Oleh : Arif Maulana
Membuka opini ini dengen kalimat Indonesia adalah negara hukum, mari kita renungkan kembali frasa yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Dengan melihat kondisi hari ini penulis khawatir ketika Indonesia sebagai negara hukum (rechstaat) berubah menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Secara teoritik, dalam pandangan Niccolo Mchiavelli, negara kekuasaan (machstaat) ialah dimana kedaulatan tertinggi terletak pada kekuasaan penguasa dan bukan pada rakyat apalagi prinsip-prinsip hukum.
Melalui pandangan Niccolo Machiavelli tersebut, penulis mencoba merelevansikan dengan situasi yang terjadi di Republik kita hari ini. Ada dua isu hukum yang hari ini banyak dibicarakan, pertama ditengah getolnya Kejaksaan Republik Indonesia dalam mengungkap kasus korupsi bernilai trilinunan rupiah, beredar draf Rancangan Undan-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan isu Revisi UU TNI.
PELEMAHAN KEWENANGAN KEJAKSAAN
Baca Juga : Silaturahmi dengan Wali Kota, Fraksi PDIP DPRD Makassar Siap Kawal Pemerintahan Appi-Aliyah
Di dalam draf Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang beredar, pada pasal 6 yang mengatur tentang penyidikan menjelaskan kategori penyidik yakni ayat (1) a. Penyidik Polri; b. PPNS; dan Penyidik Tertentu ayat (2) Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-Undang. Ayat (3) ketentuan mengenai syarat kepangkatan, pendidikan dan pelatihan serta sertifikasi bagi pejabat yang dapat melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai ketentuan perundang-undangan.
Dalam penjelasan yang lebih lengkap untuk pasal tersebut bahwa yang dimaksud dengan penyidik tertentu adalah penyidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyidik perwira Tentara Nasional Indonesia angkatan Laut yang memiliki kewenangan melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundag-undangan di bidang perikanan, kelautan dan pelayaran pada wilayah zona ekonomi eksklusif dan Jaksa dalam tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat.
Tentu bukan kali ini saja upaya dalam mengurangi kewenangan kejaksaan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, sebelumnya sudah ada 4 (empat) kali dilakukan juducial review namun semuanya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Namun apakah ketika jalur konstitusional di tolak maka bisa diloloskan melaui jalur politik? Tentu, bisa saja mengingat Undang-Undang Cipta Kerja yang secara jelas dinyatakan inkostitusional bersyarat dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tapi bisa saja diloloskan melalui perpu, tentu ini permainan prkatik kekuasaan.
REVISI UU TNI
Baca Juga : Digelar 3-4 Mei, PKB Sulsel Gelar Muskerwil di Daerah Wisata Topejawa Takalar
Selanjutnya yang menjadi isu hukum yang banyak dibicarakan adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI). Mengutip hasil kajian koalisi masyarakat sipil yang dirilis oleh Amnesty Internasional, menunjukan bahwa Draf RUU TNI masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan menguatnya militerisme.
Saat ini dalam UU No.34 tahun 2004 tantang TNI dalam Pasal 47 ayat (1) dijelaskan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengubdurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Ayat (2) bahwa Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.
Walaupun dengan adanya Pasal tersebut tetap saja ada prajurit TNI aktif yang mengisi jabatan sipil seperti sekretaris kabinet, Itjen Pertanian, Itjen Kementerian Perhubungan, Dirut Bulog dan Pejabat pada Peneyelenggara Haji.
Baca Juga : NasDem Makassar Dukung Pemkot Bangun Stadion dan Drag Race di Untia
Beberapa pasal yang dianggap bermasalah yakni perluasan dijabatan sipil menjadi 15 kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Jika mereka menduduki posisi dalam 15 kemeterian/lembaga tersebut, maka tidak perlu pensiun dari dinas militer. Kemudian dalam dafar inventarisasi masalah (DIM) Revisi Undang-Undang TNI memuat tentang penanganan narkotika, tentu ini akan semakin membuka potensi kekuasaan TNI yang berlebihan.
Kesimpulan
Dalam pelaksanaan revisi undang-undang, baik undan-undang tentang kejaksaan ataupun undang-undang tentang TNI. Dalam pembentukan undang-undang bukan sekedar persoalan formal terpenuhinya partisipasi, aspirasi, proses, prolegnas dan sebagainya. seorang pakar Sherry Arnstein bahwa seringkali dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang terjadi sekadar memenuhi aspek formalnya saja. Masalah substansi, moralitas konstitusional dan lain-lain dikesampingkan.
Peraturan perundang-undangan yang dibentuk secara serampangan akan membahayakan kehidupan bernegara, merusak relasi antara pembentuk peraturan perundang-undangan dengan rakyat yang diwakilinya, olehnya itu dalam melakukan pembahasan undang-undang tentang kejaksaan dan undang-undang tentang TNI diwajibkan melakukan konsultasi secara bermakna dan kajian yang mendalam.