REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan terus mendorong penguatan pemenuhan Hak Kesehatan Seksual Reproduksi (HKSR) bagi remaja perempuan dengan disabilitas dan kusta.
Kali ini upaya tersebut didorong melalui pelibatan lintas sektor yang dikemas dalam workshop. Pertemuan ini melibatkan pembicara mulai dari Dinas Pendidikan, Provinsi Sulawesi Selatan, Dinas Kesehatan Kota Makassar, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2A) Makassar, dan tenaga pendidik dari sekolah luar biasa (SLB).
Kegiatan yang berlangsung di Aula RRI Makassar ini juga bagian dari peringatan Hari Disabilitas Indonesia (HDI) yang jatuh pada 3 Desember setiap tahunnya. Peringatan HDI 2024 mengangkat tema “Memperkuat Kepemimpinan Penyandang Disabilitas untuk Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan”, serta dirangkaikan dengan perayaan Hari Ibu dengan tema “Perempuan Menyapa, Perempuan Berdata Menuju Indonesia Emas 2025.
Kepala Bidang Pendidikan Khusus, Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan Sary Dyana Muallim mengatakan, peran HWDI yang menyatukan berbagai sektor dalam kegiatan ini merupakan sebuah upaya yang luar biasa dalam menyamakan persepsi. Termasuk dalam hal pemberian pendidikan HKSR bagi orangtua dengan anak disabilitas dan kusta.
“Peran orangtua memang harus lebih-lebih ditingkatkan, dan terutama dari bidang pendidikan yang ada di lingkup pemerintah. Makanya kami menilai kegiatan-kegiatan yang digagas HWDI ini sangat penting dan luar biasa,” ungkapnya, usai menjadi narasumber dalam workshop, Minggu, (22/12/2024).
Kedepannya, sebagai bentuk komitmen dalam mengedepankan hak HKSR kepada anak remaja disabilitas dan kusta tersebut pihaknya akan membuat surat edaran bagi sekolah-sekolah untuk menjadikan materi HKSR masuk dalam kurikulum pendidikan. Termasuk dalam jengang pendidikan SLB.
“Termasuk mengajak peran orangtua untuk mengambil perhatian penuh, karena biar bagaimana anak-anak kita itu berada di lingkungan rumah lebih banyak daripada di sekolah,” terang Sary Dyana.
Menurutnya, saat ini yang menjadi tantangan, utamanya di lembaga pendidikan yaitu belum difokuskannya pembelajaran HKSR tersebut. Baik di lembaga pendidikan umum, maupun khsusu seperti sekolah luar biasa bagi kelompok disablitas dan kusta.
“Hanya saja tantangannya memang untuk belajar isu HKSR memang harus difokuskan, karena kami tahu bahwa anak-anak berpendidikan khusus itu memang mereka harus khusus diberikan pembelajaran,” terangnya.
Selain itu, kedepannya pihaknya akan melakukan kolaborasi dengan dinas kesehatan untuk turun langsung ke sekolah-sekolah memberikan pengetahuan tentang isu HKSR. Termasuk meminta kepada sekolah-sekolah untuk memberikan waktu, dan konsep pembelajaran yang ramah bagi disabilitas dan kusta.
“Memang yang menjadi catatan penting bahwa pembelajaran HKSR ini harus masuk dalam kurikulum di sekolah-sekolah SLB, bukan hanya di sekolah umum saja,” tegasnya.
Sementara, Kepala Bidang Perlindungan Perempuan, DP2A Kota Makassar Hapida Djalante mengatakan, pendidikan kesehatan reproduksi (Kespro) yang ada dalam HKSR merupakan bagian penting dari tumbuh kembang anak, termasuk anak dengan disabilitas dan kusta.
“Kespro ini membantu anak mengenali tubuhnya, memahami perubahan fisik dan emosional, serta melindungi diri mereka dari risiko,” terangnya, saat menyampaikan materi tentang “Perang Orangtua dalam Pendidikan Kespro pada Anak Disabilitas dan Kusta”.
Dalam pemberian HKSR ini pun orangtua memiliki peran kunci utama, hal ini bertujuan agar anak mendapatkan pendidikan kespro yang sesuai. Sebab, anak dengan disabilitas dan kusta memiliki keterbatasan akses informasi, belum lagi adanya stigma sosial yang masih terjadi.
“Maka dari itu dukung orangtua menjadi sangat pending untuk membimbing, melindungi, dan memberdayakan anak sesuai kebutuhannya,” ujarnya.
Ia menjelaskan, ada beberapa peran orangtua dalam memberikan pendidikan kespro kepada anak dengan anak disabilitas dan kusta. Pertama, sesuaikan dengan jenis disabilitas yang dialami anak. Misalnya, pada anak disabilitas intelektual menggunakan metode sederhana dan repetitif, sedangkan anak dengan disabilitas fisik yaitu memberikan informasi tentang alat batu dan cara membersihkan secara mandiri.
Kedua, gunakan pendekatan visual dan praktis. Misalnya, menggunakan metode gambar, video atau simulasi yang dapat membantu anak lebig memahami konsep abstrak. Ketiga, melakukan pemberian infromasi tentang kespro secara bertahap. Dalam hal ini, pengenalan fungsi tubuh pada anak dilakukan dengan tahapan yang sesuai. Misalnya, dimulai dari konsep dasar mengenal bagian tubuh, kemudian ke topik yang lebih kompleks seperti puberitas dan hubungan sosial.
Keempat, memberikan dukungan emosional. Dimana orangtua wajib menunjukkan bahwa mereka akan selalu ada untuk mendukung anak dalam memahami perubahan yang dialami.
Menurut Hapida, peran orangtua dalam pendidikan kespro anak dengan disabilitas dan kusta sangatlah penting. Dengan memberikan informasi yang tepat, orangtua tidak hanya membantu anak memahami tubuh mereka, tetapi juga melindungi mereka dari berbagai risiko.
“Pendidikan kespro yang inklusif dan mendukung dapat menjadi pondasi untuk masa depan anak dengan lebih baik,” tutupnya.
Ketua HWDI Sulsel Maria Un menilai, saat ini isu disabilitas belum menjadi menjadi isu lintas sektor, sebab masih dipahami semata menjadi tanggungjawab Dinas Sosial. Demikian pula dengan isu kusta yang tidak hanya berbicara tentang kesehatan.
Ia menerangkan, di sektor pendidikan, penyelenggaraan pendidikan yang inklusif mengalami kemunduran. Jumlah sekolah yang memberikan pendidikan inklusi juga masih terbatas. Jumlah sekolah yang terbatas dan tidak tersedianya sumber daya guru yang memiliki ketrampilan dalam membimbing proses belajar mengajar bagi peserta didik disabilitas sering menjadi alasan masih terjadi penolakan bagi penyandang disabilitas anak untuk bersekolah di sekolah regular.
Selain itu stigma terhadap penyandang disabilitas dan anak yang mengalami kusta juga masih sangat tinggi. Stigma yang masih tinggi bagi anak yang mengalami kusta, baik dari luar maupun stigma diri sendiri sehingga banyak dari mereka tidak mau melanjutkan sekolah kembali dan tidak mau lagi bergaul dengan orang di sekitar mereka.
“Yang juga cukup serius adalah banyak diantara mereka yang tidak mau diketahui sedang mengalami kusta sehingga tidak mau ke rumah sakit atau pusat layanan kesehatan untuk berobat. Hal ini tentu berbahaya bagi dirinya dan orang lain karena penyakitnya dapat menular jika tidak segera diobati dan juga dapat merusak organ tubuhnya,” terang Mia sapaan akrabnya.
Selain itu, ketika penyandang disabilitas tidak memiliki pendidikan yang baik maka mereka akan sulit untuk memiliki mata pencaharian. Sementara, dengan tidak adanya akses untuk mata pencaharian maka mereka akan berkontribusi terhadap makin meningkatnya angka kemiskinan di Makassar.
Demikian juga pelayanan kesehatan bagi penyandang disabilitas melalui Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang belum optimal dalam memberikan layanan kesehatan yang inklusif termasuk belum tersedianya aksesibilitas dan akomodasi yang layak. Kemudian, lingkungan yang tidak mendukung baik cara pandang keluarga, masyarakat, dan pengambil kebijakan, serta minimnya aksesisibilitas dan akomodasi yang layak yang tersedia makin menyulitkan penyandang disabilitas untuk dapat berpartisipasi secara optimal.
“Cara pandang masyarakat dan sebagian besar pengambil kebijakan belum bergeser dari paradigma charity based. Sehingga pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan kebijakan, program, dan kegiatan bagi penyandang disabilitas masih sangat kurang,” katanya.
Untuk itu dukungan dari pengambil kebijakan sangat dibutuhkan untuk mewujudkan masyarakat yang inklusif, diantaranya dengan implementasi kebijakan yang sudah ada, membenahi lingkungan agar ramah bagi semua melalui penyediaan akomodasi yang layak, dan aksesbilitas pada saran dan prasarana publik, serta penting pelibatan penyandang disabilitas utamanya anak dan remaja disabilitas dan yang mengalami kusta dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan mereka.
“Dukungan dari orangtua, pengasuh serta stakeholder lain kepada penyandang disabilitas utamanya anak dengan disabilitas dan kusta juga akan berkontribusi pada meningkatnya rasa percaya diri sehingga memiliki motivasi diri yang sama dengan anak lainya,” tutup Maria.
HWDI Sulsel Jembatani Tenaga Pendidik Mengetahui Isu HKSR
Guru SLB Negeri 1 Makassar, M. Siddieq menilai, HWDI Sulsel sangat memberikan kontribusi besar dalam membantu sekolah-sekolah luar biasa memahami apa yang menjadi kebutuhan dari anak-anak disabilitas maupun kusta.
Salah satunya memperkenalkan isu HKSR untuk didorong dalam pembelajaran di sekolah. Termasuk memberikan pelatihan kepada para guru-guru tentang bagaimana pentingnya HKSR ini diberikan untuk remaja dengan disabilitas dan kusta.
“Perannya sangat luar biasa sekali, terutama tentang isu HKSR bagi anak dengan disabilitas dan kusta ini, karena memang isu ini kami ketahui tentunya dari HWDI. Semoga kedepan terus ada penguatan kepada kami sebagai bekal, terutama dalam membuat materi pembelajaran yang ramah disabilitas, termasuk HKSR,” terangnya.
Kedepannya, edukasi HKSR selain diharapkan dapat masuk dalam kurikulum pembelajaran, juga mulai diberikan sejak masa penerimaan siswa baru atau di Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS).
“Di situlah hadir beberapa orangtua, makanya kami akan bekerjasama dengan dinas kesehatan untuk menghindirkan petugas kesehatan dalam rangka memberikan edukasi tentang layanan kesehatan, sebab kami sebagai guru tentunya masih memiliki batasan tentang itu,” tegasnya.
Hal lainnya yang masih diharapkan perlu didorong yakni dijadikan pembelajaran HKSR sebagai satu mata pelajaran tunggal, bukanlah menjadi sub materi.
“Dalam sistem pendidikan itu dia masuk dalam capaian pembelajaran, itupun di tingkatkan SMPLB dan SMALB, sementara itu harus mulai diajarkan sejak dini. Makanya kita harapkan HKSR ini bisa masuk dalam muatan lokal atau berbasis kebutuhan, tinggal bagaimana mengajukan menjadikannya sebagai capaian pembelajaran,” kata Siddieq.
Sementara, Kepala Bidang Kesehatan, Dinas Kesehatan Kota Makassar Sunarti mengatakan, kesehatan produksi bagi anak dan remaja dengan disabilitas dan kusta memberikan perhatian khusus.
“Kesehatan reproduksi bagi anak dengan disabilitas dan kusta ini memang sangat memerlukan perhatian terutama dari orangtuanya, salah satunya ibu. Makanya kegiatan yang dilaksanakan HWDI Sulsel hari ini sangat luar biasa,” katanya.
Selain itu, pendidikan, akses dan dukungan juga menjadi hal yang sangat penting untuk dipenuhi. Sebab, hal ini sebagai langka dalam memastikan kesehatan reproduksi bagi semua, termasuk anak dengan disabilitas dan kusta.
“Edukasi HKSR ini akan kami dorong atau perkenalkan dalam unit kesehatan sekolah (UKS) yang ada. Terutama di sekolah-sekolah luar biasa, sebab selama ini UKS di sekolah-sekolah baru membahas isu kesehatan secara umum. Makanya reproduksi ini akan kita pikirkan,” tutup Sunarti.
