REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Kepala Kantor Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Sulselbar, Moch. Muchlasin menilai bahwa peluang dari komoditas kakoa di Sulawesi memiliki potensi besar untuk menjadi sumber ekonomi baru.
“Tahun ini pengembanan ekonomi daerah kita coba dengan kakao, karena memang komoditas inikan memang sudah dikenal di Sulawesi Selatan,” katanya, dalam keterangannya, kemarin.
Potensi yang besar ini pun dilihat dari beberapa peluang yang ada. Pertama, Indonesia merupakan produsen kakao terbesar ketiga di dunia dengan jumlah produksi sekitar 642 ribu ton. Sementara, dari total produksi tersebut didominasi di wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua (Sulampua) sebesar 65 persen.
“Sementara di sisi lain luas lahan terbesar itu ada di Sulawesi, mulai dari Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Barat,” terangnya.
Kedua, jumlah kebutuhan kakao secara global masih cukup besar, dimana pada periode 2024 jumlahnya mencapai 9,76 juta ton. Sehingga hal ini dinilai sebagai potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan.
Ketiga, komoditas kakao di Indonesia memiliki potensi ekspor, namun ekspor kakao di wilayah Sulampua masih didominasi oleh bahan primer. Sementara peluang besar lainnya yakni 44,02 persen atau 780.622 petani kakao secara nasional berasal dari Sulampua.
Muchlasin menjelaskan, dalam menyambut potensi besar tersebut pihaknya mulai menjalankan beberapa rencana program jangka panjang. Salah satunya rencana Perjanjian Kerja Sama (PKS) program pengembangan ekonomi daerah (PED) komoditas kakao.
“Saat ini telah dilakukan kerjasama dengan PT MARS dan Bank BRI untuk menerapkan skema khusus dengan konsep pos financing atau supply chain financing yang ditujukan kepada para pengepul dan sekaligus menjadikan pengepul sebagai agen laku pandai (BRIlink),” jelasnya.
Langkah ini dilakukan sebab melihat potensi pembiayaan kepada 60 pengepul dan 5.000 petani mitra PT MARS. Kemudian, kerja sama antara Bank Mandiri dan PT Bumi Surya Selaras (BSS) selaku pelaku usaha sektor kakao di Kabupaten Polewali Mandar.
“Terdapat potensi pembiayaan kepada 7.406 petani yang berada di Mamuju Tengah, Polewali Mandar, Majene hingga Mamasa,” terangnya.
Dirinya menilai, meski terdapat potensi yang cukup besar dalam pengembangan komoditas kakao menjadi sumber ekonomi baru tersebut. Pihaknya melihat masih ada beberapa tantangan jangka panjang. Antara lain, tren produktivitas yang menurun diiringi penurunan luas lahan dan produksi kakao di Sulampua.
“Ini memang karena lahannya banyak di konfersi, sebagian ada yang dijadikan lahan komoditas jagung, dan sebagainya,” ujarnya.
Selanjutnya, harga jual yang fluktuatif di pasar global, sementara komoditas kakao sebagian besar di ekspor. Hal ini disebabkan karena konsumsi kakao masyarakat masih kurang, sehingga berakibat pada harga jual yang naik turun dan kondisi tersebut berpengaruh ke petani.
Termasuk, belum semua petani kakao di Indonesia menerapkan Good Agricultural Practices (GAP) dan teknologi yang modern.
“Selain itu belum optimalnya akses pembiayaan kepada petani. Hanya 7,81 persen total petani kakao yang menjadi debitur di wilayah Sulampua,” katanya.