0%
logo header
Senin, 10 Oktober 2022 19:31

Mekanisme Penagihan Pajak Dalam Sistem Perpajakan di Indonesia

Asril Astian
Editor : Asril Astian
Mekanisme Penagihan Pajak Dalam Sistem Perpajakan di Indonesia

Oleh: Ali Mochamad Sofi’i (Penyuluh Pajak Ahli Madya Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Satu Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Sebagaimana di ketahui bahwa sistem pemungutan perpajakan di Indonesia menganut sistem Self Assessment, artinya wajib pajak memiliki peran aktif dalam melakukan hak dan kewajiban perpajaknnya. Secara garis besar Wajib Pajak di beri kepercayaan dan tanggung jawab untuk mendaftarkan dirinya mendapatkan NPWP, menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak terutang. Mekanisme perpajakan, secara sederhana meliputi unsur pelayanan, pengawasan, pemeriksaan dan penegakan hukum dibidang perpajakan.

Dalam Pasal 12 UU Republik Indonesia Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana terakhir di rubah dengan UU RI Nomor 7 tahun 2021 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa setiap Wajib Pajak, wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP). Maka besarnya pajak terutang tidak tergantung pada adanya ketetapan pajak. Walau demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam fungsi pengawasannya memiliki kewenangan untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), yang pada hakikatnya hanya terhadap kasus-kasus tertentu. Terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain tidak memenuhi kewajiban formal dan/atau kewajiban material. Penerbitan suatu SKP hanya terbatas kepada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan (SPT) atau karena DJP menemukan data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.

Baca Juga : PPh Final UMKM 0.5% sesuai PP 55 Tahun 2022

Dalam Pasal 13 UU RI Nomor 6 tahun 1983 sebagaimana terakhir di rubah dengan UU RI Nomor 7 tahun 2021 disebutkan bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam hal-hal sebagai berikut:

  1. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  2. Apabila SPT tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;
  3. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);
  4. Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang; atau
  5. Apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha

Kena Pajak (PKP) secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a). Salah satu aspek mekanisme perpajakan adalah bidang penegakan hukum khususnya penagihan pajak. Dasar hukum penagihan pajak adalah Undang-undang no. 19 tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa. Undang-undang ini mulai berlaku tanggal 23 Mei 1997. Undang-undang ini kemudian diubah dengan Undang-undang no. 19 tahun 2000 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001. Secara teknis mekanisme penagihan pajak dalam sistem perpajakan di Indonesia terakhir di atur dalam PMK.189/PMK.03/2020 tentang Tata cara pelaksanaan penagihan pajak atas jumlah pajak yang masih harus di bayar.

Pemahaman dasar yang harus di fahami dalam mekanisme penagihan adalah dasar penagihan, tindakan penagihan pajak, penanggung pajak dan biaya penagihan pajak. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak, dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa (SP), mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita. Dalam kondisi tertentu DJP berwenang melakukan penagihan sekeltika dan sekaligus.

Baca Juga : Golden Visa dan Pajak

Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak dan tahun pajak.

Selain hal tersebut ada hal yang perlu diketahui adalah konsep tentang penanggung pajak dan biaya penagihan pajak. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan  memenuhi kewajiban WP menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Sedangkan biaya penagihan pajak adalah biaya yang timbul karena dilaksanakannya kegiatan penagihan pajak yaitu pelaksanaan penyampaian SP, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP), Pengumuman Lelang dan Pembatakan Lelang, Pengusulan pencegahan WP/ Penanggung Pajak (PP) dan pengusulan penyanderaan WP/PP. Dalam praktek lapangan pelaksanaan penagihan aktif perpajakan dilaksanakan oleh pejabat yaitu Juru Sita Pajak Negara (JSPN). Secara ringkas tahapan penagihan pajak adalah sebagai berikut:

  1. Dasar penagihan. Dasar penagihan pajak dibedakan berdasarkan jenis pajaknya. Dasar penagihan pajak untuk PPh, PPN, dan PPnBM, serta bunga penagihan adalah: Surat Tagihan Pajak (STP), SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pemberatan, Putusan Banding, Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah. Sedangkan dasar penagihan pajak untuk PBB adalah Surat Pemberitahuan Pajak Terutang PBB, Surat Ketetapan PBB, Surat Tagihan Pajak PBB.
  2. Jatuh tempo pelunasan. Jatuh tempo pelunasan pajak adalah 30 hari sejak tanggal penerbitan dasar penagihan pajak, dan utang pajak belum dilunasi.
  3. Penyampaian surat teguran. Penyampaian surat teguran merupakan awal pelaksanaan tindakan penagihan. Surat teguran adalah surat yang diterbitkan oleh DJP untuk menegur atau memperingatkan WP agar segera melunasi utang pajaknya. Surat teguran dikeluarkan apabila utang pajak yang tercantum dalam STP, SKPKB atau SKPKBT tidak dilunasi sampai melewati batas waktu jatuh tempo, 1 bulan sejak tanggal diterbitkannya dan ditambah 7 (tujuh) hari setelah tanggal jatuh tempo. Surat teguran termasuk kegiatan pajak bersifat persuasif. Masa berlakunya surat teguran adalah 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal penerbitan. Tujuan surat teguran adalah peringatan terhadap WP/PP agar segera membayar utang pajak sehingga tidak perlu dilakukan penagihan secara paksa.
  4. Penyampaian SP. Surat paksa adalah surat yang dikeluarkan apabila 21 hari setelah jatuh tempo surat teguran, WP/PP belum melunasi utang pajaknya. Elemen yang ada dalam SP adalah nama WP, dasar penagihan; besarnya utang pajak; perintah untuk membayar. Hal-hal yang perlu diketahui dengan SP adalah SP dapat langsung dilaksanakan tanpa bantuan putusan peradilan dan tidak dapat digunakan untuk mengajukan banding; mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte yaitu putusan peradilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; mempunyai fungsi ganda yaitu menagih pajak dan biaya penagihannya; dapat dilanjutkan dengan tindakan penagihan lanjutan (penyitaan, pencegahan, penyanderaan) setelah dilewatinya masa minimal 2×24 jam setelah SP disampaikan ke WP/PP.
  5. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP). Kegiatan ini dilaksanakan paling cepat setelah dilewatinya minimal 2×24 jam sejak SP disampaikan pada WP/PP, hutang pajak yang menjadi dasar penyampaian SP tidak dilunasi oleh WP/PP. Penyitaan bisa berupa barang bergerak dan barang tidak bergerak. Barang bergerak misalnya uang tunai termasuk mata uang asing dan mata uang elektronik; logam mulia, perhiasan emas, permata dan sejenisnya; harta kekayaan yang tersimpan di lembaga keuangan sektor perbankan, asuransi dan entitas lainnya; surat berharga yang diperdagangkan/tidak diperdagangkan di Lembaga Jasa Keuangan (LJK) sektor pasar modal; piutang; penyertaan modal pada perusahaan lain. Barang tidak bergerak meliputi tanah dan/bangunan; kapal dengan isi kotor paling sedikit 20 (dua puluh) meter kubik.
  6. Pencegahan. Kegiatan dini dilaksanakan dengan persyaratan hutang pajak minimal 100.000.000 (seratus juta rupiah) ke atas dan di ragukan iktikad baiknya. Kriteria di ragukan iktikad baiknya berupa tidak melunasi utang pajak secara sekaligus maupun angsuran walaupun telah diterbitkan SP; menyembunyikan atau memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai, termasuk akan membubarkan Badan usaha, setelah timbulnya Utang Pajak. Masa berlakunya surat pencegahan WP/PP berlaku selama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk 1 kali 6 bulan.
  7. Penyanderaan. Kegiatan dini dilaksanakan dengan persyaratan hutang pajak minimal 100.000.000 (seratus juta rupiah) ke atas dan di ragukan iktikad baiknya. Kriteria di ragukan iktikad baiknya tidak melunasi utang pajak secara sekaligus maupun angsuran walaupun telah diterbitkan SP; menyembunyikan atau memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai, termasuk akan membubarkan Badan Usaha, setelah timbulnya Utang Pajak. Masa berlakunya surat penyanderaan WP/PP berlaku selama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang untuk 1 kali 6 bulan.
  8. Penyitaan atas harta kekayaan penanggung pajak pada LJK sektor perbankan (kegiatan blokir rekening WP/PP). Kegiatan ini yang menjadi kekhawatiran WP/PP. Tititk krusial dalam kegiatan ini adalah WP/PP tidak mendapat informasi bahwa rekening mereka di blokir oleh LJK sektor perbankan, sebelum kegiatan blokir tersebut dilaksanakan atas permintaan DJP. Mekanisme pelaksanaan kegiatan ini bersifat seketika dan saat itu juga, artinya saat JSPN datang ke LJK untuk menyampaikan surat permintaan blokir rekening WP/PP dan setelah di teliti oleh petugas LJK ditemukan adanya rekening tersebut, maka saat itu juga dilaksanakan kegiatan blokir rekening.
  9. Penjualan barang sitaan. Pada prinsipnya penjualan barang sitaan perpajakan dilakukan secara lelang lewat KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang). Satu hal yang dikecualikan dari proses lelang yaitu uang tunai termasuk mata uang asing dan mata uang elektronik; surat-surat berharga dan barang yang mudah rusak/cepat busuk. Pada prinsipnya JSPN harus menyetorkan hasil penjualan lelang asset penyitaan WP/PP ke kas negara.

Baca Juga : Hal Baru Tentang Mekanisme Membuka Blokir Rekening Wajib Pajak

Dari paparan di atas terlihat bahwa kegiatan penagihan pajak sebagai bagian integral dari fungsi pemerintah dalam mengawasi WP untuk bisa melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara benar dan bertanggung jawab. Ada titik kritis dari kegiatan penagihan pajak yang harus di fahami oleh WP dengan baik, agar WP punya bekal pemahaman yang cukup tentang mekanisme penagihan pajak. Titik kritis yang harus di fahami oleh WP adalah saat dasar tagihan pajak sudah melewati jatuh tempo pelunasan, karena proses tindakan penagihan sudah bisa berjalan. WP harus faham hak dan kewajibannya saat menerima tagihan pajak (STP/SKP) sehingga bisa mengambil langkah yang tepat saat menerima tagihan pajak. Jangan sampai karena ke tidaktahuan WP mengakibatkan WP/PP mendapat tindakan penagihan aktif oleh JSPN, terlebih kalau WP/PP rekening aktif untuk perputaran nusahanya di blokir oleh LJK atas permintaan JSPN, karena efeknya bisa mengganggu operasional usaha WP.

Disanalah diperlukan pengetahuan yang cukup dari WP/PP tentang mekanisme penagihan dan disisi lain adanya upaya edukasi yang massif dari DJP tentang mekanisme penagihan pajak (sebagai bagian integral dalam sistem Self Assessment perpajakan). Pada akhirnya satu hal yang ingin di capai adalah keseimbangan, di satu sisi WP tetap bisa berusaha dan tumbuh usahanya, karena pertumbuhan usaha itulah adanya potensi pajak yang bisa diambil sebagai sumber utama penerimaan negara dan disisi lain fungsi pengawasan negara (tindakan penegakan hukum perpajakan berupa penagihan aktif) bisa berjalan, sehingga potensi hak tagih negara atas dasar penagihan yang sudah terbit (STP, SKP) bisa direalisasikan sebgai penerimaan negara.

Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646
Baca Juga