Republiknews.co.id

Tertidur di Stadion Kanjuruhan (2) Gerbang Tak Dibuka Sebelum Tim Persebaya Pergi

Oleh: Fawwas Roihan Fuad (Mahasiswa Fakultas Sastra UMI, Tinggal di Malang)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Menyadari keadaan makin gawat darurat, Rizki terburu-buru membangunkan Ari dan beberapa orang lain yang masih tidur. Setelah terbangun, mereka langsung berlari ke tribun 4 untuk menghindari gas air mata yang tersebar dari tribun 6. Untungnya tribun 4 dan 5 tidak terkena tembakan gas air mata, namun bisa tetap berbahaya karena gas air mata dapat terbawa angin.

Rizki mulai khawatir dan segera menghubungi kedelapan temannya. Syukurlah mereka sudah aman berada di luar stadion. Temannya memberikan arahan kabur melalui gerbang 5 yang masih terbuka. Kebanyakan gerbang lainnya telah ditutup oleh polisi, terutama di gerbang 13 yang keadaannya paling parah “Gerbang tidak akan dibuka sebelum semua pemain Persebaya meninggalkan stadion!,” tegas polisi yang menjaga.

Benar-benar alasan yang tidak dapat diterima. Padahal sangat banyak  orang kesakitan akibat gas air mata, tapi polisi tidak mengizinkan mereka keluar. Tidak mungkin mereka merangkak mencari gerbang yang masih terbuka dengan keadaan mata, hidung, dan wajah sakit seolah terbakar api.

Mulailah para penonton dan supporter mendobrak pertahanan polisi, serta menghancurkan beberapa fasilitas stadion demi keselamatan diri. Ventilasi dan gerbang sampai mereka hancurkan hanya dengan pukulan plus tendangan yang penuh amarah.

Namun tidak semua berhasil selamat, malah banyak orang yang kehilangan nyawa karena desakan serta injakan yang begitu ramai. Akhirnya gerbang 13 menjadi lorong kematian dengan jumlah korban terbanyak. Dan dari keseluruhan, rata-rata korbannya adalah ibu-ibu serta anak-anak.

Sementara para pemimpin supporter di setiap tribun, bergegas menyelamatkan anak-anak dan orang tua yang kesulitan berjalan akibat gas air mata. Samsodik (pemimpin supporter gerbang 4) dan Yones (pemimpin supporter gerbang 12) juga berusaha menolong penonton lainnya, terutama anak kecil.

Masih ada tetua dari gerbang 4 bernama mas Nawi, Dan tetua dari gerbang 12 bernama mas Ari dari Arjosari, bukan yang dari Sulfat. Mereka ikut andil dalam aksi penyelamatan. Tapi sayangnya Nawi juga terkena gas air mata dan terinjak-injak. Keadaannya pun sekarat.  Ari pun segera pergi menyelamatkannya, namun sudah terlambat. Jiwa Mas Nawi sudah meninggalkan tubuhnya.

Tidak hanya para pemimpin supporter saja yang melakukan aksi penyelamatan. Ada teman dari Riski dan Ari  yang rela mendobrak pagar antara tribun 5 dengan tribun 6. Sebab ada beberapa anak kecil di tribun enam yang tidak bisa berbuat apa-apa, ditambah di sana merupakan lokasi ditembaknya gas air mata.

Apalagi gas air mata yang dipakai polisi sudah kedaluarsa. Pihak polisi pernah mengatakan,  gas air mata kedaluarsa memiliki efek lebih rendah daripada yang normal. Tapi itu bnar-benar salah, malahan yang kedaluarsa-lah lebih parah dari yang normal.

Di tribun 12 juga seperti neraka sama dengan tribun 13. Di atas, di bawah, dan di lorong gerbang ditembakkan gas air mata. Seluruh penonton dan supporter langsung panik berlarian dan berdesak-desakan sampai tak ada ruang untuk berjalan menyelamatkan diri. Belum lagi gerbang 12 ditutup. Para penonton tersiksa karena banyak gas air mata, ditambah siksaan tidak ada jalan keluar. Benar-benar bagaikan neraka.

Beberapa menit telah berlalu, mungkin sebaran gas air mata di tribun 5 sudah menghilang.  Rizki dan  Ari kembali ke tribun 5. Kemudian bergegas keluar dari stadion melewati gerbang 5. Memang pintu gerbang masih terbuka, tapi mereka dipaksa melihat pemandangan yang begitu keji di lorong gerbang.

Orang tua, anak-anak, remaja, dan pasangan muda tergeletak bertebaran di sepanjang lorong. Dan mereka semua telah meninggal. Sudah terlihat dari luka memar dan retak di sekujur tubuh yang begitu parah. Tidak ada yang bisa mereka berdua lakukan terhadap orang-orang yang bertebaran di lantai, sebab sudah tak bernyawa. Riski dan Ari hanya bisa berjalan keluar stadion dengan rasa jengkel yang begitu besar. Rasa jengkel terhadap aparat polisi yang tidak bisa menjaga keamanan para penonton, malah membuat mereka semua meninggal.

Akhirnya, mereka berdua sudah berada di luar stadion pada pukul 23.30 WIB. Itu pun penderitaan belum berakhir. Mereka masih disambut  malapetaka lagi. Baru keluar sudah ada tembakan gas air mata dari polisi. Keduanya pun tak sempat menghindar dan terkena gas air mata. Dengan cepat mata, hidung, dan wajahnya mulai terasa sangat sakit serta panas.

Riski dan Ari kemudian dijemput oleh dua dari delapan temannya. Mereka pun kembali berkumpul dengan kelompoiknya. Untung semua temannya masih aman walau sudah terasa kelelahan. Sangat tak disangka polisi menembakkan gas air mata lagi di luar stadion tanpa alasan yang jelas. Itu sudah termasuk tindakan yang bodoh dan memperparah situasi menurut teman-teman itu. Padahal, ketika pertandingan sepak bola di Malang sebelumnya, tidak pernah teerjadi tragedi kejam seperti ini. Sungguh tak disangka. Tiket masuk seharga Rp.60.000 tidak ubahnya menjadi kupon masuk ke dalam kuburan. Rizki dan mas Ari sangat bersyukur masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan. Jika semisal mereka berdua masih tertidur pulas sampai tragedi terjadi, mungkin juga sudah meninggal akibat diinjak-injak oleh para penonton yang panik berlarian.

Dari belakang, datang seorang gadis menghampiri Riski dan Ari. Mereka berdua terkejut melihat keadaan gadis tersebut begitu parah. Bola matanya berwarna merah pekat dan ada sesuatu berwarna putih di bawah kantong matanya. Mas Rizki awalnya menganggap yang berwarna putih itu adalah odol, namun ternyata itu adalah busa yang keluar dari matanya akibat gas air mata.

Gadis tersebut meminta tolong kepada keduanya untuk menyelamatkan teman-temannya yang ada di belakang. Mereka berdua pun segera menggotong teman-teman gadis itu ke tempat yang aman dari gas air mata. Saat itu, Riski dan Ari sempat melihat ada seorang pria bersama keempat temannya. Dia pergi menemui salah satu polisi untuk meminta tolong dicarikan ambulans. Sebab teman-temannya sudah meronta kesakitan menahan efek dari gas air mata. Namun polisi itu malah menjawab.

“Loh, mana ambulansnya? Kan ambulansnya gak ada.”

“Ya nggak tahu, Pak,!” kata pria yang belum tahu namanya dan meminta tolong kepada polisi.
“Teman-temanku begini karena perbuatan teman-teman bapak,!” balas pria ituy dengan suara tegas yang ternyata menggerakkan hati polisi itu  mencarikan ambulans untuk mereka. Beberapa saat setelah itu, sudah ada beberapa orang membawa tandu dengan tubuh mayat yang ditutupi oleh kain pink. (Bersambung)

Exit mobile version