Dalam beberapa pekan terakhir, perdebatan mengenai mana yang lebih efektif, Peraturan Kepala Daerah (Perkada) atau Peraturan Daerah (Perda) semakin sering muncul, terutama ketika aksi walkout dan program seragam bagi masyarakat usia SMA menjadi percakapan warga di warung kopi.
Tentu pilihan Perkada ini muncul bukan sebagai genderang perang, ia lebih seperti sebuah langkah sederhana yang diambil ketika jalan besar tertutup kabut: sebuah cara agar janji yang pernah diucapkan kepada rakyat tidak berhenti di simpang kebuntuan. Dalam ketegangan yang kadang tercipta antara eksekutif dan legislatif, perkada berdiri seperti jembatan kayu yang mungkin tidak setegap batu, tetapi cukup kuat untuk menyeberangkan kepentingan publik sebelum keadaan terlalu terlambat.
Sebagai warga yang ingin kebijakan berjalan sesuai kebutuhan masyarakat, saya cenderung kepada perkada.
Pertama, Kepala daerah terpilih biasanya datang dengan visi, misi, dan program yang menjadi dasar kepercayaan publik. Perkada memungkinkan kepala daerah mengeksekusi program prioritas tanpa harus terjebak dalam proses legislasi panjang yang dapat menghambat realisasi janjinya kepada rakyat.
Kita tentu mahfum jika Perda APBD membutuhkan proses legislasi panjang: pembahasan, harmonisasi, konsultasi, dan persetujuan politik. Dalam situasi kebuntuan ini, perkada menjadi instrumen bijak.
Kedua, Salah satu kekhawatiran warga adalah ketika anggaran publik dialokasikan bukan untuk kebutuhan masyarakat, tetapi justru untuk kepentingan politik atau misalnya kegiatan perjalanan dinas. Dengan perkada, ruang manuver DPRD untuk mengalihkan atau menekan perubahan anggaran menjadi lebih terbatas. Hal ini memberi jaminan lebih besar bahwa kebijakan tetap selaras dengan kebutuhan publik, bukan kepentingan segelintir.
Kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, mandatnya jelas. Ketika kebijakan terlalu banyak dihambat mekanisme legislasi, arah pemerintahan bisa menjadi tidak konsisten. Perkada memastikan bahwa mandat rakyat dapat diterjemahkan ke dalam kebijakan nyata, tanpa terlalu banyak distorsi dari kepentingan politik tambahan.
Ketiga, di situasi DPRD dan kepala daerah berada dalam posisi tidak sejalan, ketegangan politik ini kerap berujung pada deadlock pembahasan perda, yang pada akhirnya merugikan masyarakat karena banyak program terhenti. Dengan perkada, kebijakan tetap bisa dijalankan meskipun dinamika politik sedang tidak harmonis.
Perkada APBD, tentu saja tetap berada di bawah pengawasan DPRD. Kepala daerah boleh mengambil keputusan agar pemerintah tidak lumpuh, tetapi DPRD memiliki fungsi kontrol. Melalui perkada, ruang politik yang buntu itu bisa dilewati sementara, sembari memastikan transparansi dan akuntabilitas publik. Memilih perkada bukan berarti meniadakan fungsi pengawasan DPRD, tetapi menempatkan eksekusi kebijakan pada jalur yang lebih efisien, terutama ketika menyangkut janji kepala daerah. Dalam konteks ini, perkada dan DPRD bukan dua hal yang saling meniadakan, tetapi dua unsur yang saling melengkapi demi memastikan kebijakan publik berbasis kebutuhan warga.
Ketika meja-meja perdebatan dipenuhi suara yang saling bertumbukan, namun tak menghasilkan apa-apa kecuali waktu yang terbuang. Dan di ruang seperti itu, saya membayangkan sebuah pintu kecil yang jarang dilihat orang, tidak megah, tidak dirayakan, tetapi terbuka bagi siapa pun yang mau menyelamatkan kepentingan publik: pintu itu adalah perkada. Bukankah dalam hidup sering kali kita diselamatkan oleh hal-hal yang tidak keras, tetapi yang tetap setia mencari jalan?
Salamaki, salamaki tapada salama.
Penulis: Ahmad Kohawan
Pegiat Literasi Kota Parepare
