Penulis: Dr.Munira Hasjim, S.S., M.Hum
REPUBLIKNEWS.CO.ID, — JIKA ingin mengetahui perihal PAKDAENGANG sapaan dalam etik Makassar, buku ini dapat membantu. Di dalam buku yang dicetak dalam kertas book paper (kertas buku yang ringan), digambarkan secara komprehensif Perihal penamaan PAKDAENGANG tersebut.
Buku ini terdiri atas lima bagian. Bagian yang menjadi inti buku ini ada pada bagian V dengan judul “Permanensi dan perubahan sistem penamaan nama diri dan ‘Pakadengang’ dalam budaya masyarakat etnik Makassar tradisional dan modern.
Baca Juga : Perempuan Belum Selesai dengan Urusan Domestik
Menurut penulis, tidak semua aspek dalam praktik penamaan nama diri dan ‘Pakdaengang’ sebagai penanda identitas dalam budaya masyarakat etnik Makassar yang tradisional dan modern. Tidak semua aspek itu mengalami perubahan.
Sistem penamaan, baik nama diri maupun ‘Pakdaengang’ menurut karakter streotipe pada diri laki-laki yang terkesan kuat, perkasa, petarung, teguh, nasional, pelindung dll. Nama ‘Pakdaengang’ yang identik dengan ini di antaranya Ismail daeng Tona, Abdullah daeng Tunru, Mangangasengi daeng Pasang, Abu Bakar daeng Kulle, Abdul Rasyid daeng Lurang, Muhammad Ali daeng Beta, Syamsuddin daeng Lawa, dll.
Nama diri untuk kaum perempuan sering diidentikkan dengan karakter kewanitaan yang melekat, seperti lemah lembut, halus, cantik, manis, dll. Nama yang identik dengan ini misalnya Rosi daeng Bau, Zainab daeng Sabbe, Rahmatia daeng Baji, Aminah daeng Ngugi, Fatimah daeng Ngai, Halimah daeng Ti’no, Kurniati daeng Kanang, Hadijah daeng Te;ne, dll. Masyarakat Makassar dapat membedakan jenis kelamin seseorang berdasarkan nama diri dan ‘Pakdaengang’ yang digunakan.
Baca Juga : Andi Aderus: Israk Mikraj dan Quran, Mukjizat Nabi Bagi Umat Islam
Yang tidak kalah menarik dari spesifik dari buku ini adalah nama yang berdasarkan unsur dan wujud penggunaannya. Misalnya saja berdasarkan nama bilangan, kita akan mengenal orang dengan sapaan Daeng Se’re (satu), Daeng Sirua (dua), dan Daeng Situju (Tujuh). Ada juga nama yang berhubungan dengan ‘air’, maka kita kenal ada pemiilik nama Daeng Je’ne (air), Daeng Ci’nong (air bening). Berkaitan dengan udara, ada nama Daeng Dinging. Batu permata (Daeng Intang), Logam mulia (Daeng Bulaeng), nama hari (Daeng Sanneng, Daeng Salasa, Daeng Raba, Daeng Juma, Daeng Sattu).
Nama yang berisi harapan dan doa (Daeng Sunggu, Daeng Minasa, Daeng Baji, Daeng Te’ne, Daeng Ngai, Daeng Siga, Daeng Ngemba, Daeng Tutu, Daeng Nai, Daeng Mannangkasi, Daeng Ngerang). Nama yang diberikan berdasarkan peristiwa yang dialami orang tua (Daeng Bundu, perang, Daeng Ngolo, Daeng Rappung, pungut, Daeng Tebba, potong,dll).
Nama ‘Pakdaengang’ dalam masyarakat etnik Makassar juga bermakna denotatif, konotatif, dan konseptual. Misalnya saja Daeng Jarre berarti kuat (denotatif), tidak bercerai berai, kokoh, dan kuat (konotatif), dan orang yang memiliki tenaga yang kuat dan tidak mudah bercerai berai, teguh dalam pendirian (makna konsekptual).
Baca Juga : Kealpaan “Why-How” dalam Kasus Pembunuhan Berencana FS (Refleksi Hari Pers Nasional 2023)
Daeng Te’ne, berarti manis (denotatif), kehidupan yang bahagia (konotatif), dan orang yang hidupnya bahagia (konseptual).
Daeng Bundu, perang (denotatif), memerangi kejahatan (konotatif), dan orang yang selalu memerangi kejahatan (konseptual).
Daeng Beta, menang (denotatif), membawa kemenangan (konotatif), dan orang yang membawa kemenangan (konseptual).
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
Ada juga penamaan yang sesuai dengan waktu kelahiran. Maka jangan heran kalau kita mengenal ada nama Daeng Sanneng (lahir dari Senin), Daeng Salasa (Selasa), Daeng Raba (Rabu), Daeng Juma (Jumat), dan Daeng Sattu (Sabtu). Kalau ada yang lahir waktu pagi, diberilah nama Daeng Subu dan yang lahir pada siang hari diberi nama Daeng Singara dan Daeng Cora.
Jika kita ke berbagai daerah di Indonesia dan menemukan orang yang memiliki nama ‘Pakdaengang’, pastilah itu memiliki hubungan historis dan genetika dengan etnik Makassar. Samahalnya dengan di Bima sebagaimana saya ungkapkan dalam sambutan penyunting buku ini, terdapat juga sapaan ‘dae’ yang jelas merupakan turunan dari kata ‘daeng’ yang dikenal di dalam masyarakat etnik Makassar. Hanya saja, bahasa Bima (Nggahi Mbojo) selalu melesapkan konsonan yang ada di akhir suatu kata, sehingga kata tersebut menjadi kata hidup atau menjadikan bahasa Bima yang bahasa vokalis.
Dalam realitasnya, sapaan ‘dae’ yang dikenal di kalangan masyarakat Bima tersebut berada pada tataran masyarakat yang bukan kebanyakan, melainkan boleh disebut kalangan menengah. Misalnya nama itu dikenal pada sosok ulama, guru, dan sebagainya.
Baca Juga : Prof Asmuddin Natsir: Limbah Tanaman Jadi Sumber Pakan Utama Ternak
Secara historis adanya penamaan ‘dae’ di dalam masyarakat Bima bermula sebelum abad XVII putra Sultan Bima menikah dengan putri Karaeng Lengkese (Takalar), sementara penguasa Kerajaan Sumbawa menikah dengan saudara perempuan Karaeng Tallo. Pada abad XVII terjadi sedikitnya enam pernikahan antara putri Kerajaan Gowa dengan putra-putra Sultan Bima.
Pernikahan ini kemudian sempat membuat Sultan Bima “galau” karena ketika para putri Raja Gowa itu pulang mengunjungi keluarganya ke Makassar, para suami mereka berniat mendampinginya. Padahal, para suami itu adalah pejabat-pejabat teras Kesultanan Bima, sehingga ‘kantor’ kosong karena mereka ke Makassar.
Ruang ini jelas cukup sempit untuk memaparkan isi buku yang wajib dimiliki oleh masyarakat etnik Makassar, termasuk mereka yang tertarik dengan masalah budaya dan bahasa. Selamat membaca. (*)