REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Kompas Penerbit Buku, tahun 2022 ini menerbitkan karya dua mantan wartawan Harian “Pedoman Rakyat” (PR), L.E.Manuhua (Alm) dan M. Dahlan Abubakar, yang berjudul “QAHAR MUDZAKKAR, DETIK-DETIK TERAKHIR” dengan judul kecil “Perjalanan Berakhir di Tepi Sungai Lasolo”. M. Dahlan Abubakar menerima kiriman bukti terbit dari penerbit, Sabtu (04/06/2022) sebagai bukti terbit.
Buku yang untuk cetakan pertama akan terbit sebanyak 750 eksempar tersebut memiliki ketebalan 176 halaman dan dicetak di atas “book paper” (kertas buku) yang ringan. Selain dicetak, menurut penerbit, buku ini juga diterbitkan melalui buku elektronik (electronic book – e-book).
“Menjelang pergantian hari, 30 Oktober 2012, saya menyeleksi tumpukan map kertas yang berserakan di lantai satu rumah dua lantai yang belum juga selesai-selesai direnovasi waktu itu. Mata saya terantuk pada sebuah kumpulan fotocopy yang nyaris hilang warna aslinya di makan usia. Kalau saja orang lain yang menyeleksi tumpukan itu mungkin kliping kopian itu akan dikirim ke tong sampah. Saya membaca halaman depannya. Alhamdulillah, ‘Penyergapan Kamuz’ yang ditulis oleh guru dan orangtua saya di bidang jurnalistik, L.E.Manuhua, almarhum,” tulis Dahlan pada pengantar buku tersebut.
Naskah ini masih ingat, katanya lagi, diberikan oleh mendiang fotografer senior Sulawesi Selatan yang juga fotografer Harian Pedoman Rakyat, B.Ph.M.Rompas. Almarhum, Om Buce, begitu biasa pria kelahiran Langowan Minahasa itu akrab disapa, menyerahkan bundel fotokopi kisah penyergapan yang sudah dijilid ini.
Stensilan kemudian disunting seperlunya. Menyesuaikan gaya bahasanya dengan selera di kekinian. Harapannya tiada lain agar informasi ini tetap dikenang dalam sejarah bangsa ini. Pekerjaan terbesar saya adalah memelototi huruf-huruf yang membangun kata dalam ejaan lama (Ejaan Suwandi, sebelum Ejaan Yang Disempurnakan – EYD — digunakan tahun 1972) yang nyaris hilang. Dua kolom hasil fotocopian itu yang masing-masing terdiri atas sekitar lima atau enam baris tidak terselamatkan. Copiannya lenyap sama sekali. Padahal, di bagian itu ada nama-nama anggota pasukan penyergap Qahar Mudzakkar yang monumental itu.
Bagaimana pun pemberontakan yang dilakukan Qahar Mudzakkar telah menyita perhatian banyak orang. Dan, hingga kini masih menyisakan pro dan kontra. Ada yang menganggapnya sebagai seorang pahlawan dan patriot, paling tidak bagi kelompok dan keluarganya. Juga ada yang memandangnya sebagai pemberontak dan musuh, tentu saja bagi pemerintah Republik Indonesia ketika itu.
Sudah 53 tahun (1965-2018), saat naskah mulai digarap, Qahar Mudzakkar tertembak mati di Sungai Lasolo Sulawesi Tenggara. Walau jasad sudah tiada dan pusara entah di mana, namun hingga kini masih ada yang merasa dia tidak pernah benar-benar pergi untuk selama-lamanya. Ini anggapan yang masih susah hilang di benak sejumlah orang Sulawesi Selatan, khususnya bagi mereka yang sangat dekat dan mengidolakannya. Mereka menganggap Qahar Mudzakkar masih hidup. Kalau pun ada anggapan seperti itu, persoalan lain. Buku ini berkisah dan merupakan laporan pandangan mata seorang jurnalis dari medan tempur yang diliputnya.
Tetapi kita tidak dapat menafikan terhadap anggapan tersebut. Kita pun tidak dapat mengubah pandangan setiap orang tentang Qahar, dengan segala hitam putih pemberontakan dan perjuangannya. Bahkan ada sebuah buku memberi judul ‘’Qahar Muzakkar Masih Hidup’’ (2002) yang diterbitkan Pustaka Refleksi, Makassar yang membuat buku itu laris manis diminati banyak orang. Akibatnya, buku tipis itu terpaksa dicetak ulang beberapa kali. Namun, bukti fisik dari aparat keamanan tetap meyakini, Qahar Mudzakkar sudah tiada.
Buku ini tidak mempertentangkan pro-kontra itu, tetapi merekonstruksi ulang proses bagaimana seorang Qahar Mudzakkar ‘ditiadakan’ secara berencana oleh pemerintah yang berkuasa pada masa itu. Ini menjadi penting agar generasi muda masa depan tidak kehilangan informasi dan sejarah mengenai berbagai riak – sejelek dan seburuk apa pun sifatnya – yang bernama perjuangan atau pemberontakan yang pernah terjadi pada masa lalu. Tokh, setiap orang bisa berubah. Andaikata saja Qahar tidak tersergap mati, mungkin saja dia bisa berubah, walaupun di benak banyak orang yang memahami karakter dan sifatnya, perubahan prinsip itu tidak akan pernah dia terima dan lakukan.
Inti isi buku ini adalah bagaimana seorang wartawan melaporkan dari lapangan dengan sangat deskriptif mengenai persiapan, jalannya, dan pasca-operasi penyergapan Qahar Mudzakkar di daerah Sulawesi Tenggara pada awal tahun 1965. Rincian dan detail tulisan yang dibuat L.E.Manuhua – yang terkenal sangat dekat dengan Panglima Operasi ‘Tekad’/Pangdam XIV Hasanuddin Kolonel (kemudian Brigjen hingga Jenderal) M.Jusuf – benar-benar sangat membantu kita mengetahui secara fisik dan nonfisik sosok Qahar Mudzakkar. Dengan deskripsi ini diharapkan, sebagian kecil teka-teki tentang Qahar Mudzakkar selama ini sedikit demi sedikit terkuak.
Sebagaimana lazimnya, suatu bukti kelam dan hitam masa lalu, setelah berselang 40 tahun berikutnya sudah sah dibuka untuk publik. Begitulah dengan salah seorang Mark Felt, orang kedua di Biro Penyelidik Federal (Federal Bureau Investigation – FBI) Amerika Serikat yang membocorkan rahasia mengenai skandal Watergate yang menjatuhkan Presiden Richard Nixon pada awal tahun 1970-an, membuka kedoknya setelah kejatuhan presiden terheboh dalam sejarah politik Amerika itu.
Dari sisi kematian Qahar Mudzakkar hanya satu yang menjadi misteri, yakni lokasi jasadnya dikebumikan. Hingga kini masih menjadi rahasia yang tertutup rapat. Saksi kunci yang dapat menjelaskan itu, sudah tiada. Begitu pun beberapa wartawan yang menjadi saksi mayat Qahar Mudzakkar tiba di Makassar dengan helikopter. Ada seorang wartawan senior dan kini sudah almarhum yang sempat diwawancarai tetapi menolak memberitahu lokasi jenazah Qahar Mudzakkar dikebumikan. Dia mengetahui ‘’kubur’’ Qahar, namun enggan membuka rahasia itu dengan alasan sudah disumpah. Jadi, informasi tentang lokasi makam Qahar terkubur seiring dengan kepergian para saksi kunci mengenai informasi yang tidak akan pernah terjawab itu.
Menurut informasi yang diperoleh, ketika selesai dimandikan, konon ada dua peti mati yang disiapkan. Satu peti mati diangkut oleh sebuah pesawat Helikopter dan sebuah lagi diangkut oleh mobil. Helikopter mengarah ke laut, tetapi entah ke laut bagian mana di Selat Makassar. Nah, peti yang dibawa mobil itulah yang diperkirakan dan kemungkinan meluncur lurus ke Taman Makam Pahlawan Panaikang, Makassar.
Siapa pun dapat membantah dan menyangkal atas informasi burung ini, Kita tidak dapat menyalahkan adanya informasi selentingan yang beredar dengan sumber yang anonim. Namun itulah risiko dari sebuah informasi bila tetap ditutup rapat. Bagaikan air yang terus mengalir dan tetap ditutup jalan keluarnya, lama-lama akan mencari jalan keluar sendiri. Atau pun paling tidak, tempat itu bocor dan mengalir ke mana-mana.
Naskah asli buku ini ditulis dalam ejaan bahasa Indonesia lama (Ejaan Suwandi), sebelum ejaan yang disempurnakan (EYD) dan kini berganti dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Oleh sebab itu, tanpa mengurangi sedikit pun substansi informasi, untuk memudahkan pembaca saya menyesuaikan ejaan di dalam buku ini sesuai dengan PUEBI tersebut.
Untuk melengkapi isi buku ini, Dahlan melakukan kajian pustaka dengan membaca sejumlah buku, disamping menambahkannya hasil wawancara dengan dengan salah seorang yang mengaku kurir Qahar, yakni Abdul Qadir Djaelani di Kabupaten Tana Toraja. Apakah Kadir Djaelani ini orang yang mungkin sama dengan Mayor Kadir Junus, pengawal Qahar Mudzakkar yang pernah ditangkap pihak keamanan? Yang jelas, komentar Kadir Djaelani juga ikut menambahkan isi buku ini.
Yang tidak kalah ikut memerkaya, buku ini adalah hasil wawancara atau perbincangan Dahlan dengan penyair dan sastrawan nasional Taufiq Ismail. Sosok Angkatan 66 ini mengisahkan pertemuan ayahnya – Abd. Gaffar Ismail — dengan Qahar Mudzakkar – muridnya ketika di Solo — di hutan belantara Sulawesi Selatan sebelum dia ditembak mati oleh aparat keamanan Republik Indonesia.
Beberapa hasil transkrip pidato-pidato dan satu pernyataan langsung Qahar yang saya peroleh dari salah seorang adik di Penerbitan Kampus Identitas Universitas Hasanuddin ikut memerkaya isi buku ini. (*)
