Opposition brings concord. Out of discord comes the fairest harmony– Heraklitus
Pada setiap dinamika politik daerah, paripurna DPRD kerap digambarkan sebagai panggung demokrasi lokal, arena representasi politik daerah. Melalui paripurna, suara masyarakat menemukan panggungnya untuk diperdebatkan secara terbuka. Pandangan dan pelbagai isu dibincangkan dan disalurkan dengan mekanisme yang telah diatur tata tertib. Demikian, paripurna bukan sekadar pertemuan formal, melainkan wujud nyata dari demokrasi deliberatif di tingkat daerah, sebuah ruang di mana perbedaan pendapat dihargai dan diuji sebelum menjadi keputusan politik.
Namun yang jarang disadari banyak pihak bahwa tidak semua orang yang duduk di ruangan itu adalah politisi yang bermain dengan retorika; sebagian dari mereka adalah birokrat karier yang terbiasa bekerja dengan bahasa regulasi, data, dan ketepatan prosedur. Sekretaris daerah (Sekda) termasuk di antaranya.
Ketika seorang Sekda memilih untuk meninggalkan ruang rapat paripurna, publik sering kali melihatnya sebagai gestur emosional atau keputusan yang berlebihan. Padahal, bisa jadi di balik langkah itu terdapat tanggung jawab moral dan profesional yang lebih besar dari sekadar “walk out”.
Rapat paripurna yang penuh interupsi bukan sekadar suasana riuh. Bagi seorang birokrat, kondisi itu dapat menghilangkan ruang untuk penjelasan substantif, mengaburkan detail informasi, dan menciptakan tekanan politik yang tidak proporsional. Sekda hadir bukan sebagai aktor politik, melainkan sebagai penanggung jawab administrasi pemerintahan. Ketika diskusi berubah menjadi arena saling serang atau saling curiga, Sekda justru berisiko melanggar netralitas ASN jika tetap bertahan dalam forum yang tidak lagi fokus pada substansi. Dalam kondisi seperti itu, walkout menjadi pilihan yang sulit namun sah secara etika birokrasi.
Lebih jauh, publik sering lupa bahwa tugas Sekda bukan hanya menjelaskan kebijakan, tetapi juga menjaga marwah dan stabilitas administrasi pemerintahan. Ketika paripurna seperti kehilangan arah dan tidak lagi memberi kesempatan pada pejabat eksekutif untuk berbicara secara proporsional, keputusan keluar bukan berarti lari dari tanggung jawab. Bisa jadi itu adalah bentuk deeskalasi, langkah strategis untuk meredakan situasi yang sudah tidak kondusif agar pembahasan dapat dilanjutkan dengan kepala lebih dingin pada sesi berikutnya. Sebuah jeda.
Kadang, meninggalkan ruang adalah cara paling elegan untuk mencegah ketegangan berubah menjadi konflik terbuka.
Tentu, kritik bahwa walkout meninggalkan kesan tidak menghormati lembaga legislatif tidak sepenuhnya salah. Namun, penghormatan itu bersifat timbal balik. Lembaga daerah hanya dapat berjalan dengan baik bila eksekutif dan legislatif sama-sama memiliki ruang bicara yang sehat. Bila forum lebih condong menjadi arena tekanan, bukan dialog, langkah Sekda bisa dipahami sebagai penegasan batas profesionalitas: bahwa birokrasi harus dihormati sebagaimana birokrasi menghormati proses politik.
Saya percaya, walkout Sekda bukanlah fragmen terpisah dari konteks memutuskan kebijakan terbaik untuk masyarakat tetapi atas nama integritas peran birokrasi, mencegah eskalasi suasana, dan menegaskan bahwa diskusi tentang pelayanan publik harus tetap berada dalam koridor kewarasan dan penghormatan. Terkadang, keputusan paling sulit adalah ketika seorang pemimpin birokrasi memilih pergi bukan karena ingin menghindar, melainkan karena ingin memastikan bahwa perdebatan berikutnya dapat dilanjutkan dengan lebih jernih dan bertanggungjawab. Pertentangan membawa kesepahaman dan dari ketidaksepakatan lahirlah harmoni yang paling indah, bukan begitu.
Penulis: Ahmad Kohawan
Pegiat Literasi Parepare
