0%
logo header
Senin, 03 Juni 2024 13:42

Obituari Hasyim Ado: Pernah Dibantingi Pistol

M. Imran Syam
Editor : M. Imran Syam
Drs. Hasyim Ado (tengah). (Foto:Istimewa)
Drs. Hasyim Ado (tengah). (Foto:Istimewa)

Catatan M.Dahlan Abubakar (Pimpred Republiknews.co.id)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Hari ini, 2 Juni 2024, jagat media sosial wartawan Sulawesi Selatan menayangkan berita duka. Drs. Hasyim Ado, salah seorang wartawan senior Indonesia berpulang ke rakhmatullah di Ternate. Almarhum menutup usia pada usia 79 tahun kurang 14 hari. Almarhum dilahirkan di Raha Sulawesi Tenggara 16 Juni 1946, putra seorang guru. Hasyim  memulai debut jurnalistiknya di media radio dan bertahan hingga menjalani masa purnatugas.
Saya memang sudah lama tidak bertelepon ria dengan almarhum.Sekai waktu, pernah sekali. Waktu itu kalau tidak salah, Kak Hasyim, begitu biasa saya menyapanya, sedang dalam perjalanan Jakarta-Bandung. Kayaknya waktu itu, dia dalam perjalanan untuk membawakan materi pada pendidikan jurnalis radio di Jawa Barat. Setelah diangkat sebagai pegaai negeri sipil di RRI Makassar pada tahun 1971, enam tahun 1976 kemudian, Hasyim memulai tugasnya sebagai seorang reporter radio.

Jika dilihat dari profesi ayahnya, La Ode Ado, suami dari Wa Ode Kambalangi ini, pada diri Hasyim tidak ada darah wartawan. Ayahnya pada tahun 1945-1949 tercatat sebagai guru  di Makassar. Ia tergabung dalam kelasykaran yang dibentuk kala itu. Sambil belajar di Normaal School, La Ode Ado hidup dalam suasana revolusi fisik yang diwarnai perjuangan melawan penjajah.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (5-Habis)Wawancara Sambil Bermain Golf dengan Wapres

Hasyim Ado, anak ketiga dari 15 bersaudara, lahir ketika ayahnya belajar di Normaal School. Ia menjadi wartawan radio atas bimbingan para seniornya, seperti Emma Pangemanan dan A.Aziz Husain. Dalam perjalanan kariernya kemudian dia berkenalan dan bergaul dengan wartawan senior lainnya dari media cetak, seperti L.E.Manuhua dan M.Basir ( Harian Pedoman Rakyat). Giliran berikutnya, dia berkenalan pula dengan Rahman Arge, Arsal Alhabsy, Andi Moein MG, dan M.Alwi Hamu.. Kedua yang disebut pertama selain dikenal sebagai wartawan dan juga seniman.

Hasyim pernah menimba pendidikan jurnalistik radio di luar negeri. Tepatnya di Koln Jerman Barat antara tahun 1982-1983. Pendidikan itu dilaksanakan oleh Radio Deutsche Welle (Radio Jerman) yang siarannya juga dapat ditangkap di Indonesia dan dalam bahasa Indonesia. Ketika itu, dia juga sempat membantu TVRI dengan mengirim berita-berita yang tentu saja sesuai dengan misi televisi pemerintah kala itu.

Meski tercatat sebagai wartawan radio, Hasyim pun pernah membantu Harian Memorandum Surabaya pimpinan Agil H. Ali. Itu terjadi antara tahun 1983-1987 dengan posisi sebagai koresponden untuk Sulawesi Selatan.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (4)Satu Malam, Bobol 4 Kantor BRI Unit

Salah satu pengalaman yang tak terlupakan di benak Hasyim Ado adalah ketika tenggelam KM Tampomas II Januari 1981. Kala itu, dia berjalan-jalan di Pelabuhan Soekarno, setelah mendengar ada musibah tersebut. Dia melihat banyak tenaga SAR dan penyelamat lainnya berbondong-bondong naik ke sebuah kapal TNI Angkatan Darat. Rupanya, kapal itu akan bertolak menuju Kepulauan Masalembo, tempat kapal nahas yang dinakhodai Kapten Rivai itu tenggelam. (Saya bersama Kak Zohra Andi Baso (almarhumah) pernah mewawancarai Nakhoda Rivai di kamarnya di KM Tampomas II dalam pelayaran Makassar-Jakarta November 2018 saat bersama studi banding Jawa-Bali mahasiswa Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial Budaya (FIISBUD) Unhas. Ketika saya meminta  berfoto bertiga, Capt.Rivai menolak. Tetapi akhirnya untuk tidak mengecewakan kami, almarhum akhirnya mengalah. Beliau tepat di tengah. Saat KM Tampomas II terbakar dan tenggelam, saya ingat foto bertiga itu).

Begitu tiba di lokasi, Hasyim langsung mewawancarai para korban yang selamat. Alangkah bangganya, begitu tiba di darat, informasi dari Kepulauan Masalembo itu langsung disiarkan ke seluruh tanah air, bahkan ke mancanegara. Beberapa teman wartawan lainnya, banyak juga yang mewawancarai Hasyim, karena hanya dialah satu-satunya wartawan yang kebetulan baru pulang dari lokasi musibah kala itu.

‘’Ketika itu, komunikasi belum secanggih sekarang. Belum ada telepon seluler. Komunikasi hanya dilakukan dengan menggunakan radio kapal dan radio pantai serta radio single side band (SSB),’’ ujar suami Ny.Rabiah Arief ini, dalam wawancara di kursi paling belakang  pesawat seri terbaru milik Lion Air, Boeing 737 900ER, 19 Mei 2008 malam.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Dia kemudian mulai masuk ke jabatan struktural, ketika dipercaya memimpin RRI Stasion Palu pada tahun 1989-1992. Dari Palu, dia ditarik kembali ke Makassar dan dipercayakan memimpin Bidang Pemberitaan RRI Makassar (1992-1997). Pada saat inilah, dia juga aktif sebagai Pengurus PWI Cabang Sulawesi Selatan dan dipercayakan sebagai anggota di Bidang Pendidikan, kemudian Bidang Organisasi.

Ketika di Makassar, saat-saat yang berkesan baginya adalah saat terjadi kerusuhan berupa pembakaran dan penjarahan toko-toko milik warga keturunan, akibat kematian salah seorang anak seorang dosen perguruan tinggi negeri lantaran ulah warga keturunan itu. Pangdam VII Wirabuana kala itu, Mayjen TNI Agum Gumelar, sempat dibuat pusing, hingga akhirnya  menemukan seorang tukang becak yang bernurani suci. Dia hanya berpangku tangan dan termangu sedih menyaksikan teman-temannya yang menjarah isi salah satu toko di Jl. G.Bulukunyi.

‘’Mengapa tidak bergabung  dengan mereka,’’ Agum Gumelar yang terharu dan terketuk hatinya melihat tukang becak itu mematung mencoba mengusiknya.
‘’Itu bukan milik saya. Biarlah miskin begini, tetapi saya tidak mau mengambil hak dan milik orang lain,’’ jawabnya ketika jenderal bintang dua itu mencari tahu penyebabnya.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (2)Tiga ‘Jimat’ yang Buat ‘Survive’

Mata dan hati Agum Gumelar seperti tidak percaya dengan apa yang disaksikan dan didengarnya barusan. Mengapa masih ada anak Adam berhati mulia seperti ini. Galibnya, anak manusia yang seperti dia memanfaatkan kesempatan, seperti juga yang lain. Tetapi, dia tidak sama sekali.
Kontan saja, tukang becak itu menjadi terkenal. Dia langsung menjadi ‘anak emas’ Agum Gumelar. Ternyata, penghargaan atas sikapnya yang jujur dan tidak ikut menjarah toko justru jauh lebih besar ketimbang yang didapat teman-temannya ketika memanfaatkan kesempatan insiden itu. Peristiwa itu juga dimaklumi Hasyim Ado yang saat ini memimpin Bidang Pemberitaan di RRI Stadion Madia Makassar. Dia ikut tersenyuh mendengar informasi dan peristiwa tersebut.

Selepas menjabat di Makassar, Hasyim terbang ke utara, tepatnya Ternate. Di daerah itu dia menjabat Kepala Stasion RRI Ternate. Kebetulan pula, Maluku Utara kala itu berdiri sebagai sebuah provinsi. Pemekaran dari Provinsi Maluku. Bersamaan dengan itu, dia menjabat Ketua PWI Cabang Maluku Utara pertama.
Di Maluku Utara, memberi pengalaman yang sangat luar biasa bagi Hasyim. Selaku Kepala Stasion RRI, dia memimpin operasional pemberitaan melalui radio berkaitan dengan kerusuhan di daerah baru tersebut.

‘’Saya mengalami langsung ‘perang terbuka’ antara dua komunitas yang berbeda,’’ komentar Hasyim Ado dalam penerbangan Lion Air, Makassar-Jakarta malam itu.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (2)Tiga ‘Jimat’ yang Buat ‘Survive’

Sebagai orang yang kaya pengalaman di lapangan, Hasyim Ado bukan tipe orang yang senang duduk di belakang meja. Dia tidak puas jika tidak turun sendiri ke lapangan, meliput sendiri. Begitulah dengan di Maluku Utara. Dia terjun langsung bersama anak buahnya ke Ternate, Halmahera, dan Tobelo meliput masalah kesalahpahaman antarkomunitas tersebut.

Ada pengalaman yang sulit Hasyim lupakan ketika bertugas di provinsi muda usia itu. Dia pernah ‘’diadili’’ oleh penguasa darurat sipil. Kejadiannya sekitar tahun 2001. Seorang perwira tinggi memprotes RRI lantaran menyiarkan langsung acara salat Jumat. Yang membuat petinggi militer itu kebakaran janggut adalah isi khutbah sang khatib. Dalam khutbahnya dia mengatakan, UU Darurat Sipil adalah produk kaum kafir, sehingga tidak perlu ditaati.

Lantaran siaran itu, RRI Ternate dianggap sebagai provokator. Perwira tinggi itu menginterogasi Hasyim selaku Kepala Stadion RRI Ternate. Dalam interogasi itu, Hasyim dihadapi POM AD, Polri, dan Kejaksaan.
‘’Siapa penanggungjawab siaran ini,’’ hardiknya.
‘’Pelaksanaan siaran saya yang bertanggungjawab. Tetapi, yang bertanggungjawab atas khutbah adalah khatibnya, sedangkan terhadap pelaksanaan salatnya adalah imam,’’ jawab Hasyim.
‘’Mengapa saudara tidak menyetop siaran tersebut,’’ tegas perwira tinggi itu lagi.
‘’Saya tidak mungkin menyetop khatib yang sedang membaca khutbah di mimbar. Jika itu saya lakukan, jelas akan sangat berbahaya bagi saya,’’ papar Hasyim Ado.
Gara-gara kasus ini, mobil OB van RRI Stasion Ternate disita aparat keamanan.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (2)Tiga ‘Jimat’ yang Buat ‘Survive’

Ketika pejabat Gubernur Maluku Utara Muhyi Effendy, Hasyim pun pernah dapat pengalaman pahit. Sang jenderal dua bintang itu pernah membantingkan pistol di depan wartawan radio senior Indonesia itu. Apa pasal, sampai pistol dijadikan ancaman? Rupanya, kala itu RRI menyiarkan hasil wawancara dengan rakyat yang berunjuk rasa terhadap pabrik kayu milik salah satu konglomerat di Jakarta. RRI dianggap menghasut rakyat.
‘’Tetapi ini adalah fakta,’’ Hasyim menjelaskan.
‘’Saudara tidak mengerti UU Pokok Pers,’’ kata pejabat itu.
‘’Saya justru memberitakan fakta itu sesuai UU Pokok Pers,’’ Hasyim melawan.
‘’Saudara melanggar Kode Etik Jurnalistik,’’ sergah sang pejabat tidak mau kalah.
‘’Saya sudah pertimbangkan boleh tidaknya suatu fakta diberitakan sesuai Kode Etik Jurnalistik,’’ Hasyim kian menantang lagi.

Jengkel dengan penjelasan Hasyim yang terus menggebu-gebu dan tidak cacat yuridis, sang jenderal mengeluarkan pistol dan membantingnya di meja di dekat Hasyim.
‘’Saya diam saja,’’ ungkap Hasyim.
Ketika peristiwa ini terjadi, ada seorang wartawan RRI Ternate juga jadi saksi. Dia gemetaran ketika melihat situasi yang sangat menegangkan tersebut.  Hasyim juga tidak menduga sebelumnya, kalau pertemuan itu berbuntut panas seperti itu. Sebab awalnya, usai suatu upacara, pejabat tersebut mengajak Hasyim singgah di kantornya. Di situlah dia mulai menanyakan masalah unjuk rasa tersebut. Tetapi ujung-ujungnya sang pejabat itu melunak.
‘’Lain kali hati-hati sedikit kalau memberitakan sesuatu,’’ sang pejabat memberi tahu.
Usai pertemuan yang menegang itu, sang reporter yang menyertai Hasyim dalam ‘insiden banting pistol’ balik bertanya.
‘’Mengapa bapak tenang sekali menghadapi kejadian tadi?’’.
‘’Ya, jelas, karena yang ada di depan saya adalah jenderal. Dia tidak mungkin menembak saya meski punya pistol. Makanya, saya berani ‘melawan’. Tetapi kalau saya berhadapan dengan tentara berpangkat kopral, tentu kisahnya bisa lain,’’  Hasyim Ado menjelaskan.
Bertugas di Ternate memang memberikan pengalaman yang sangat dominan bagi perjalanan karier Hasyim Ado sebagai orang radio. Di tengah berkecamuknya konflik antarkomunitas, media kadang berada dalam posisi terjepit. Ketika media mencoba independen, ada-ada saja pihak yang merasa kurang nyaman dan menuding pemberitaan media berat sebelah. Masalahnya, setiap pihak selalu melihat dari sisi kepentingannya masing-masing. Tidak jarang media dituding sebagai provokator dan selalu dicurigai. Media selalu dilihat dengan penuh kecurigaan. Tetapi bagi Hasyim, pengalaman seperti ini juga merupakan seni sebagai orang media. Bagaimana menyikapi dan menyiasati situasi, sehingga media tetap dapat melaksanakan tugasnya dengan lancar. 
Pengalaman-pengalaman seperti itu, akui Hasyim, ternyata banyak juga gunanya di kemudian hari. Dalam berbagai diklat wartawan radio, dia sering diminta menjadi pemateri. Pengalaman-pengalamannya itu selalu menjadi santapan pendidikan yang menarik buat para wartawan radio  pemula yang masih bening pengalaman.
Menurut Hasyim, wartawan sekarang lebih menikmati udara kebebasan, sehingga merasa benar-benar independen. Namun, mungkin juga pada masa lalu ada keasyikan sendiri  di tengah ketatnya pengawasan dan barikade terhadap pers. Para wartawan selalu berusaha kreatif untuk menemukan trik-trik tersendiri agar bisa memberitakan sesuatu.
‘’Ini tantangannya lebih besar,’’ kata Hasyim. 
Ayah lima anak (seorang anaknya ada di Amerika, satu di Maluku, satu pengacara di Makassar, satu wiraswasta di Bali, dan seorang lagi kuliah di Akademi Pariwisata Bandung kala wawancara berlangsung) ini tahun 2006 pensiun sebagai pegawai negeri sipil. Tetapi, Direktur Utama RRI Parni Hadi mengajak Hasyim Ado aktif membina para reporter muda dengan duduk di Dewan Redaksi Nasional RRI. Dengan jabatan itu, dia tercatat sebagai staf ahli. Tugas dan kegiatannya adalah menjadi instruktur dalam berbagai pendidikan dan latihan yang dilaksanakan RRI.di seluruh Indonesia.
Sebagai wartawan radio yang sudah malang melintang di berbagai daerah, Hasyim pernah bertugas di banyak tempat. Misalnya, Sulteng, Maluku Utara, Jawa Barat, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan sendiri. Di daerah-daerah itu pulalah dia memperoleh penghargaan atas karya dan baktinya sebagai pejabat dan wartawan radio.
Selaku wartawan bidang Hankam, dia pun pernah memperoleh penghargaan dari Kodam XIV Hasanuddin (berubah jadi Kodam VII Wirabuana dan kini Kodam XIV Hasanuddin) dan Komando Wilayah Pertahanan (Kowilhan) III.
‘’Liputan kita pada saat itu lebih banyak dikendalikan institusi militer. Tidak ada kebebasan pers sama sekali,’’ kunci  kakek tiga cucu ini (waktu itu), setengah jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Internasional Soekarno Hatta. Kini wartawan senior yang kaya pengalaman jurnalistik itu telah tiada. Selamat jalan senior.

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646