REPUBLIKNEWS.CO.ID, BANJARMASIN- Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kalimantan Selatan (Kalsel) menggelar Pertemuan Kemitraan Tingkat Daerah bersama kaum marginal dan kelompok sosial lainnya di Rumah Alam Banjarmasin, Jl Sungai Andai, Kalimantan Selatan.
Direktur Eksekutif Daerah PKBI Kalsel, Hapniah mengaku langkah itu demi untuk melakukan koordinasi dan diskusi terkait strategi memutuskan rantai diskriminasi terhadap kelompok waria (Transpuan).
“Banyak sekali yang ingin disampaikan, ini adalah awal yang bagus. Saya sudah banyak mengobrolkan dengan Bapak Iwan soal inklusi, bahwa sudah saatnya ke arah kebijakan,” ucap Hapniah kepada Republiknews.co.id, Jum’at (29/7/2022).
Setidaknya, kata Hapniah, standartnya menjadikan Peraturan Walikota (Perwalkot) tentang inklusi berbasis hukum ihwal kebijakan soal transpuan tersebut. Dalam regulasinya, kata dia, membingkai serta menyusun sebuah peraturan tentang transpuan, tetapi inklusinya buat semua.
“Baik itu persoalan pekerja seks (PS) maupun transpuan. Itu langsung mengatur soal inklusinya,” ujarnya.
Nanti, kata Hapniah, bakal ada kegiatan lagi setelah ini di sepanjang tahun hingga 2023. Adapun seorang akademisi, Iwan menyebut dalam aspek hukum selalu membicarakan tentang kesetaraan dan keadilan. Bahwa, menurutnya tidak ada perbedaan yang dipandang dalam aspek hukum di Indonesia.
“Kedua, namanya dalam aturan itu tidak ada rohnya. Rohnya itu berjalan apabila diaplikasikan oleh masyarakatnya, jika memiliki banyak aturan pun percuma,” katanya.
Kondisi nyata dilapangan, kata iwan, misal KUHP bahwa kita didampingi oleh kuasa hukum, serta diberikan hak-haknya. Namun, kata dia, satu hal yang mempertanyakan adalah siapa pelaksananya?
“Menterjemahkan secara pendampingan itu siapa? KUHP tidak menjelaskan secara detail. Karena, kalo dibuat di dalam sana maka penuh point yang diangkat,” jelas iwan.
Jadi persoalan selanjutnya, kata iwan, adalah bagaimana melihat si penerjemah dalam aspek hukum ini. Secara sistematis, kata dia, proses hukum dilihat dari aspek sosialnya. “Pandangan masyarakat terhadap kaum marjinal ini seperti apa? Dalam tanda kutip, tidak menyenangkan. Pada akhirnya kemudian di bawa dalam teknis kebijakan,” kata dia.
Secara teknis, kata iwan, melihat bunyi aturan dalam kebijakan. Banyak orang melecehkan, kata dia, tetapi bunyi pelecehan secara verbal mungkin tidak tertuang pada aspek hukumnya.
Dalam hal ini seorang transpuan asal Banjarmasin, Princess Keket Fortuna merespon bahwa tidak layak misalnya seorang transpuan dihukum penjara karena melakukan narkoba. Dalam kasus itu, kata dia, malah dimasukkan ke sel laki-laki bahkan selain itu dipotong rambutnya sebagaimana penampilan seorang pria.
“Menurut saya itu sudah salah, apalagi dalam pemahaman SegoSC ya. Apakah itu menjadi permasalah yang tidak menjadi persamaan dalam hak berwarga negara?” tanya Keket dalam forum itu.
Menurutnya, itu telah melanggar hak asasi manusia sebagai warga negaranya dan ini jarang didampingi oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Karena, kata Keket, mungkin LBH belum memahami belum tentang LGBT dab SegoSC. “Kenapa begitu, karena tidak ada koneksi dan jejaring dalam hubungan itu. Sehingga, kita sulit untuk edukasi dan sosialisasi,” ungkap Keket.
Seandainya, kata Keket, kalangan masyarakat secara mainsetnya terbuka maka akan mudah mendapat layanan bantuan hukum. Terkadang, kata dia, sering ditolak karena penbedaan seperti transpuan, ODHA, pekerja seks dan sebagainya.
“Kita harus berpangku tangan untuk menjembatani kaum minoritas ini,” tandasnya.
Kegiatan itu dihadiri oleh Paris Barantai, Komunitas Pelangi, LKKNU, OPSI, LBHK ULM, eLSISK, Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) dan Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Provinsi Kalimantan Selatan. (*)
