Thomas Edison pernah berkata, “There’s a way to do it better, find it.” Kalimat sederhana ini bukan sekadar seruan untuk terus mencoba hal baru, tetapi pengingat bahwa perbaikan selalu mungkin dilakukan, bahkan pada hal yang tampak biasa.
Dalam percakapan tentang pendidikan, kata inovasi sering terdengar seperti jargon belaka. Begitu banyak pidato, slogan, dan poster yang mendorong perubahan, namun di sekolah, guru tetap berhadapan dengan kenyataan sama: murid yang beragam, administrasi yang padat, tantangan perilaku, serta dinamika sekolah yang tidak selalu stabil. Karena itu, ketika seseorang membawa ajakan, apalagi seorang kepala sekolah baru, untuk “berinovasi dan berkolaborasi”, wajar bila sebagian warga sekolah menyambutnya dengan ragu dan jenuh.
Persoalan sesungguhnya bukan pada kata inovasi. Yang hilang adalah cara kita menjadikannya relevan, membumi, dan dekat dengan kebutuhan nyata guru dan murid. Inovasi sering dipahami sebagai program besar, perangkat canggih, atau proyek ambisius yang menguras energi. Padahal, inovasi sejati justru lahir dari langkah-langkah kecil yang lahir di kelas, di kantor, dalam percakapan antar-guru, dan dalam kepedulian sehari-hari terhadap murid.
Bukankah ketika sekolah menghadapi dinamika murid yang berubah, tantangan sosial yang kompleks, dan tuntutan pembelajaran yang semakin beragam, kita tidak lagi bisa mengandalkan cara lama untuk menyelesaikan persoalan baru.
Sebagai guru yang diberi amanah dan tugas tambahan sebagai kepala sekolah, tugas pertama nampaknya bukanlah mengajak, tetapi mendengarkan. Mendengarkan masalah yang dihadapi guru: konflik kelas yang sulit, murid yang menurun motivasinya, komunikasi orangtua yang tidak efektif, atau proses belajar yang terasa monoton. Ketika guru merasa dipahami, ajakan berinovasi tidak lagi terdengar klise sebab ia muncul dari kebutuhan bersama, bukan dari keinginan kepala sekolah semata.
Inovasi senyatanya tidak dimulai dari rapat besar, tetapi dari tindakan sederhana yang ditunjukkan oleh pemimpinnya. Kepala sekolah yang mengubah cara rapat menjadi lebih manusiawi, merapikan alur komunikasi, atau menunjukkan cara baru memberi umpan balik kepada guru sedang membuktikan bahwa perubahan bukan konsep, melainkan sikap kerja. Ketika pemimpin berani mencoba duluan, guru akan lebih percaya bahwa inovasi bukan tuntutan, tetapi undangan.
Di sisi lain, guru perlu ruang aman untuk gagal. Ketakutan dievaluasi adalah salah satu alasan inovasi terasa berat. Karena itu, sekolah harus memiliki budaya yang merayakan upaya, bukan hanya hasil. Langkah kecil seperti mencoba metode baru mengelola kelas, membuat survei sederhana kebutuhan murid, atau memodifikasi prosedur layanan patut dihargai. Ketika upaya kecil mendapatkan tempat, sekolah akan bergerak tanpa paksaan. Kolaborasi pun tumbuh secara organik, bukan karena perintah.
Jika ada hal yang perlu ditegaskan, itu adalah bahwa perubahan tidak selalu membutuhkan terobosan besar. Perubahan yang bertahan lama justru dimulai dari keberanian mencoba hal kecil secara konsisten. Dari kelas ke kelas, dari percobaan sederhana ke kebiasaan yang mengakar, sekolah yang inovatif dibangun bukan oleh satu proyek besar, tetapi oleh banyak langkah kecil yang dilakukan bersama.
Ujian kepemimpinan di sekolah bukan terletak pada kemampuan memberi perintah, tetapi pada kemampuan membuka ruang. Ruang tempat ide kecil boleh dicoba, perbaikan kecil boleh dimulai, dan langkah-langkah kecil boleh dirayakan. Sebab seperti kata Edison, cara yang lebih baik selalu ada, yang kita perlukan hanyalah keberanian untuk menemukannya bersama
Rasanya, tidak boleh ada kata berhenti belajar dan harus terus belajar, menjadi sekolah pembelajar. Inovasi bukan lagi pilihan, tetapi cara kita untuk terus bertumbuh. Maka, tugas seorang kepala sekolah bukanlah meneriakkan inovasi, melainkan memfasilitasinya. Bukan menyerukan kolaborasi, tetapi menghidupkannya. Ketika warga sekolah melihat bahwa perubahan membuat hidup mereka lebih baik, bukan lebih rumit, ajakan berinovasi tidak lagi terdengar sebagai klise. Ia menjadi bagian dari identitas sekolah sebagai budaya yang tumbuh karena dipraktikkan, bukan karena diserukan.
Di sinilah masa depan sekolah bermula: pada ruang-ruang kecil tempat keberanian dicoba, ide diuji, dan langkah sederhana diberi makna. Dari ruang kecil itu, laboratorium kecil itu, perlahan tapi pasti, lahirlah perubahan besar. Selamat Bulan Guru 2025.
Penulis: Ikawati Iskandar, S.Pd
Penulis adalah Kepala Uptd SDN 1 Kota Parepare
