0%
logo header
Selasa, 05 Januari 2021 15:37

Sarat Nilai Budaya, Masjid Jami Tua Destinasi Wisata di Kota Palopo

Masjid Djami Tua Kota Palopo
Masjid Djami Tua Kota Palopo

REPUBLIKNEWS.CO.ID, PALOPO – Masjid Jami Tua jadi salah satu bangunan peninggalan Islam dari Kerajaan Luwu yang masih kokoh berdiri. Masjid tersebut dibangun oleh Pattipasaung, Datu’ Luwu ke-16 yang bergelar Sultan Abdullah (1615-1637) serta putra Raja Luwu pertama yang memeluk Islam yaitu La Patiware Daeng Parabu, pada tahun 1619.

Masjid dengan luas 15 meter persegi ini ini terletak tepat di jantung Kota Palopo, tepatnya di perempatan Jalan Ahmad Yani dan Jalan Andi Machulau, Kelurahan Batupasi, Kecamatan Wara Utara. Bentuk arsitektur aslinya masih dipertahankan, mulai dari dinding batu padas (andesit) dengan formasi bersusun hingga atapnya yang bertumpuk tiga khas rumah joglo.

Hanya seratus meter dari Masjid Jami Tua, terdapat Istana Langkanae, pusat pemerintahan Kerajaan Luwu. Saat Pattipasaung memindahkan ibukota dari Malengke menuju Ware’ (kini Palopo) di tahun-tahun awal pemerintahannya, turut dibangun pula kompleks pusat pemerintahan yang baru. Dan di dalam kompleks tersebut adalah Masjid Jami Tua dan Istana Langkanae.

  1. Ukiran di pintu masuk Masjid Jami Tua banyak ditemui di masjid-masjid tua Pulau Jawa

Baca Juga : Tips Kadis Kebudayaan Palopo untuk Melestarikan Budaya

Ada beberapa versi tahun pasti pendirian masjid ini. D.F. Van Braam Morris dalam catatannya memperkirakan pada tahun 1610, atau masa awal perkembangan Islam di Luwu saat La Patiware Daeng Parabu masih memerintah. Sedangkan Tim Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan menyebutkan tahun 1615 bersamaan dengan pemindahan ibukota.

Yang unik, orang Toraja terlibat dalam pembuatan masjid ini. Dijelaskan dalam buku Sejarah Islam di Luwu (Nawir, Balai Kajian sejarah dan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan Depdikbud, 1997), arsiteknya bernama Pong Mante asal Makale. Ia dibantu oleh para pekerja dengan tugas spesifik masing-masing.

Menurut riwayat, pemahat batu masjid berjumlah 40. Masing-masing pemahat batu juga dibantu 40 orang tukang asah. Ditaksir ada sekitar 1000 orang yang bekerja setiap hari. Ribuan batu cadas dibentuk menjadi blok-blok segi empat tebal (0.92 cm) yang kemudian disusun dengan presisi. Batu-batu tersebut kemudian direkatkan dengan campuran putih telur dan kapur.

  1. Pengaruh Jawa juga terlihat dalam konsep soko guru alias tiang utama penopang atap masjid

Baca Juga : Kuliner Tradisional, Warisan Ragam Budaya Tana Luwu

Seperti ditulis oleh peneliti Muhammad Ali Saputra dalam Jurnal Pusaka Vol. 1 No. 1 (2013), denah Masjid Tua Jami ini berbentuk bujur sangkar. Ukurannya yaitu 15 x 15 meter, dengan ketebalan dinding mencapai 90,2 cm. Tinggi dinding dari permukaan tanah mencapai 3 meter, serta 10,10 meter jika diukur hingga ke puncak atap. Ukuran ketinggian seluruhnya, dari permukaan tanah sampai ke puncak atap, mencapai 10,80 m.

Pintu masuknya diapit enam jendela dengan ukuran lebar 85 cm dan tinggi 117 cm serta didahului tiga anak tangga. Bagian atas seluruh pintu masuk agak melengkung Di bawah pintu masuk terdapat 3 anak tangga yang juga terbuat dari batu padas. Di sekitar lengkungan pintu masjid terdapat pahatan-pahatan yang bermotif dedaunan. Hiasan tersebut biasa dilihat dalam gapura masjid-masjid tua yang tersebar di pulau Jawa.

Beranjak ke dalam, berdiri lima tiang kayu penopang atap masjid, dengan tiang utama atau soko guru sebagai tiang penopang atap masjid teratas. Sedang empat tiang lainnya adalah menopang atap tengah. Memiliki diameter 1 meter dan tinggi 8,50 meter, tiang utama dibuat dari tatahan kayu pohon lokal Cinna Gori dan berbentuk segi dua belas. Warna kuning keemasan membuat soko guru Masjid Jami Tua terlihat penuh wibawa.

Baca Juga : Kuliner Tradisional, Warisan Ragam Budaya Tana Luwu


Masjid Jami Tua sendiri telah melalui tiga kali renovasi. Yang pertama yakni perbaikan lantai masjid pada tahun 1700 pada masa pemerintahan Settiaraja Petta Matinroe ri Tompoq Tikkaq. Kedua, pergantian lantai yang lama dengan tegel yang didatangkan langsung dari Singapura pada 1951. Di tahun 1981, seluruh bagian yaang rusak atau lapuk menjalani proses restorasi. Kali keempat dan kelima adalah penambahan area bangunan hingga seperti sekarang

Pada tanggal 4 Oktober 1999, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu yakni Juwono Sudarsono menetapkannya sebagai salah satu Situs Cagar Budaya lewat SK. Penetapan bernomor 240/M/1999.

Di waktu normal, masjid yang sudah berdiri selama tiga abad lebih itu menjadi salah satu destinasi wisatawan dalam dan luar negeri ketika berkunjung ke Kota Palopo. Letaknya juga tak begitu jauh dari sejumlah situs peninggalan Kerajaan Luwu lain yakni Istana Langkanae dan Museum Batara Guru.

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646