OPINI: Upaya Penanganan Konflik Buaya VS Manusia di Sulawesi Tenggara

OPINI: Upaya Penanganan Konflik Buaya VS Manusia di Sulawesi Tenggara

Oleh: Ramad Arya Fitra S,Pi., M.Si. (Dosen Biologi Universitas Sembilanbelas November Kolaka)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Kabar buruk tentang adanya serangan buaya di Sulawesi Tenggara seakan tak pernah habis. Laporan tentang serangan buaya hampir ditemukan di tiap wilayah Kabupaten Sulawesi tengara. Laporan yang dikabarkan media lokal Sultra, bahwa terjadi rentetan kasus buaya memangsa manusia di Kabupaten Konawe, Buton, Bombana dan Muna. Teranyar bulan Maret tahun 2023 terjadi lagi dua warga Desa Lambale, Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara diserang buaya yang mengakibatkan korban jiwa. Sebagai orang awam pasti bertanya mengapa hal ini bisa terjadi?

Buaya adalah hewan yang berbahaya, reptil pemburu yang hebat. Namun pada dasarnya buaya tidak memangsa manusia. Buaya (Crocodylus porosus) merupakan hewan yang mudah beradaptasi di wilayah perairan. Sebagai informasi buaya adalah hewan yang di lindungi. Sebagaimana tercantum pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, serta  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Namun dengan adanya serangan buaya terhadap manusia di beberapa wilayah di Sultra dapat menyebabkan munculnya persepsi yang kurang baik terhadap satwa ini. Sehingga pada saatnya akan ada tindakan balas dendam terhadap agresivitas buaya oleh masyarakat setempat. Tentu hal yang dirasakan oleh masyarkat adalah rasa takut dan was-was akan danya serangan buaya susulan. Hal ini beresiko menyebabkan buaya  menjadi incaran masyarakat  untuk di bunuh. Sehingga kemudian menjadi Konflik Buaya VS Munusia. Seperti yang terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia.

Kita berharap hal ini tidak akan terjadi, sebab jika terjadi konflik maka upaya   “konservasi”.

Kita berharap hal ini tidak terjadi, sebab jika terjadi konflik maka upaya konservasi tidak berjalan mulus. Dapat menghambat upaya penyelamatan buaya dan mendorong antipati manusia untuk melakukan upaya penyelamatan tersebut satwa tersebut. Pada akhirnya pada  masing-masing pihak (manusia dan buaya) akan terlibat konflik yang tidak berkesudahan.

Penyebab Konflik Buaya vs Manusia

  • Tumpang Tindih Habitat

Semakin meningkatnya jumlah populasi manusia dan buaya dapat secara langsung menyebabkan terjadinya konflik. Manusia akan mencari lahan baru yang akan dijadikan sebagai tempat pemukiman. Namun tanpa disadari masuk dalam kawasan teritorial buaya. Hal yang sama juga terjadi pada buaya sebagai predator yang mendiami muara, seiring bertambahnya waktu tentu populasi buaya semakin tinggi, bisa dibayangkan, pasti akan terjadi tumpang tindih habitat. Perambahan hutan di muara sungai, menjadi kawasan pemukiman turut berdampak pada berkurangnya sumber makan alami buaya. Dampak yang terjadi adalah buaya akan masuk kewilayah pemukiman warga. Seperti pernyatan  Ilmuwan dari Pusat Penelitian Biologi LIPI, Amir Hamidi, menengarai dua kemungkinan penyebab konflik manusia dengan buaya. Pertama, populasi buaya meningkat. Kedua, populasi manusia meningkat. Dua kemungkinan ini mengakibatkan konflik buaya versus manusia tidak terelakkan. Selanjutnya menurut hellen Kurniati, Peneliti Utama Pusat Penelitian Biologi Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan bahwa penyebab utama buaya menyerang manusia karena buaya kehilangan pakan alaminya, dikutip pada National Geographic Indonesia.

  • Ekologi dan Biologi Buaya Muara

Menurt Kepala BKDA SUMBAR Ardi Andono, ‘’Jika melihat ekologi dari buaya muara, musim kawin biasanya terjadi saat musim hujan atau saat debit air di sungai tinggi. Namun kenaikan suhu udara (climate change) juga bisa merangsang buaya untuk reproduksi. 

Menurutnya musim kawin terjadi di kedalaman sungai sehingga akan sangat jarang tampak oleh manusia. Meskipun namanya sebagai buaya muara, namun buaya jenis ini cenderung memilih area di pinggir sungai air tawar untuk meletakkan telurnya. Terutama di daerah rawa.

“Musim kawin biasa terjadi satu hingga dua bulan. Kemungkinan besar terjadi pada November sampai Desember. Setelah kawin, buaya betina akan memilih tempat bersarang dan membuat atau mengamankan teritorial sekitar sarang bersama-sama antara jantan dengan betina.

Bersarkan informasi diatas, musim kawin juga mampu menjadi faktor pemicu agresifitas buaya, sehingga beberapa jenis dari mereka akan menjadi lebih sensitif dan mudah menyerang.

Upaya mengatasi Terjadinya Konflik Buaya VS Manusia di Sulawesi Tenggara

Penulis berpendapat bahwa mesti ada kerjasama antara BKSDA dengan pemangku kepentingan. Dalam hal ini BKSDA Sultra tidak dapat bergerak sendiri. Perlu adanya dukungan dari berbagai pihak terutama Pemerintah daerah dalam mengatasi serangan buaya kepada masyarakat. Perlu ditetapkan kesepakatan dan rancangan Kawasan konservasi tau zona habitat buaya yang jauh dari jangkauan aktivitas manusia. Sehingga manfaatanya dapat dirakasakan oleh masyarakat dan bagi keberlangsungan hidup buaya rawa sebagai upaya perlindungan hewan yang diamantkan UUD.

Dengan kejadian ini, maka Penulis berharap adanya respon cepat BKSDA dan Pemerintah setempat terkait kejadian ini. Agar tidak ada lagi korban yang berjatuhan akibat serang buaya. Upaya yang dilakukan adalah harus membatasi atau melarang kegiatan masyarakat padala lokasi yang telah di identifikasi adanya predator buaya muara, melakukan sosialisasasi  kepada masyarakat setempat, dengan melalui media online,media sosial berupa poster, video sumber informasi bagi masyarakat. Menghimbau kepada masyarakat jika ada yang menemukan sarang buaya diminta melapor ke BKSDA Sultra. Selain itu membuat papan peringatan kepada masyarakat agar tak beraktivitas di sekitar lokasi yang diperkirakan terdapat sarang buaya.

Upaya lain adalah BKSDA Sultra menyediakan fasilitas call center kepada masyarakat yang dapat dihubungi 7 x 24 jam untuk menerima laporan kemunculan atau konflik buaya seperti yang dilakukan BKSDA di Kepulauan Maluku dan Maluku. Sehinnga melalui call center ini diharapkan antisipasi serangan buaya kepada manusia di Sulawesi Tenggara  berjalan efektif  sehingga konflik manusia dan buaya dapat diatasi. (*)