ekosistem, bukan sekadar memperluas akses perbankan, tetapi juga menciptakan rantai nilai keuangan yang saling terhubung. Mulai dari pelaku UMKM, koperasi, BUMDes, hingga lembaga keuangan formal.
”Dengan cara ini, programnya tidak hanya membuka rekening di perbankan, tetapi membangun perilaku finansial yang produktif dan memperkuat basis ekonomi desa secara berkelanjutan,” katanya.
Penguatan akses keuangan masyarakat di wilayah perdesaan sangatlah perlu untuk didorong. Sebab, ia menjadi fondasi utama fondasi bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Di wilayah perdesaan, banyak potensi ekonomi seperti pertanian, perikanan, dan UMKM yang belum termonetisasi dengan baik karena keterbatasan akses modal, tabungan, dan asuransi.
Sehingga, ketika masyarakat desa memiliki akses ke layanan keuangan formal, mereka lebih mampu mengelola risiko ekonomi, mengembangkan usaha dengan modal produktif, dan yang terpenting adalah meningkatkan kesejahteraan rumah tangga melalui tabungan dan investasi kecil.
”Jadi program yang dilakukan OJK ini akan memperkuat akses keuangan di desa, ini berarti memperkuat kemandirian ekonomi rakyat dari bawah,” tegasnya.
## Pertumbuhan Ekonomi Merata Hingga ke Desa
Muchlasin melanjutkan, banyak harapan besar dengan diinisiasinya program EKI tersebut. Salah satunya, OJK ingin memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak hanya terjadi di perkotaan, tetapi juga merata hingga ke desa.
”Dengan memperkuat ekosistem ekonomi desa, masyarakat dapat mengakses pembiayaan, menabung, berasuransi, dan melakukan transaksi digital secara lebih mudah dan aman,” terangnya.
Belum lagi, wilayah perdesaan memiliki potensi ekonomi yang besar namun seringkali belum terhubung dengan sistem keuangan formal. Akses terhadap produk dan layanan keuangan masih rendah, sementara di desa terdapat banyak pelaku usaha kecil, petani, nelayan, dan kelompok masyarakat produktif.
”Adanya gap tingkat literasi dan inklusi keuangan di wilayah perkotaan dan perdesaan, serta mendorong urgensi untuk pemulihan, pertumbuhan, serta keberlanjutan sektor pariwisata, sehingga pengembangan usaha dan peningkatan skala produktivitas harus dilakukan,” tegas Muchlasin.
Program EKI yang berfokus pada pengembangan ekonomi di perdesaan juga searah dengan upaya pemerintah yang saat ini tengah mengembangkan desa wisata untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, serta memajukan kebudayaan.
”Pengembangan desa wisata juga merupakan salah satu bentuk percepatan pembangunan desa secara terpadu untuk mendorong transformasi sosial, budaya, dan ekonomi desa. Hal ini juga bersinergi dengan tujuan program EKI ini,” ujarnya.
Menurutnya, untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan, masyarakat perlu melihat manfaat nyata dari penggunaan produk keuangan dalam kehidupan sehari-hari.
”Dengan membangun ekosistem ekonomi di desa, masyarakat tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi menjadi bagian dari sistem keuangan yang produktif dan berkelanjutan,” ujarnya.
Hingga saat ini program EKI telah diterapkan di delapan yang tersebar di Sulawesi Selatan. Di periode 2023 diluncurkan di Desa Lembanna, Kabupaten Bulukumba, kemudian di 2024 di Desa Kassi, Kabupaten Jeneponto, dan Desa Nepo, Kabupaten Barru. Sementara sepanjang 2025 ini, program EKI berhasil diluncurkan OJK Sulselbar di Desa Mattoanging, Kabupaten Bulukumba, Desa Mandatte, Kabupaten Enrekang, Desa Tetewatu, Kabupaten Soppeng, Desa Bacu, Kabupaten Bone, dan Desa Bulubulu, Kabupetan Bone.
## Peran TPAKD Perkuat Literasi dan Inklusi Keuangan di Desa
Implementasi program literasi dan inklusi keuangan di wilayah perdesaan, salah satunya program EKI tentunya tidak luput dari tantangan yang ada. Hanya saja keberadaan TPKAD di daerah sebagai lembaga kolaborator memberikan peran yang sangat strategis dalam menjawab tantangan tersebut.
Muchlasin mengatakan, beberapa tantangan yang masih sering dihadapi di wilayah perdesaan, antara lain, tingkat literasi keuangan yang masih rendah, sehingga masyarakat perlu didampingi secara intensif.
Kemudian, keterbatasan infrastruktur digital di beberapa wilayah desa yang menghambat optimalisasi transaksi digital. Selain itu, kapasitas kelembagaan lokal seperti kelompok tani, Pokdarwis, atau BUMDes yang masih perlu diperkuat agar dapat berperan aktif dalam ekosistem ekonomi.
Namun demikian, dengan dukungan dari seluruh TPAKD, tantangan tersebut terus diatasi melalui pelatihan, digitalisasi, dan pendampingan berkelanjutan. Sehingga mampu menggerakkan roda pembangunan, serta mengembangkan keuangan inklusif.
”Dimana tujuan akhirnya yaitu menjadikan desa sebagai destinasi wisata dengan memberi manfaat ekonomi dan lingkungan bagi seluruh warga. Salah satunya warga Desa Kassi di Kabupaten Jeneponto ini,” tutup Muchlasin.
Hal senada diungkapkan, Ekonom Unhas Makassar, Rianda Ridho Hafizh. Ie mengungkapkan, ada tiga hal yang menjadi tantangan bagi lembaga keuangan seperti OJK dalam mendorong literasi dan inklusi keuangan di desa.
Pertama, literasi keuangan yang masih rendah, yaitu masih banyaknya masyarakat desa belum memahami manfaat produk keuangan formal.
”Bahkan masih ada yang menganggap bank itu adalah “tempat berutang”, bukan sarana pengelolaan keuangan,” ujarnya.
Kedua, keterbatasan infrastruktur digital dan jaringan keuangan dibeberapa daerah, akses internet dan kehadiran lembaga keuangan masih terbatas. Ketiga, Kesenjangan kepercayaan (trust gap) antara masyarakat dan lembaga keuangan formal.
Dengan melihat kondisi yang ada memang perlu dilakukan upaya serius. Mulai dari menawarkan produk keuangan yang sesuai karakter ekonomi di desa, dan membangun sinergi antara bank, pemerintah daerah, koperasi, fintech, dan BUMdes.
”Termasuk mendorong kemajuan teknologi untuk mempermudah akses tanpa batas geografis, serta melakukan endampingan rutin agar masyarakat cakap mengelola keuangan,” jelasnya.
## Warga Desa Melawan Pinjol Ilegal
Seiring dengan meningkatnya akses digital saat ini, ancaman pinjol ilegal juga sangat besar mengintai masyarakat. Minimnya akses dan edukasi keuangan menyebabkan banyak masyarakat yang terjerat karena tergiur dengan proses peminjaman uang yang cepat dan tanpa syarat rumit.
Program EKI yang didorong OJK Sulselbar di Desa Kassi ini pun turut memperkuat pemahaman masyarakat terhadap produk dan layanan jasa kuangan ilegal. Salah satunya dengan mengajak masyarakat untuk mencegah dan mewaspadai pinjol ilegal.
”Termasuk juga banyak mengedukasi masyarakat kita disini terkait mengenal ancaman pinjol-pinjol ilegal yang makin berkembang. Hasilnya sekarang kami melihat warga mulai paham soal itu, terutama ibu-ibu dan pelaku usaha,” kata Murniati.
Syarif juga menilai, edukasi waspada pinjol ilegal yang dilaksanakan OJK sangat membuka pemahaman masyarakat tentang bahaya dari pemanfaatan produk keuangan ilegal. Termasuk bagi kalangan anak muda yang cukup dekat dengan perkembangan teknologi digital.
”Hampir semua anak muda disini sudah memakai handphone, sementara akun-akun pinjol seperti itu sangat mudah masuk saat bermain game atau media sosial. Makanya perlu ada penguatan literasi,” katanya.
Edukasi waspada pinjol ilegal tersebut dianggap sebagai bentuk pencegahan, sehingga kedepannya masyarakat, terutama anak muda di pedesaan bisa memiliki kesadaran untuk memanfaatkan produk keuangan yang legal dan aman.
”Dengan harapan informasi yang didapatkan juga bisa disosialisasikan lebih luas. Baik ke keluarga maupun di lingkungan sekitar agar dampak kebaikannya lebih besar,” katanya.
Sementara, Kepala OJK Sulselbar, Moch. Muchlasin mengungkapkan, masyarakat kini bisa lebih mudah dalam mengetahui dan memastikan bahwa lembaga jasa keuangan yang digunakan terdaftar secara resmi. Misalnya dengan memanfaatkan Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) dari OJK.
”Kami mencatat hingga akhir September 2025, OJK Sulselbar telah melayani lebih dari 48.000 permintaan SLIK dari masyarakat di wilayah Sulawesi, Maluku, dan Papua (Sulampua). Artinya, saat ini masyarakat cukup cerdas dan berhati-hati dalam menggunakan layanan jasa keuangan,” terangnya.
