Republiknews.co.id

Logam Berat Ancam Pemulung Perempuan di TPA Antang Makassar

Seorang pemulung perempuan saat memilah sampah di lokasi pengelolaan sampah di TPA Antang Makassar, Kamis, (31/08/2023). (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

”Kami hanya butuh makan, kalau sakit tinggal ke dokter”, – Pemulung Perempuan TPA Antang, Fitriani.

REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Cuaca Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu, 16 Agustus 2023 sangat cerah. Waktu menunjukkan sekitar pukul 11.45 Wita, terik matahari serasa berada sejengkal dari kepala.

Suhu panas bumi yang diprediksi Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sulawesi Selatan lebih dari biasanya tidak menyurutkan petugas-petugas mobil sampah untuk beraktivitas. Sekitar lima mobil truk sampah berlalu lalang masuk ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan waktu itu.

Di dalam TPA lautan sampah terbelah menjadi dua, pada sisi kanan terlihat gunungan sampah sekitar 20 hingga 30 meter, kemudian di sisi kiri gunungan sampah terlihat lebih tinggi. Di tengah-tengah gunungan sampah, dua mobil ekskavator sedang beroperasi mengangkat sisa-sisa sampah dengan meninggalkan aroma gas yang tajam di hidung.

Sejumlah mobil pengangkut sampah saat mengantri masuk di wilayah TPA Antang Makassar, Rabu, (16/08/2023). (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

Sampah yang menggunung di atas mobil ada yang berjenis plastik melalui sisa-sisa botol minuman, ada juga sampah basah yang menyengat hidung. Sejenis sampah elektronik dan ban yang habis dibakar, botol-botol oli juga berada di atas mobil yang terlihat menunggu antrian untuk memasuki tempat pembuangan sampah terakhir.

Di samping kiri mobil truk sampah yang mengantri terdapat lorong kecil menuju rumah-rumah pemulung. Lokasi rumah pemulung ini sekitar 5 hingga 6 meter menuju hamparan pembuangan akhir.Sekitar 10 rumah berpetak-petak dengan dinding seng, dan kayu yang mulai lapuk. Jalan masuk menuju pemukiman pemulung itu jauh dari gambaran pemukiman pada umumnya. Tidak berpaving blok, tumpukan sampah kering dalam karung bertumpuk rapi menghiasi sepanjang jalan lorong dan depan rumah mereka.

Di samping lorong pemukiman pemulung terdapat Kantor Pengelolaan TPA Antang, di depan kantor tersebut dibangun Puskesmas Terpadu (Pustu) yang terlihat sudah tertutup.

Saat memasuki lorong pemukiman warga yang mayoritasnya pemulung itu, terlihat dua anak perempuan sekitar usai 1 tahun bermain air dalam wadah baskom yang berasal dari pipa air PDAM. Salah satu anak menumpahkan air ke lantai yang searah dengan saluran tempat pembuangan. Satunya lagi meminum sisa air dalam baskom.

”Disitu mi kami ambil air untuk dikonsumsi warga-warga disini. Semuanya pakai selang ji masuk ke rumah. Tidak ada langsung. Air ini juga langsung ji di minum, tidak di masakmi,” kata Sinar (bukan nama sebenarnya) saat ditemui.

Dua anak-anak di perumahan pemulung TPA Antang Makassar saat bermain di sumber air PDAM, Rabu, (16/08/2023). (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

Sinar adalah salah satu pemulung yang juga tinggal disana. Rumahnya tepat berada di ujung lorong. Di depan rumah Sinar penuh dengan karung-karung sampah yang bertumpuk. Pemukiman ini pun hanya bersebelahan dengan lahan pembuangan sampah akhir.

”Sebelumnya kami mengkonsumsi air sumur, tapi karena kondisinya sudah sangat buruk makanya sumurnya di tutup,” ujarnya.

Dari cerita Sinar, air sumur tidak lagi dikonsumsi sekitar puluhan tahun yang lalu karena kondisi airnya yang dianggap tidak layak pakai. Mulai dari warna air yang mulai menghitam dan berbau, belum lagi kondisinya sudah dipenuhi sampah. Apalagi lagi karena sudah masuknya air PDAM di kawasan TPA tersebut.

”Sudah lama mi tidak dipakai, makanya kita tutup permanen. Baunya kayak bau got, hitam dan banyak sampahnya,” kata Sinar.

Sinar mengaku telah menjadi pemulung dan bermukim di wilayah TPA Antang sejak 1993 hingga diusianya ke 28 tahun saat ini. Jika beberapa perempuan seumuran Sinar menikmati kehidupan berkerja di kantor-kantor atau tempat lainnya, Sinar menikmati aktivitasnya bekerja di atas tumpukan sampah mulai petang hingga malam hari.

Saat memulung kebanyakan ia menghasilkan sampah dengan jenis plastik, dan sampah elektronik, seperti baterai, televisi dan kulkas. Sampah tersebut pun ia pilah sendiri tanpa menggunakan alat pengamanan yang benar.

”Ya kita pisah sendiri, antara aluminium, kaleng, sama besi dan plastik-plastik. Kita pilah sesuai komponennya. Kita lihat dulu dia masuk di komponen besi, kuningan, alma atau apa, jadi kita pisah sesuai itu,” terang Sinar.

Dalam aktivitasnya mengelola sampah pun Sinar mengaku hanya menggunakan baju yang digunakan saat beraktivitas sehari-sehari, jaket digunakan jika kondisi terasa dingin. Masker, hingga sarung tangan pun tidak menjadi alat penting saat memulung, dalih ribet menjadi alasan utama hampir seluruh pemulung perempuan yang ditemui.

”Tergantung, ada yang biasa pake jaket, kalau saya tidak ji, paling hanya pakai kaos biasa saja, tidak pake masker juga, sudah terbiasa ji. Tidak ada alat pelindung, yang saya pakai hanya laras, gancu dan karung,” akunya.

Keterbatasan peralatan keselamatan yang tepat, tentunya dapat mengekspos diri mereka terhadap bahaya keselamatan dan kesehatan. Apalagi tempat mereka mengepul sampah tidak luput dari sebaran sampah elektornik dengan kandungan logam berat yang cukup berbahaya bagi kesehatan. Salah satunya pada kandungan baterai yang biasa diambil pemulung itu terdapat kandungan logam berat seperti kobalt, kadmium, lithium, mangan, timbal, dan nikel. Kandungan ini dapat mencemari lingkungan dan berbahaya untuk kesehatan manusia. Bahkan limbah baterai ini masuk dalam kategori limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan salah satu organisasi non pemerintahan Save The Children pada Februari 2023 lalu, potensi limbah elektronik di Kota Makassar mencapai 5.651,2 ton per tahun. Limbah elektronik ini pun dibuang ke TPA Antang.

Dari hasil penelitian mereka juga mencatat tiga kecamatan di Kota Makassar yang memiliki limbah elektronik terbesar yaitu Kecamatan Makassar, Mamajang, dan Mariso. Persentase jenis limbah pun beragam terbanyak meliputi televisi sebesar 100 persen, ponsel 99,7 persen, kipas 93,2 persen, penanak nasi 88,7 persen, setrika 93,2 persen, kulkas 89,2 persen, laptop 76,4 persen dan AC 49,5 persen. Belum lagi pemulung di TPA Antang dalam mengelola limbah elektronik dengan cara disimpan sebesar 40 persen, 33 persen dijual, 20 persen diperbaiki, 4 persen dibuang, dan hanya 3 persen yang didaur ulang.

Sementara di Pemerintah Kota Makassar melalui Dinas Lingkungan Hidup mengakui belum memiliki data spesifik terkait suplay sampah elektronik yang ada di TPA Antang. Hingga saat ini data yang dirujuk berdasarkan referensi dari hasil penelitian akademisi di perguruan tinggi Makassar yang menyebutkan dalam per tahunnya sekitar 5.000 ton sampah elektronik dibuang ke TPA Antang.

Pencemaran logam berat melalui sampah elektronik ini pun dapat bersumber dari berbagai komponen. Baik melalui pencemaran air, udara, hingga sampah makanan yang ikut menyatu dengan sampah elektornik.

Pencemaran air akibat logam berat di TPA Antang ini terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan Mahasiswa Sarjana Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Firmawati Suwardi pada 2011 lalu. Hasil penelitiannya menunjukkan pada salah satu pengujian sampel air sumur gali warga di TPA Antang menunjukkan kandungan logam berat pada parameter Timbal (Pb) sebesar 0,128 ppm atau berada di atas ambang batas Permenkes RI No. 416/MENKES/PER /IX/1990, sebesar 0,05 ppm.

Kemudian pada penelitian lainnya yang dilakukan Maya Malle, mahasiswa Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin (Unhas) pada 2021 lalu mempelihatkan adanya kontaminasi logam berat atau zat Magnan (Mn) pada air bersih di wilayah TPA Antang sebesar 0,63 mg/L pada sampel 4, dan 0,65 mg/L pada sampel 5 atau berada diatas ambang batas Permenkes No 32 Tahun 2017 Tentang Standar Baku Mutu Kesehatan Lingkungan dan Persyaratan Kesehatan Air sebesar 0,5 mg/L, sehingga dinilai sumber air tersebur tidak memenuhi standar (TMS).

Selanjutnya untuk memastikan penelitian keduanya, penulis turut melakukan pengujian sampel air melalui Air Bersih PDAM Makassar yang berlokasi di perumahan pemulung milik Sinar yang berada di Jalan AMD Borong Jambu, RT 3, RW 4 atau TPA Lama. Hasilnya terdapat kontaminasi logam berat pada paramater Timbal (Pb) sebesar 0,027 ppm atau berada dibawah ambang batas Permenkes sebesar 0,05 ppm. Begitupun pada hasil pengujian parameter Besi (Fe) dengan hasil 0,027 mg/L atau berada dibawah ambang batas Permenkes sebesar 1mg/L.

Penulis saat mengambil sampel air PDAM yang berlokasi di perumahan pemulung milik Sinar yang berada di Jalan AMD Borong Jambu, RT 3, RW 4 atau TPA Lama, Rabu, (16/08/2023). (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)
Grafis hasil uji sampel air PDAM di perumahan pemulung, di Jalan AMD Borong Jambu, RT 3, RW 4, atau TPA Lama oleh Laboratorium Sucofindo Makassar.

Sementara pada pengujian sampel air sumur yang berlokasi di perumahan Fitriani di Jalan AMD Borong Jambu atau TPA Baru juga terdapat kontaminasi logam berat pada parameter yang sama dengan hasil dibawah ambang batas Permenkes atau 0,027 ppm pada parameter Timbal (Pb), dan 0,027 mg/L pada paramater Besi (Fe).

Penulis saat mengambil sampel air sumur yang berlokasi di perumahan pemulung milik Fitri yang berada di Jalan AMD Borong Jambu atau TPA Baru, Kamis, (31/08/2023). (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)
Grafis hasil uji sampel air sumur di perumahan pemulung, di Jalan AMD Borong Jambu, atau TPA Baru oleh Laboratorium Sucofindo Makassar.

Meski dari hasil pengujian sampel yang dilakukan penulis berada di bawah ambang batas baku mutu air, namun sumber air tersebut memiliki potensi besar untuk tercemar kandungan logam berat. Hal ini lantaran sumber air berjarak cukup dekat dengan TPA. Misalnya, pada lokasi air sumur di TPA Baru hanya berjarak sekitar 6 meter dari TPA yang didalamnya terdapat berbagai jenis limbah, seperti limbah baterai yang memiliki kandungan berbahaya.

Kepala Laboratorium Riset Sanitasi dan Persampahan Teknik Lingkungan Unhas Irwan Ridwan Rahim menilai, adanya pemukiman pemulung di wilayah TPA sangat mengancam kesehatan mereka. Terlebih jika dalam TPA tersebut diolah sampah jenis elektronik yang memiliki kadungan logam berat berbahaya. Sehingga secara aturan sampah elektronik harusnya memiliki TPA sendiri.

”Sebenarnya itu tidak boleh, sampah elektronik itu harus punya TPA sendiri, dia tidak boleh bergabung dengan sampah lainnya. Belum lagi standarnya tidak boleh ada masyarakat, cuman memang pemerintah kita saat ini terlalu mentoleransi. Padalah dalam standar itu tidak boleh, karena yang namanya TPA itu tidak boleh ada aktivitas didalamnya selain untuk membuang sampah atau limbah,” jelasnya.

Ia pun mendorong agar seluruh pihak ambil bagian dalam membuat standar pengelolaan yang jelas pada keberadaan sampah elektornik atau limbah B3 ini.

”Limbah B3 seperti sampah elektronik itu dikelola maupun tidak dikelola itu tetap ada ancamannya, tapi akan lebih besar jika tidak dikelola sesuai standar yang ada. Jadi bukan lagi hanya sekadar bahwa yang kita kejar ini adalah nilai ekonomis yang ada di elektronik itu, tetapi kita juga tetap harus memperhatikan standar keselamatan, kesehatan, dalam proses mengolahnya,” terangnya.

Nilai Ekonomi yang Mengabaikan Kesehatan

Hampir seluruh pemulung perempuan di TPA Antang mengaku tidak mengalami ganguan kesehatan apapun meski telah bertahun-tahun beraktivitas dengan sampah, bahkan diibaratkan mereka hidup berdampingan dengan sampah-sampah berbagai jenis tersebut.

”Mau di apami, kalau tidak pergi mulung kita dapat uang dari mana. Profesi pemulung mi ini yang tidak banyak aturannya, bahkan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Kalau sakit kita tinggal ke dokter saja, tapi sejauh ini jarang pemulung mengeluh sakit,” terang Fitriani yang telah bertahun-tahun menjadi pemulung di TPA Baru.

Kondisi pemukiman pemulung di TPA Antang Makassar, Rabu, (16/08/2023). (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

Apa yang diungkapkan Fitri berbanding terbalik dengan data yang dihimpun Puskesmas Pembantu (Pustu) Tamangapa. Sepanjang periode 2019 hingga 2023 berdasarkan jumlah kunjungan pasien ada lima jenis penyakit terbanyak yang diidap masyarakat di sekitar wilayah TPA Antang. Mulai dari Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA), Hipertensi (HT), Gastritis (asam lambung), Cefhaligia (sakit kepala), dan Dermatitis (alergi).

Pada 2019 jumlah penderita ISPA sebanyak 91 pasien, penderita HT sebanyak 87 pasien, Gastritis sekitar 79 pasien, Cefhaligia sebanyak 52 pasien, dan Dermatitis sebanyak 79 pasien. Selanjutnya di 2021 angka penderita ISPA sebanyak 38 pasien, penderita HT sebanyak 30 pasien, Gastritis sekitar 17 pasien, Cefhaligia sebanyak 18 pasien, dan Dermatitis sebanyak 26 pasien.

Selanjutnya di 2022 angka penderita ISPA sebanyak 27 pasien dan naik sebanyak 29 pasien penderita hingga periode Mei 2023. Pada pasien penyakit Gastritis sekitar 23 orang, kemudian meningkat 24 orang di 2023, penderita Cefhaligia yang tercatat 23 pasien juga naik menjadi 24 penderita di 2023.

Akademisi Kesehatan Lingkungan Universitas Hasanuddin Irwan Ridwan Rahim menilai, dampak kesehatan bagi masyarakat utamanya pemulung yang berada di wilayah TPA dengan suplai sampah elektornik yang begitu besar bukan hanya dirasakan dalam jangka pendek. Tetapi juga dalam jangka waktu yang cukup panjang.

”Jangka pendeknya itu misalnya mereka memilah sampah jenis baterai, itu kalau meledak dan terbakar gasnya sangat bahaya saat dihirup. Kita bisa infeksi saluran pernapasan, batuk dan pusing. Sementara jangka panjangnya seperti saat dia sudah tua baru muncul kanker, dan sebagainya,” katanya.

Seorang anak saat meminum air di botol plastik setelah beraktivitas di sekitar TPA Antang Makassar, Selasa, (15/08/2023). (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

Intinya menurut Irwan, dampak jangka pendek dari kontaminasi logam berat pada sampah elektronik terdapat pada reaksi tubuh, misalnya inpeksi saluran pernapasan, batuk, kemudian penyakit Brokitis dan sebagainya. Sementara yang jangka panjang ini bisa berbahaya karena efeknya tidak terjadi secara 10 atau 20 tahun kedepan, tetapi setelah tubuh dalam kondisi rentan.

Fitri mengaku, dua keluarganya yang juga berprofesi pemulung meninggal dalam keadaan sakit parah. Iparnya bernama Sanneng Daeng Te’ne meninggal di usia sekitar 49 tahun pada Desember 2021 lalu dengan identifikasi penyakit komplikasi kanker kulit dan payudara.

”Ipar saya itu kompikasi, katanya dokter diabetes, kanker payudara dan kulit. Kondisinya kasihan karena tubuhnya itu bernanah-nanah dari depan sampai belakang. Kita tidak tahu dari mana penyebabnya, karena waktu hidup dia memang menyembunyikan sakitnya sama keluarga, bahkan termasuk suaminya sendiri,” terangnya.

Sementara Ibu Fitri, Daeng Layik juga meninggal karena lumpuh melalui diagnosa kompikasi diabetes dan penyakit gatal menahun oleh dokter. Empat tahun melawan sakitnya, ibunya pun menghembuskan nafas terakhirnya pada 2020 lalu diusianya sekitar 76 tahun.

”Mama saya itu nanti sakit parah baru berhenti menjadi pemulung, cuman selama tua mi aktivitasnya itu hanya memilah sampah, tidak lagi ke TPA cari-cari sampah. Paling banyak sampah yang dipilah itu plastik botol, dan plastik kemasan,” terang Fitri.

Semoga penyakit yang diderita ipar dan ibu Fitri bukan disebabkan akibat kontaminasi logam berat akibat aktivitasnya menjadi seorang pemulung pada 20 atau 30 tahun sebelumnya.

Abai Menggunakan Perlindungan Keselamatan

Fitri mengakui sejak memulung di usianya ke 13 tahun hingga 40 tahun saat ini, ia enggan menggunakan masker ataupun pakaian pelindung khusus, sebab itu hanya menganggu aktivitasnya saat mencari sampah.

”Kalau pakai masker ki sesak jaki, belum lagi kalau kita cari sampah itu di bawah terik matahari, sesak sekali maki. Paling kalau sudah pi lagi dikeruk sampahnya karena biasa ada bau gas, cuman kadang diabaikan ji juga karena sudah terbiasa,” katanya.

Dirinya tak menapik jika sosialisasi agar menggunakan pakaian perlindungan keselamatan saat memulung kerap dilakukan instansti terkait, seperti Dinas Kesehatan. Hanya saja faktor ribet dan menganggu aktivitas sehingga mereka terkesan abai menggunakannya.

”Tidak terlalu dipikirkan sampai kesana juga sih, sakit paki lagi baru periksa. Mau dijaga kesehatan, tidak dapat maki uang. Tapi tetap jaki waspada,” katanya tertawa.

Bukit sampah setinggi sekitar 20 meter di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Antang Makassar, Selasa, (15/08/2023). (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

Ia menilai, ancaman nyata pemulung saat ini bukan dalam segi kesehatan, tapi lebih daripada kecelakaan di lokasi kerja (TPA). Sebab, menurutnya, lebih banyak pemulung yang meninggal akibat kecelakaan kerja, seperti tertimbun sampah, tertimpa listrik, dan lainnya. Sementara pemulung yang meninggal akibat ganguan kesehatah jauh dari ingatan.

”Tidak pernah kita dengar aneh-aneh sakitnya pemulung disini. Mungkin ini mi kuasa Allah, karena memang saat ini kita bisa bilang kami hidup melalui sampah-sampah ini,” ujar Fitri menyakinkan.

Pemulung lainnya Auliani (23) mengutarakan, dirinya menjadi pemulung sejak usiannya masih anak-anak, hingga saat ini. Selama memulung ia kerap kali tersiksa dengan aroma gas sampah yang menyengat hidung, hingga menembus dada dan membuat sesak. Hanya saja tak ada pilihan lain selain menikmati bau-bau sampah demi bisa mendapatkan uang buat keluarga. 

”Biasa jaki sesak kalau menyengat baunya, kayak panas masuk ke hidung, mungkin pengaruh gasnya. Cuman susah juga kalau kita pakai masker, makanya seadanya saja mi,” kisahnya.

Jenis sampah yang dicari Auliani saat ini kebanyakan jenis sampah plastik dan baterai (sampah elektronik). Sebab menurutnya, nilai tukar sampah baterai cukup mahal jika dibandingkan jenis sampah lainnya serupa plastik.

”Sampah beterai itu harganya Rp5000 per kilo, makanya kalau sampah ini banyak kita ambil, banyak juga kita dapat. Cuman kalau baterai itu susah di cari lama di keruk sampah dulu, makanya itumi biasa bau gasnya yang menyengat,” ceritanya.

Belum Adanya Standar Pengelolaan Sampah Elektornik

Plt Kepada Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar Ferdi Mochtar mengungkapkan, saat ini memang belum ada aturan pengelolaan sampah elektronik. Baik bagi pemulung, maupun pada bank-bank sampah yang ada di kelurahan atau kecamatan. Pasalnya persoalan sampah elektornik di Makassar ini dinilai merupakan hal yang baru.

”Di Makassar maupun di kota-kota lainnya ini kan baru. Makanya kita baru akan seriusi sekarang ini. Minimal kita akan buat aturannya, dimana disitu mengatur bagaimana penyediaan infrastrukturnya, misalnya dropbox khusus sampah elektronik, bagaimana mekansime penjemputannya, dan bagaimana cara mengelolaanya,” terangnya.

Kedepannya, pengelolaan sampah ini akan melibatkan bank sampah kota, termasuk memberikan training kepada pemulung-pemulung yang ada disana untuk bagaimana memberikan edukasi agar tahu dan paham tentang bahaya dari limbah sampah elektronik. Termasuk memberikan edukasi bagaimana cara yang tepat dalam mengumpulkan sampah elektronik.

”Sampah ini bagi pemulung sangat menjanjikan keuntungannya, makanya mereka hanya berfikir bagaimana mendapatkan uang dengan jangka yang pendek, tanpa memikirkan aspek kesehatan yang mengancam. Kalau pun diedukasi ya hanya saat hari itu juga, sementara dalam pengawasannya itu sangat terbatas bagi kami,” terangnya.

Kepala Bidang Persampahan, Limbah B3, dan Peningkatan Kapasitas DLH Kota Makassar Taufik Djabar mengaku, hingga saat ini pemerintah belum memiliki mekanisme pengelolaan sampah elektronik yang benar dan sesuai standar. Pasalnya, kategori sampah elektronik ini pun masih dimasukan dalam jenis sampah spesifik yang mengacu pada Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2020.

”Jadi masih masuk kesitu, terkait aturan yang khusus memang belum ada. Jadi kalau kita dari pemerintah memberikan batasan bahwa sampah spesifik itu muaranya bukan ke TPA, dia butuh perlakuan khusus, karena dia mengandung bahan berbahaya dan beracun seperti logam berat,” katanya.

Kondisi rumah pemulung (kanan) yang berdekatan langsung dengan TPA Antang Makassar. (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

Begitupun tarkait teknis penyimpanannya juga seperti limbah B3 pada umumnya, harus ada tempat khusus untuk penyimpanannya. Sehingga ia mengklaim jika di TPA Antang saat ini tidak ada penyimpanan atau pengelolaan sampah elektronik, seperti pembakaran kabel, dan lainnya.

”Kalau pun ada hanya sebatas bohlam lampu, dan baterai, yang memang telah tergabung dengan jenis sampah lainnya. Tentunya ini tidak bisa kita mengawasi satu persatu karena sifat atau pengumpulan sampahnya kan masih menyatu, bercampur antara sampah organik, non organik dan bahkan masuk sampah spesifik atau sampah elektronik,” terang Taufik.

Kedepan hal yang dilakukan DLH Kota Makassar yaitu membangun kesadaran masyarakat untuk mulai memilah sampah dari sumber, atau dari masing-masing rumah. Sehingga saat petugas sampah mengambil, kondisi sampah telah terpilah dari jenis sampah organik, sampah non organik, dan yang masuk dalam sampah elektronik.

”Intinya jangka pendeknya untuk saat ini, kita akan mendorong sosialisasi dan edukasi ke masyarakat, selain itu mengajak mereka memilah sampah dari sumber sampah yang ada,” katanya lagi.

Aktivitas mobil ekskavator saat melakukan pengerukan sampah di TPA Antang Makassar, Selasa, (15/08/2023). (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

Kepala Laboratorium Riset Sanitasi dan Persampahan Teknik Lingkungan Unhas Irwan Ridwan Rahim mengungkapkan, pada intinya dalam mengelola sampah elektronik ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, hubungannya dengan siapa yang mengerjakannya. Dimana mereka yang bekerja dengan sampah elektornik harus menggunakan standar keselamatan, seperti pelindung udara atau masker, sarung tangan dan sebagainya. Hal ini penting sebab kandungan-kandungan yang ada dalam sampah elektronik umumnya rentan dengan materi logam berat, yang bisa memberikan dampak kepada manusia yang bekerja.

Kedua, adalah orang yang ada pada lingkungan sekitar TPA yang menyuplai sampah elektronik, karena salah satu metode untuk pengolahan sampah elektronik biasanya dilakukan dengan metode pemanasan. Sehingga ada emisi yang keluar, dan emisi yang keluar itu bisa jadi mengandung zat-zat yang berbahaya, kalau terhirup langsung.

”Jadi bahayanya apa yaa kalau orang yang bekerja kan mungkin sudah terproteksi, yang bahaya ini orang disekitar situ yang tidak tahu kalau ada seperti itu, dan bahayanya bisa jangka pendek, bisa jadi jangka panjang juga,” sebutnya.

Perlu Perda Spesifik Soal Mengelola Sampah Elektronik

Irwan Ridwan mengaku, pemerintah harus segara mempercepat regulasi pengolahan limbah elektronik ini. Hal ini dianggapnya harus jelas, karena akan menjadi acuan bagaimana mengelolah sampah elektornik yang baik dan benar kedepannya.

”Mungkin nanti misalnya kalau sudah ada ya fungsinya tetap sebagai fasilitator, untuk memberikan fasilitas kepada pelaksana, termasuk juga mungkin regulator nantinya, bagaimana menjaga tetap apa yang sudah diputuskan. Regulasi ini yang paling urgent, kalau bisa dalam bentuk Perda terkait pengelolaan limbah elektronik,” katanya.

Perda pengelolaan sampah elektronik ini pun harus menjadi prioritas. Apalagi sekarang kondisinya perkembangan sampah elektronik cukup besar melalui perkembangan alat-alat elektronik yang kian berkembang. Makanya harus ada regulasi yang mengatur agar tidak ada tumpah tindih dari masing-masing pihak.

Kepala Bidang Persampahan, Limbah B3, dan Peningkatan Kapasitas DLH Makassar Taufik Djabar mengatakan, saat ini pihaknya tengah mengawal DPRD Kota Makassar yang tengah menyusun aturan tentang pengelolaan limbah B3 atau sampah spesifik.

”Sementara masih di proses dibahas di DPRD Makassar, kami hanya terlibat sebagai tim teknis saja. Kami berharap ini bisa segera disahkan agar jelas,” harapnya.

Aktivitas kendaraan pengangkut sampah di TPA Antang Makassar, Rabu, (16/08/2023). (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

Plt Kepada Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar Ferdi Mochtar mengungkapkan, kedepannya, pihaknya akan membuat semacam peraturan walikota (Perwali) tentang tata cara mengelola sampah elektronik. Salah satu hal yang dibahas dalam aturan tersebut yakni pada sistem penjemputan sampah jenis elektronik.

Misalnya, sistem penjemputan sampah elektronik ini akan langsung di lakukan dari rumah ke rumah dengan menggunakan armada yang ada di kelurahan maupun di kecamatan, sesuai dengan waktu yang telah diatur sebelumnya. Termasuk menyediakan lokasi khusus untuk sampah jenis elektronik, sebab sampah elektronik ini harus dikelola hati-hati karena memiliki limbah B3 yang membahayakan bagi orang-orang yang tidak memahami.

”Kita akan mulai mensosialisasikan bagaimana penjemputan sampah elektronik ini bisa di lakukan dengan sangat safety. Termasuk pada bank-bank sampah yang ada,” tutupnya.

“Tulisan ini bagian dari Liputan Tentang Cemaran Logam Berat di TPA Antang Makassar yang didukung AJI Jakarta dan Internews EJN.”

Exit mobile version