OPINI: Tantangan Pasca Program Pengungkapan Sukarela

OPINI: Tantangan Pasca Program Pengungkapan Sukarela

Oleh: Slamet Wahyudi (Fungsional Penyuluh Ahli Muda KPP Badan dan Orang Asing Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau dikenal dengan istilah Voluntary Disclosure Program (VDP) adalah program pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan/mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta. PPS telah berakhir 20 Juni 2022 lalu, setelah digelar selama enam bulan yaitu 1 Januari 2022 sampai dengan 30 Juni 2022.

Berdasarkan data PPS dalam angka per 30 Juni 2022 pukul 24:00 WIB sebagaimana dipublikasikan di laman pajak go.id jumlah Wajib Pajak yang mengikuti program ini mencapai 247.918 Wajib Pajak Sementara jumlah Surat Keterangan (bukti penyampaian surat pemberitahuan pengungkapan harta) mencapai 308.059 Surat Keterangan. Adapun jumlah pajak yang disetor (fresh money) mencapai Rp. 61.01 triliun dengan total jumlah harta bersih yang diungkap sebesar Rp. 596.36 triliun, hanya Rp. 60.07 triliun yang melakukan deklarasi luar negeri.

Sebagai seorang pemerhati pajak yang juga berkecimpung dalam memberikan edukasi perpajakan sebagai fungsional penyuluh pajak bertanya dalam hati, apakah langkah selanjutnya setelah PPS ini berakhir. Untuk itu ada baiknya kita berkaca dari program-program mirip sebelumnya.

Jika bercermin dari sejarah tax amnesty di Indonesia, pada tahun 1964 melalui penetapan Presiden RI nomor 5 tahun 1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak. Pemberlakukan Tax Amnesty pada 1964 bertujuan untuk mengembalikan dana revolusi melalui perangkat Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres). Dan pada zaman itu, penerapan kebijakan Tax Amnesty juga dapat dikatakan gagal karena adanya Gerakan 30 September PKI.

Pada tahun 1984 melalui Keppres Nomor 26 tahun 1984 tentang pengampunan pajak Jo Keputusan Menteri Keuangan Nomor 345/KMK.04/1984 tentang pelaksanaan pengampunan pajak. Konon disimpulkan bahwa hasilnya masih jauh dari harapan karena rendahnya partisipasi masyarakat dan penerapan kebijakan pada 1984 juga tergolong gagal dilakukan karena memang pada saat itu sistem perpajakan belum terbangun.

Kemudian pada 2008, pemerintah menetapkan program kebijakan Sunset Policy yang dapat dikatakan sebagai program kebijakan paripurna modernisasi bagi perpajakan pada periode 2001-2007 dan menerapkan kebijakan mengenai pengampunan pajak. Berdasarkan dengan ketiga kebijakan yang telah dijabarkan sebelumnya terkait pengampunan pajak, program kebijakan Sunset Policy 2008 inilah yang dianggap berhasil dalam penerapannya. Hal ini didasari pada realisasi penerimaan pajak tahun 2008 yang telah mencapai taget sesuai dengan ketentuan dalam APBN, namun pada 2008 ini kepatuhan bagi Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya masih dianggap rendah.

Tahun 2015, melalui :

Peraturan menteri keuangan nomor 29/PMK.03/2015 yang ditetapkan tanggal 13 Februari 2015 tentang penghapusan sanksi administrasi bunga yang terbit berdasarkan pasal 19 ayat (1) Undang-Undang nomor 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 16 Tahun 2009.

Peraturan menteri keuangan nomo 91/PMK.03/2015 yang diundangkan tanggal 4 Mei 2015 tentang kebijakan penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), pembetulan Surat Pemberitahuan, danketerlambatan [embayaran atau penyetoran pajak.

Kebijakan ini dikenal dengan Tahun Pembinaan Wajib Pajak 2015, dalam kebijakan ini terdapat dua hal kebijakan. Pertama, penghapusan sanksi administrasi bunga penagihan dengan motivasi mendorong Wajib Pajak melunasi utang pajak sebagai usaha meningkatkan penerimaan negara. Kedua, penghapusan sanksi administrasi atas keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT), pembetulan SPT, dan keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak tentu dengan motivasi agar Wajib Pajak bersedia melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT).

Tahun 2016, melalui UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak yang ditetapkan tanggal 17 Nopember 2017 dan berlaku sejak tanggal 20 Nopember 2017. Program Pengampunan Pajak dengan jargon Ungkap, Tebus, dan Lega disebutkan tersukses sepanjang sejarah peradapan perpajakan di Indonesia karena diikuti oleh 974 ribu Wajib Pajak dengan total tebusan mencapai Rp. 115,9 triliun. Adapun harta yang diungkap mencapai Rp. 4.884,2 triliun suatu jumlah yang tidak sedikit.

Namun sekali lagi, dengan waktu yang tidak terlalulama dengan Program Pengampunan Pajak dan masih terkait dikeluarkan suatu kebijakan yang bernama Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Wajib Pajak sesuai amanat UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan adapun sekali lagi motivasinya untuk meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Capaian Program ini sebagaimana diawal tulisan diikuti oleh 247.918 Wajib Pajak dengan jumlah pajak yang disetor (fresh money) mencapai Rp. 61.01 triliun.

Dalam satu kesempatan, Suryo Utomo (Direktur Jenderal Pajak) menyampaikan bahwasanya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) adalah membandingkan data dan informasi yang ada dengan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) yang dilaporkan oleh Wajib Pajak dan terdapat sekitar 4,5 juta data (baik Wajib Pajak terdaftar maupun belum terdaftar). Jika jumlah 4,5 juta data tersebut mewakili 4.5 juta wajib pajak dan faktanya hanya diikuti oleh 247,918 Wajib Pajak atau sekitar 5.5% Wajib Pajak saja. Sehingga Direktorat Jenderal Pajak memiliki tugas untuk melakukan pengawasan dan klarifikasi atas sekitar 94.5% kepada Wajib Pajak.

Penulis sebagai Penyuluh Pajak, memiliki pemikiran bahwa kedepan tidak perlu lagi dilakukan pengampunan pajak atau sejenisnya karena empiris membuktikan bahwa tingkat kepatuhan perpajakan tetap rendah. Maka lompatan harus dilakukan dengan memberikan edukasi perpajakan kepada semua lini bahwa manfaat pajak, kemana uang pajak itu disalurkan dan berapa manfaat besaran uang pajak itu bagi negara adalah suatu keniscayaan. Masa-masa pengampunan pajak dan sejenisnya sudah dilakukan maka saatnya pengawasan kewajiban perpajakan diawasi dengan ketat karena setiap setiap Subjek Pajak memiliki kewajiban yang sama dalam hal perpajakan sesuai dengan ketentuan perpajakan. (*)