Republiknews.co.id

Siti Setiyani, Cerita Seorang Kader TBC Komunitas

REPUBLIKNEWS.CO.ID, BANJARMASIN — Ketua Yayasan Stop TB Partnership Indonesia (STPI) dr. Nurul Luntungan, menyoroti kasus Mycobacterium Tuberculosis (TBC) meningkat 15% selama setahun terakhir di Indonesia, tak terkecuali Kalimantan Selatan. Sebab itu, dia mengimbau kepada masyarakat agar mengobati penyakit TBC sebelum menularkan kepada halayak umum.

Authorized Signatory Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI itu menerangkan bahwa TBC laten adalah keadaan dimana Mycobacterium Tuberculosis ‘tidur’ di tubuh kita selama bertahun-tahun, karena ditahan oleh daya tahan tubuh. Ketika daya tahan tubuh menurun, menurutnya bakteri TBC bisa ‘bangun’ dan menyerang tubuh kita, sehingga menjadi sakit dan dapat menularkan orang lain.

“Sebuah studi memperkirakan 120 juta orang di Indonesia mempunyai TBC laten. Kondisi ini dapat diketahui dengan tes mantoux atau tes darah (IGRA). Indonesia tidak akan berhasil mengatasi TBC jika tidak mengendalikan TBC laten. Saat ini sudah tersedia di Indonesia Terapi Pencegahan TBC (TPT) agar kondisi TBC laten tidak berkembang menjadi penyakit,” ucap Nurul kepada Republiknews.co.id, pada Jum’at (24/03/2023) siang.

Bersama Komunitas, Indonesia Bisa Akhiri Tuberkulosis (IBAT) dengan Pencegahan Infeksi diantara tahun 2020-2022 menyebut COVID-19 telah menguras tenaga, waktu, serta perhatian pemerintah, dunia usaha, dan berbagai lapisan masyarakat untuk bertahan di tengah pandemi.

Kecepatan penyebaran SARS-Cov-2 mengharuskan banyak perusahaan gulung tikar dan memaksa layanan esensial, termasuk di sektor kesehatan terhenti. Sementara, menurut Nurul bahwa pandemi membuat kita tertekan, perkara penyakit menular seperti tuberkulosis (TBC) terus melaju dan berpotensi menambah beban penyakit di masyarakat.

Menurut Global TB Report 2022 yang diterbitkan oleh World Health Organization, perkiraan angka kejadian (insidensi) TBC di Indonesia meningkat 15 persen di antara tahun 2020 ke tahun 2021. Artinya, setiap satu menit ada dua orang yang sakit TBC, dan jika tidak diobati, seseorang dengan TBC dapat menginfeksi 10 hingga 15 orang di sekitarnya dalam satu tahun.

Namun, tidak semua orang yang terkena bakteri TBC akan jatuh sakit, beberapa kelompok masyarakat lebih rentan terhadap infeksi ini karena kondisi imunitasnya yang lebih rendah. Kelompok yang rentan TBC adalah anak-anak terutama yang berusia di bawah lima tahun, orang lanjut usia, serta kondisi penyakit tertentu seperti Diabetes, HIV/AIDS, dan gizi buruk.

Oleh sebab itu, STPI berkolaborasi dengan Yayasan Penabulu membentuk Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI sebagai penerima hibah utama program TBC komunitas dari Global Fund to Fight Against HIV/AIDS, Tuberculosis, and Malaria (GF-ATM).

Diketahui bahwa konsorsium ini mendukung dan memperkuat sistem organisasi komunitas maupun upaya berbasis masyarakat dan penyintas TBC melalui promosi kesehatan, upaya pencegahan TBC pada balita dan anak-anak, skrining gejala TBC aktif, fasilitasi pemeriksaan TBC, dukungan psikososial pengobatan pasien, serta dukungan advokasi, umpan balik kualitas layanan, dan akses terhadap layanan hukum untuk meringankan stigma dan diskriminasi yang dialami pasien TBC dan keluarganya.

Direktur Program Nasional dari Konsorsium, Heny Akhmad menerangkan pihaknya mendukung program pemerintah bersama 9.212 kader TBC Komunitas di masyarakat untuk mendorong kesadaran masyarakat akan hak mereka atas kesehatan, termasuk bebas dari infeksi TBC dengan mendapatkan TPT.

“Di 190 kota/kabupaten pada 30 provinsi, kami telah mengedukasi 6.359 orang tentang infeksi TBC dan TPT, dan 5.604 diantaranya telah dirujuk untuk memulai terapi. Tindakan untuk mencegah TBC melalui TPT adalah cara konkrit kita untuk terlibat memutus mata rantai penularan TBC,” beber dia.

Cerita seorang kader TBC Komunitas, Siti Setiyani menyadarkan masyarakat tentang infeksi TBC dan TPT menjadi tantangan tersendiri.

“Masyarakat menganggap bahwa anaknya sehat, kok harus minum obat rutin, sehingga orangtua tidak berkenan anaknya diberikan TPT. Namun, dengan saya terus memberikan edukasi terkait TPT dan memberikan pengertian bahwa jika tidak diberikan TPT, anak kemungkinan bisa jadi sakit TBC, masyarakat yang berkontak dengan pasien TBC bisa lebih memahami dan mau mengkonsumsi TPT,” jelas Siti.

Dengan berbagai edukasi yang sudah diberikan oleh kader, pola mindset masyarakat pun dapat diubah agar memahami TPT menjadi upaya pencegahan pada kontak seruma maupun yang kontak erat dengan pasien TBC.

“Awalnya, saya mendapatkan penolakan bahkan tidak dihiraukan oleh masyarakat, namun saya tetap gigih untuk mengedukasi masyarakat bahwa TBC dapat menginfeksi siapapun dan beresiko menjadi sakit. Saat ini, perjuangan saya membuahkan hasil dengan mengajak 8 balita memulai TPT dan membuat saya dikenal sebagai ikon TBC.” ucapnya.

Berdasarkan modelling dalam Global Plan to End TB 2023-2030 yang diterbitkan oleh Stop TB Partnership (global), Indonesia hanya dapat mencapai eliminasi TBC dengan memperluas penanganan orang dengan infeksi TBC dan memberikan kekebalan melalui TPT, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak.

Exit mobile version