REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR – Komunitas Wartawan Politik Sulawesi Selatan menggelar diskusi dengan tema “Pilkada Sinjai, Bisakah Tanpa Money Politik?“. Diskusi politik tersebut berlangsung di Cafe Baji, Jalan Tamangapa Raya, Makassar, Sabtu (19/10/2024).
Hadir tiga narasumber, masing-masing Pakar Komunikasi Politik Unhas Andi Lukman Irwan, Akademisi Unhas Khair Khalis Syurkati, serta Direktur Riset PT GSI, Muhammad Ridwan.
Dalam pemaparannya, Akademisi Unhas, Khair Khalis Syurkati menjelaskan sejumlah poin penting yang harus dilakukan guna mengantisipasi terjadinya praktik money politic, khususnya di Pilkada Sinjai tahun 2024 ini.
Baca Juga : Angkat Ikon Geopark di Bandara Hasanuddin, Gubernur Sulsel: Gerbang Awal Promosi Pariwisata Sulsel
Khair menyarankan tiga langkah utama untuk mengatasi politik uang, yakni penguatan aturan dan penegakan hukum, edukasi politik masyarakat, serta peran media massa.
“Namun yang terpenting adalah penguatan aturan dan penegakan hukum, karena ini biasanya dikaburkan sendiri dalam pelaksanaannya, baik dari tim maupun calon itu sendiri,” beber Khair.
Selain itu katanya, pentingnya memberikan pendidikan pemilu kepada masyarakat agar mereka mengetahui apa saja yang masuk atau tergolong dalam politik uang.
Baca Juga : Resmi Disetujui, Pemkot dan DPRD Makassar Perkuat Regulasi Kearsipan, Pesantren dan Tata Kelola Keuangan
Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik Unhas, Andi Lukman Irwan menegaskan bahwa kandidat yang biasanya menggunakan politik uang adalah kandidat yang miskin ide dan gagasan.
“Miskin ide, akhirnya memakai pendekatan transaksional. Kemudian juga kandidat yang tidak memiliki kedekatan kekerabatan dengan masyarakat atau miskin sosial,” kata Lukman.
Hal tersebut katanya, terjadi karena lemahnya pendidikan politik di masyarakat, sehingga money politic ini menjadi masalah klasik yang selalu saja terjadi di setiap kontestasi.
Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional
Padahal kata Lukman, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur dengan ketat soal politik uang.
“Siapapun yang menerima uang atau bingkisan yang mempengaruhi pilihannya, dapat diancam hukuman pidana dan denda,” tegasnya.
Lukman berpendapat bahwa kandidat yang menggunakan politik uang menunjukkan kurangnya ide dan kemampuan untuk membangun daerah, serta tidak mampu menawarkan program yang relevan bagi masyarakat.
Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal
“Kandidat yang melakukan politik uang biasanya memiliki hubungan sosial yang lemah dengan pemilihnya. Inilah saatnya masyarakat memilih kandidat yang memiliki visi dan program pembangunan yang jelas,” tutupnya.
Berdasarkan hasil survei PT General Survey Indonesia (GSI) terkait politik uang di Pilkada Sinjai pada periode 1-10 Oktober, 45,1 persen responden mengaku menerima uang atau barang dan memilih calon tersebut, sementara 24,6 persen menolak. Sedangkan 15,7 persen menerima uang atau barang namun belum tentu memilih. Sementara itu 14,8 persen mengaku tidak tahu.
“Untuk preferensi barang, 76,9 persen diantaranya memilih sembako, sementara pilihan lainnya termasuk mukena atau jilbab, sarung, dan souvenir kecil,” demikian Direktur Riset PT GSI, Muhammad Ridwan. (*)
