Republiknews.co.id

Riuh Membaca, Refleksi Tiga Tahun Kampung Buku Banjarmasin

Edi Sutardi tengah memberi sambutan bersama Hajriansyah, Reja Fahlevi, Arif RH dan Novyandi Saputra di Kampung Buku Banjarmasin, pada Sabtu (16/7/2022) malam. (Foto: Rahim Arza/Republiknews.co.id)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, BANJARMASIN — Tepukan tiap gendang yang berbunyi pada alat jimbe diiringi dengan kuriding, serta alunan itu disempurnakan oleh bunyi gitar klasik. Sebuah karya berjudul: Intim, dibawakan langsung oleh Hajriansyah bersama Majelis Ugahari dalam perhelatan hari ulang tahun (HUT) ke 3  Kampung Buku (Kambuk) Banjarmasin di Sultan Adam, Kelurahan Sungai Miai, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Dengan tema: Kambuk Memanggil, maka kemeriahan terjadi saat dirayakan bersama Kelompok Studi Seni Sanggar Budaya (KS3B) Kalimantan Selatan, dan Novyandi Saputra and Friends.

Dalam momentum itu owner Kambuk, Hajriansyah mengucapkan terimakasih kepada seluruh pengunjung yang hadir, dan membersamai selama 3 tahun belakangan.

“Kampung Buku Banjarmasin bertahan karena kawan-kawan, sebab ini adalah ruang alternatif sebagai wadah kita berkreativitas. Dan berbagi apa saja di sini, misalnya pengetahuan dan ekspresi kesenian lainnya,” ucap Hajriansyah kepada republiknews.co.id, Sabtu (16/7/2022) malam.

Selama ini, kata Hajri, Kambuk Banjarmasin telah banyak melewati pelbagai kegiatan yang diisi oleh para seniman, komunitas dan sebagainya, yang bermacam bidang seni ditampilkannya. Sehingga, menurutnya Kambuk Banjarmasin terus bertahan dari tahun ke tahun yang kini beranjak berkembang seiring waktu.

“Mempelopori ini juga termasuk dulu adanya sosok Arif RH (Sabuku BookShop), Reja Fahlevi (Thalib BookShop), Zian (TandaPetik Books), dan Noupal (Antasari),” ujarnya.

Selain itu, Hajri menyebut sosok pelukis muda Rizki Amrullah Setiawan yang selama ini sebagai penjaga utama Kampung Buku Banjarmasin, dan bertahan demi mengurus ihwal keperluan tentang perjual-belian buku, acara hingga lainnya.

“Sebelumnya tempat ini juga adanya Kedai Matahari milik Edi Sutardi, dan beliau juga sebagai saksi sejarah awal berdirinya Kambuk,” kata Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin itu.

Di HUT ke 3 ini, Hajri pun berharap bahwa Kambuk Banjarmasin sebagai wadah alternatif berkebudayaan, serta dengan 3 pilar yaitu membaca, menulis dan berpikir kritis, maka layaknya frasa yang diusung Kambuk: Membaca Literasi Kehidupan. “Semoga ia benar-benar membawa keberkahan,” ungkapnya.

Dosen Antropolog ULM, Arif RH merasa nostalgia kembali saat berkumpul dengan rekan seperjuangannya demi membangun kios buku. Selama tiga tahun itu, dia juga melihat sosok-sosok yang hadir saat ini adalah saksi sejarah berdirinya Kambuk Banjarmasin.

“Ada penjual buku, pemilik kedai dan orang-orang yang kerap menghelat pergelaran seni di sini. Sebenarnya dulu itu memiliki cita-cita bahwa Kampung Buku ini sebagai penengah,” jelasnya.

Dengan itu, kata Arif, kehadiran Kambuk Banjarmasin dapat menengahi orang-orang atau warga literasi yang ingin berjumpa dengan penulis, pelukis dan aktor, maka bisa dipertemukan oleh tempat ini. “Anggaplah sebagai tempat berjejaring sosial. Mereka yang dulunya belum mengenal dan mengetahui tentang Banjarmasin, maka lewat sinilah kita berdiskusi bersama dengan dosen, peneliti dan sastrawan,” bebernya.

Sementara itu tokoh teater Banjarmasin, Edi Sutardi memahami ada tanda sebuah gerakan literasi yang dilakukan oleh Kambuk dari tahun ke tahun. Tempat itu, kata dia, terus berproses dan memiliki konsep yang ditawarkannya kepada seluruh orang di luar sana.

“Itu sebuah pertanda bahwa konsep itu tidak pernah selesai, kemungkinan terus berlanjut. Kampung Buku Banjarmasin itu menjadi simbol bahwa tidak pernah selesai. Terus bergerak, peduli dan tentu semakin kaya,” ucapnya.

Dipengujung acara, ada pertunjukkan oleh Novyandi and Friends dengan mengusung Scientifik Space Art: Library 1 (Indeph Flower), dengan mengintruksikan seluruh pengunjung untuk memegang buku, lalu membaca ditengah gelapnya lampu. Suasana itu, cuma ditemani satu cahaya lampu dari senter gawainya masing-masingn dan berbarengan saling membaca, dengan suara sekencangnya. Dia beranggapan bahwa kebenaran dan kesalahan hanya sebatas cahaya.

“Pengetahuan sangat bergantung pada sudut pandang yang memayunginya. Pada sisi lain, segala hal telah berpindah melalu cahaya ke dalam sebuah sistem baru bernama Handphone. Semua terfokus melihat cahaya, semua tertuju pada satu cahaya. Homo Deus,” jelas Novyandi.

Menurutnya riuh-riuh pengetahuan sama kerasnya dengan riuh-riuh euforia. Melihat kondisi zaman sekarang, dia menganalogikan bahwa kita adalah sebuah perpustakaan tempat meletakkan banyak buku-buku yang tersusun, entah kapan terbaca. “Kritik ke dalam adalah tempat ini sebagai ruang membaca buku, tetapi kalian malah asyik nongkrong. Inilah fenomena yang terjadi,” tandasnya.

Exit mobile version