0%
logo header
Selasa, 08 Maret 2022 12:46

Cerita Perempuan Pekerja Disabilitas: Saya Dibully Rekan Kerja, Saya Ditolak Siswa

Ilustrasi ancaman kekerasan bagi pekerja perempuan penyandang disabilitas. (Chaerani/Republiknews.co.id)
Ilustrasi ancaman kekerasan bagi pekerja perempuan penyandang disabilitas. (Chaerani/Republiknews.co.id)

Pemerintah dan Perusahan Wajib Siapkan Aturan Tentang Perlindungan Pekerja

Ilustrasi bentuk-bentuk kekerasan yang mengancam pekerja perempuan penyandang disabilitas. (Chaerani/Republiknews.co.id)

Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan menilai, meski pemerintah telah melakukan upaya untuk membuka aksebilitas bagi kelompok disabilitas dengan membuat kebijakan atau peraturan daerah tentang ketenagakerjaan disabilitas. Tetapi dilain pihak pemerintah belum membuka diri untuk melakukan evaluasi bagaimana efektivitas kebijakan yang dikeluarkan. Termasuk di dalamnya mendorong bagaimana perusahan dapat menjamin keamanan dan perlindungan bagi pekerja, secara khusus pekerja disabilitas.

Hal ini penting dilakukan untuk mengurangi permasalahan dan persoalan penyandang disabilitas di semua sektor. Salah satu caranya dengan mendengar dari kelompok disabilitas itu sendiri, apalagi beberapa hak dari kelompok disabiltas yang disiapkan perusahaan masih jauh dari kata efektif.

Baca Juga : PLN UIP Sulawesi dan Polda Sulsel Komitmen Jaga Infrastruktur Ketenagalistrikan Berkelanjutan

“2020 lalu kami sempat mengkritisi perusahan BUMN karena waktu itu mereka membuka lowongan pekerjaan pada kelompok disabilitas tetapi dia membatasi bahwa itu untuk laki-laki. Dari hasil pertemuan yang kami lakukan itu mereka berdalih bahwa jenis pekerjaan yang dibukannya akan lebih banyak bekerja di malam hari, lebih pada alasan keselamatan dan keamanan pekerja,” jelas Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan Maria Un.

Ia menilai, adanya aturan tersebut menandakan bahwa situasi keamanan dan perlindungan kerja yang disiapkan perusahaan bagi pekerja perempuan penyandang disabilitas belum menjadi perhatian penting. Sehingga masih terjadi pembatasan hak pekerjaan bagi laki-laki maupun perempuan.

“Memang masih banyak ketimpangan-ketimpangan, ini karena memang perusahaan belum mau menyiapkan lingkungan kerja yang aman dan nyaman bagi perempuan yang bekerja, termasuk pada kelompok penyandang disabilitas. Seperti pekerja yang bekerja hingga malam hari, itu pihak perusahaan tidak menyiapkan kendaraan operasional bagi mereka, sehingga memang ini harus kita dorong kedepannya,” tegas Maria.

Baca Juga : Indosat Perkuat Pengalaman Digital di Makassar Dengan AIvolusi5G

Kondisi pekerja perempuan disabilitas di Sulawesi Selatan masih pada sektor perusahaan ritel, perbankan, dan instansi pemerintahan. Sementara untuk perusahaan daerah itu belum satu pun terdata mempekerjakan tenaga kerja disabilitas.

Ketua Pemberdayaan Daerah HWDI Sulsel Nia Selestin mengaku, adanya tindak kekerasan di tempat kerja yang dialami pekerja perempuan penyandang disabilitas itu dikarenakan mereka tidak memahami bahwa apa yang dialaminya merupakan bentuk kekerasan. Terutama pada kekerasan verbal seperti bullying itu masih banyak yang tidak memahami bahwa itu merupakan tindak kekerasan yang harus dilawan atau dilaporkan.

“Banyak teman-teman yang mengalami kekerasan seperti diejek, dicubit, dicolek oleh teman kerjanya, bahkan bosnya tetapi mereka tidak paham bahwa itu kekerasan. Ini juga menjadi penyebab mengapa dari mereka tidak berani angkat suara karena mereka tidak mengetahui tentang itu,” jelas Nia.

Baca Juga : Gojek, Tangan Di Atas dan Pemkot Makassar Dukung Pelaku UMKM Kuliner Baru Naik Kelas

Saat ini HWDI Sulsel pun mulai aktif melakukan sosialisai kepada seluruh anggotanya di setiap daerah baik pekerja maupun yang bukan pekerja terkait bentuk-bentuk kekerasan dan ekpolitasi yang rentan dihadapi perempuan. Tujuannya untuk memberikan pemahaman kepada mereka, sehingga jika mereka nantinya mengalami bentuk-bentuk kekerasan tersebut, mereka lebih berani untuk berbicara dan melapor.

“Sebelum ke perusahaan kita terlebih dahulu menyosialisasikan ancaman kekerasan di dunia kerja itu seperti apa, sehingga mereka mengenal dan tahu. Jadi nantinya jika mereka mengalami seperti itu mereka tahu itu melanggar dan harus ditindaki,” tegas Nia.

Direktur Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIK) Sulawesi Selatan Nur Syarif Ramadhan mengakui, isu perlindungan pekerja penyandang disabilitas dari kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja masih belum terlalu menjadi perhatian. Sebab sejauh ini masih pada isu pencegahan kekerasan pada penyandang disabilitas secara umum.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

Masih kurangnya pekerja perempuan penyandang disabilitas yang mengalami tindak kekerasan dan berani melapor menjadi alasan utama kenapa isu perlindungan dan keamanan kerja bagi mereka belum menjadi isu yang sensitif untuk dibahas dan didorong seluruh organisasi disabilitas. Kondisi ini tentunya karena para pekerja, terutama kelompok perempuan khawatir kehilangan pekerjaannya, apalagi bagi pekerja disabilitas tuli. Olehnya ia memilih untuk menerima segala bentuk kekerasan yang dialaminya.

“Mereka pasti merasa daripada tidak kerja mending begini saja. Apalagi tidak banyak memang yang bisa fasilitasi mereka. Para penyandang disabilitas juga kebanyakan takut diekspos media,” aku Syarif.

PerDIK Sulsel menilai kedepan perlu ada lembaga khusus yang menjadi pusat aduan bagi kelompok disabilitas yang membutuhkan bantuan hukum untuk mengakomodir bentuk-bentuk diskriminasi yang didapatkan kelompok disabilitas. Terutama yang menyangkut hak dan perlindungan keamanan tenaga kerja disabilitas.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

“Kita berencana akan membentuk lembaga bantuan hukum (LBH) disabilitas, cuman saat ini kami masih mencari tim yang memiliki misi perjuangan yang sama dan bisa mendukung kerja-kerja kita. Apalagi kita cukup memiliki pengalaman dalam melakukan pendampingan bagi disabilitas yang berhadapan dengan hukum,” katanya.

Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH Apik) Sulawesi Selatan Rosmiati Sain, sejauh ini kasus kekerasan seksual dengan korban disabilitas yang didampingi bukan pada dunia kerja. Hanya saja memang hal ini perlu didorong, sebab kasus kekerasan sangat rentan diterima oleh siapa saja dan di mana saja, termasuk pada perempuan disabilitas maupun non disabilitas.

“Memang ini sudah menjadi keharusan, meskipun kasus-kasusnya belum kelihatan tetapi kita perlu melakukan upaya perlindungan bagi mereka (pekerja perempuan disabilitas). Karena kekerasan itu siapa pun bisa mengalami,” katanya.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

Sejauh ini upaya yang dilakukan LBH Apik terkait isu penghapusan kekerasan di dunia kerja masih dilakukan secara berjejaring dengan melibatkan diri pada organisasi yang fokus dalam isu tersebut. Ia menilai, hal ini harus menjadi perhatian, mengapa ? karena jika kelompok rentan seperti perempuan dan disabilitas mengalami kekerasan di dunia kerja otomatis itu merupakan kekerasan berlapis.

“Tahun lalu kita sudah mendorong isu ini, cuman memang ini belum menjadi perhatian pemerintah,” kata Rosmiati.

Halaman
Penulis : Chaerani
Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646