0%
logo header
Selasa, 08 Maret 2022 12:46

Cerita Perempuan Pekerja Disabilitas: Saya Dibully Rekan Kerja, Saya Ditolak Siswa

Ilustrasi ancaman kekerasan bagi pekerja perempuan penyandang disabilitas. (Chaerani/Republiknews.co.id)
Ilustrasi ancaman kekerasan bagi pekerja perempuan penyandang disabilitas. (Chaerani/Republiknews.co.id)

“Saya memilih sabar, luka ini kusimpan rapat-rapat dalam hati”..

REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Jumat, 18 Februari 2022 sekitar pukul 20.00 Wita, suasana Cafe Tulus (Exs Cafe Tuli) di Jalan Ujung Bori, Antang, Kecamatan Manggala, Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan mulai ramai pengunjung. Tak seperti pada di waktu siang hari saat penulis pertama kali datang ke cafe itu.

Hampir seluruh kursi yang disiapkan cafe bernuansa minimalis itu di duduki pengunjung yang mayoritasnya adalah penyandang disabilitas tuli. Meski cuaca di luar sedang dingin karena sejak seminggu kota ini diguyur hujan, suasana di dalam cafe nampak memperlihatkan kehangatan.

Baca Juga : PLN UIP Sulawesi dan Polda Sulsel Komitmen Jaga Infrastruktur Ketenagalistrikan Berkelanjutan

Di salah satu kursi di dekat pintu masuk yang terbuat dari kaca itu duduk seorang wanita sekitar usia 33 tahun dengan menggunakan kaos hitam polos berjilbab hijau. Ia kemudian mengangkat handphone seperti memberi tanda kepada penulis bahwa dialah yang akan ditemui penulis.

Adalah Marina (bukan nama sebenarnya) tenaga kerja kontrak di salah satu instansi di Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang merasakan pengalaman pilu menjadi disabilitas di tengah-tengah lingkungan kerja. Ia berkisah selama delapan tahun menjadi pegawai kontrak dengan disabilitas tuli kerap kali mendapat kekerasan verbal berupa hinaan dan ejekan (bullying). Saat mencoba mengingat pengalaman itu di balik kacamatanya tergambar kesedihan pada mata yang sedikit basah.

Dengan bibir bergetar ia menceritakan lewat juru bahasa isyarat bagimana rekan kerjanya itu memperlakukan dirinya. Marina mengaku kerap kali mendapatkan kekerasan dalam bentuk verbal, seperti bullying dan penghinaan terhadap dirinya sebagai disabilitas tuli.

Baca Juga : Indosat Perkuat Pengalaman Digital di Makassar Dengan AIvolusi5G

“Saya selalu di teriaki pepe (bisu: red) sama teman karena saya tuli, itu hampir beberapa kali. Bahkan saya juga pernah dibilangi kalau saya tidak bisa bikin apa-apa,” kata Marina mengenang.

Meski kerap kali ia menolak dan marah jika dipanggil dengan ejekan seperti itu, rupanya tidak memberikan efek bagi rekan kerjanya. Ejekan dan hinaan serupa ini bukan kali pertama, pada 2015 lalu ia juga pernah mendapat hinaan serupa oleh seorang office boy di instantsi tempatnya bekerja. Hanya saja tak berselang lama office boy tersebut tidak lagi bekerja disitu.

“Ada juga dulu tukang bersih-bersih ruangan selalu katai saya, kamu tidak mendengar, kamu pepe. Kalau ingat itu sakit hatiku. Tapi sebelum pindah ia sempat meminta maaf dengan saya,” kisahnya lagi.

Baca Juga : Gojek, Tangan Di Atas dan Pemkot Makassar Dukung Pelaku UMKM Kuliner Baru Naik Kelas

Beberapa kali mendapatkan hinaan serupa, Marina pun mencoba melaporkan hal tersebut ke pimpinannya melalui kepala dinas dan kepala bidang di instansi tersebut. Hanya saja laporannya tidak ada penyelesaian yang jelas. Tidak ada mediasi yang dilakukan pimpinan kepada dirinya dan rekan kerjanya itu.

“Saya pasrah mi saja, mau lapor keluar juga saya takut karena nanti saya dipecat, susah cari kerja sekarang. Jadi saya sabar-sabar saja,” kisah Marina.

Karena tak mendapat perlindungan dari istansti tempatnya bekerja, ia pun melakukan upaya untuk melindungi dirinya sendiri. Seperti dengan memberikan pemahaman dan edukasi melalui tulisan-tulisan yang ia bagikan di grup-grup WhatsApp terkait bagaimana memperlakukan penyandang disabilitas tuli di tempat kerja dan lingkungan lainnya. Hanya saja rekan kerjanya solah tidak peduli bahkan justru melucutinya dengan kalimat yang cukup menyakiti.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

Issengko (mana ku tahu)  Marina, tidak penting ji bagi saya,” begitu kata Marina sambil memperlihatkan bukti chatnya di grup WhatsApp kantornya.

Beberapa dari rekan kerja Marina juga selalu menuduhnya bereaksi berlebihan karena ia terlalu membawa perasaan dan dinilai memiliki sifat cepat tersinggung. Sehingga ia merasa tidak ada yang mendukung dirinya, dan merasa apa yang dilakukan rekan kerjanya itu adalah hal yang benar.

“Saya kalau marah dan menolak dipanggil pepe, saya dibilang terlalu baper. Terlalu cepat tersinggung, padahal saya cuman tidak mau dipanggil begitu,” ia menegaskan.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

Kini, untuk menghindari hinaan dari rekan kerjanya itu, Marina memilih untuk menarik diri dari aktivitas yang melibatkan dirinya dengan teman kerjannya itu. Marina pun tetap memilih bekerja dengan aktivitas seperti biasanya sebagai karyawan yang mengurus seluruh berkas-berkas administrasi di instansi tersebut.

“Memang sudah tidak nyaman kerja selama kejadian itu, tapi karena tidak ada kerjaan lain saya memilih bertahan di sini saja. Saya juga tidak berani menceritakan ke siapa-siapa,” tutup Marina.

Penolakan di lingkungan kerja juga dapat menyebabkan trauma mendalam bagi tenaga pekerja disabilitas. Hanya saja mereka memilih bungkam dan bertahan karena akses pekerjaan bagi mereka masih sangat kurang. Data Dinas Ketenagakerjaan Sulawesi Selatan di periode 2021 menyebutkan tenaga kerja dari perempuan disabilitas masih sangat kurang, baru di Kota Makassas yang tercacat mempekerjakan perempuan penyandang disabilitas atau sebanyak 26 orang. Untuk sektor pekerjaan pun masih sangat kecil.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

Masih kurangnya akses pekerjaan bagi perempuan penyandang disabilitas menjadi alasan utama mengapa mereka memilih diam jika mereka mengalami kekerasan atau pun penolakan di lingkungan kerjanya. Termasuk belum adanya ruang aman dan aturan perlindungan pencegahan kekerasan bagi mereka sehingga mereka memilih pasrah jika menjadi korban kekerasan. Baik pada kekerasan psikis, fisik maupun kekerasan seksual.

Seperti yang dirasakan Selfie (bukan nama sebenarnya). Menjadi tenaga pengajar di sekolah luar biasa di Kota Makassar selama delapan tahun bukanlah hal mudah ia jalani. Di tolak siswa hingga orangtua siswa karena kekhususannya sebagai penyandang disabilitas tuli merupakan pengalaman paling menyedihkan yang ia rasakan. Sementara pihak sekolah tempatnya bekerja tidak memberikan perlindungan dan penjaminan keamanan baginya.

Selfie mengakui, ketika mengingat kembali momen-momen itu ia merasa trauma, sehingga dirinya merasakan sesak di dada. Meski akhirnya Selfie memilih berdamai dengan keadaan.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

“Saya kalau ingat langsung sakit dada, tapi pelan-pelan saya sudah lupa itu,” kenangnya.

Sejak awal mengajar pada mata pelajaran konsep matematika di sekolah tersebut dirinya memang sudah tidak diterima oleh siswa, tetapi ia tetap memilih untuk mengajar, hingga pada puncaknya siswa secara bersamaan memilih untuk tidak masuk kelas pada mata pelajaran yang diajarkan Selfie.

Ia menceritakan, saat itu masuk pada jam mengajarnya, seperti biasanya dia menyambutnya dengan semangat, hingga saat memasuki kelas ia kaget karena tak seorang pun siswa ada di kelas itu.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

“Kejadiannya sekitar 2018 lalu, waktu itu saya masuk mengajar ke kelas, tapi tidak ada satupun siswa saya di ruangan. Saya cari tahu, ternyata mereka tidak mau saya jadi guru mereka karena dipikir saya punya kekurangan, orangtua mereka juga tidak mau kalau saya yang mengajar anak-anak mereka,” katanya.

Padahal ia telah mencoba menjadi pengajar yang baik di tengah kondisi disabilitasnya itu. Seperti ia menggunakan alat bantu dengar yang ia beli sendiri karena pihak sekolah tidak memfasilitasi, kemudian mencoba melatih siswa-siswa berbahasa isyarat. Tetapi tetap saja dirinya tidak diterima oleh siswa dan orangtua siswa.

“Sejak bekerja di situ (di sekolah) siswa dan orangtuanya memang sudah tidak menerima saya. Karena mungkin di sekolah itu hanya saya guru dengan kondisi disabilitas , yang lain tidak. Makanya saya sabar, karena mau keluar juga tidak ada tempat kerja lain waktu itu, kurang yang mau terima kayak kami ini,” lirih Selfie.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

Selfie pun kemudian melaporkan hal ini ke pihak sekolah melalui kepala sekolah. Tetapi ia tidak mendapatkan kejelasan ataupun tindak lanjut dari laporan atas keluhannya itu.

“Setelah kejadian itu saya mulai jarang ke sekolah, kalau ke sekolah saya tidak masuk mengajar hanya duduk saja di ruang guru. Kepala sekolah juga tidak ada tindakan apa-apa melihat saya tidak mengajar,” katanya.

Setelah kejadian itu berlalu dan tidak ada tindak lanjut dari pihak sekolah Selfie pun akhirnya memilih untuk berhenti dari sekolah itu. Meskipun awalnya orangtua (ibunya) mempertanyakan keputusannya itu, sebab lewat ibunya ia bisa mendapatkan pekerjaan tersebut.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

“Saya rahasiakan dari mama, saya tidak mau kasih tahu dia. Biar saya saja yang tahu,” kisah Selife.

Saat mengajukan pengunduran diri pihak kepala sekolah pun tidak mempertanyakan, ia hanya menitip pesan agar Selfie sesekali datang berkunjung ke sekolah untuk menjenguk para guru dan siswa.

“Saya tidak bisa menerima penghinaan ini, tapi saya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Jadi saya sabar saja,” Selfie mengelus dada.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

Selfie secara perlahan-lahan mencoba melupakan kenangan tersebut dengan menikmati pekerjaannya saat ini sebagai seorang barista di salah satu cafe di Kota Makassar yang pada umumnya merupakan disabilitas. Kini Selfie mengubur mimpi dan harapannya sebagai seorang guru.

Begitu banyak penyitas kekerasan bagi pekerja perempuan penyandang disabilitas yang memilih berlindung di balik kata “sabar”, hal ini karena akses mereka di dunia kerja masih sangat minim. Sementara ancaman kekerasan bagi mereka sangat nampak di depan mata.

Pada laporan Dinas Ketenagakerjaan Kota Makassar pun yang ditemukan hanya pada kasus hak kerja atau aksesibilitas. Sementara terkait kasus kekerasan baik fisik, psikis maupun pelecehan seksual di tempat kerja belum ditemukan. Artinya sejauh ini para tenaga kerja penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan, masih memilih bungkam.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

“Bisa jadi ada tenaga kerja disabilitas yang mengalami kekerasan tapi mereka tidak melapor sehingga kami tidak bisa menjangkau itu,” kata Tenaga Fungsional Pengantar Kerja Disnaker Makassar, Rizka Mahardika.

Sepanjang 2021 laporan pada isu ketenagakerjaan disabilitas sebanyak 5 hingga 6 kasus tetapi kasusnya hanya seputar hak dan akses mereka di tempat kerja.

“Sejauh ini perusahaan maupun instansi sudah banyak yang telah mempekerjakan disabilitas sesuai dengan regulasi yang ada. Tetapi pada kenyataannya di dunia kerja mereka masih banyak terjadi ketidakcocokan antara aturan perusahaan dan kemampuan disabilitas itu sendiri,” terangnya.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

Jika di Disnaker Makassar mengklaim tidak pernah menerima laporan kasus kekerasan di dunia kerja yang dialami tenaga kerja perempuan penyandang disabilitas. Lembaga  Bantuan Hukum (LBH) Makassar menujukkan adanya pendampingan pada kasus tersebut dalam periode 3 hingga 4 tahun terakhir. Pada catatan LBH Makassar sekitar dua laporan kasus kekerasan seksual terhadap pekerja perempuan disabilitas yang mereka dampingi. Salah satunya pada kasus Lusi (bukan nama sebenarnya) yang menjadi korban penculikan, penyekapan dan pemerkosaan oleh sopir angkot yang beraktivitas di wilayah tempatnya bekerja pada 2019 lalu.

Lusi merupakan penyandang disabilitas intelektual yang berkerja sebagai tenaga administrasi berstatus kontrak di sekolah luar biasa di Kota Makassar.

Lewat kuasa hukum Lusi, Fauziah Erwin menceritakan bahwa waktu itu ia dihubungi kerabatnya yang juga keluarga Lusi secara pribadi untuk dibantu dalam kasus dugaan penculikan dan penyekapan dengan korban penyandang disabilitas. Ia pun kemudian meminta untuk dihubungkan langsung dengan orangtua Lusi sebelum melakukan pengecekan kasus di Polerstabes Makassar.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

“Setelah berkomunikasi dengan ibu Lusi saya langsung mengecek ke Polrestabes Makassar dan dibenarkan bahwa memang ada kasus itu, tetapi awalnya hanya diduga kasus penculikan dan penyekapan. Tetapi setelah dilakukan visum hasilnya itu ternyata juga ada tindak kekerasan seksual,” terangnya.

Ia menceritakan, dalam proses penyelidikan disebutkan Lusi mengaku dirinya dibawa hingga malam hari oleh pelaku memutari Kota Makassar, dan pada malam hari Lusi kemudian dibawa ke salah satu wisma di sekitar pelabuhan Makassar dan disekap selama dua malam tiga hari. Selama penyekapan terjadi pemerkosaan lebih dari satu kali.

“Bahkan pada proses BAP yang dilakukan kami mencurigai ada sindikat penjualan orang atau human trafficking karena berdasarkan keterangan klien kami mereka sempat mendengar percakapan dibalik telepon yang membahas soal bandara dan mau dibawa pergi, apalagi saat itu sedang maraknya kasus human trafficking. Tetapi polisi tidak menyelidiki lebih dalam untuk keterangan klien kami yang ini,” jelasnya.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

Awalnya pelaku juga tidak mengakui bahwa dirinya melakukan aksi penculikan, penyekapan dan pemerkosaan dengan dalih suka sama suka. Tetapi melalui hasil visum yang dikeluarkan RS Bahayangkara Makassar membuktikan adanya tindakan pemerkosaan, termasuk pada hasil asesmen yang dilakukan antara penyitas dan psikolog, membuktikan ada trauma mendalam yang dialami sehingga sangat cukup dijadikan alat bukti untuk dilanjutkan ke meja hukum.

“Saat ini prosesnya sudah vonis, pelaku di hukum 7 tahun pidana, meskipun awalnya kami sempat keberatan dengan hasilnya,” ujarnya.

Dalam proses penyelesaian kasus ia menilai pihak sekolah tempat Lusi bekerja tidak terlalu mengambil peran. Seperti  saat melibatkan beberapa pegawai di sekolah untuk menjadi saksi, hampir semuanya menolak dengan alasan mereka takut dan akan menjadi pihak yang disalahkan. Sementara seharusnya pihak sekolah memiliki sistem pendukung yang luar biasa, bahkan pihak sekolah yang menerapkan sistem sekolah luar biasa harusnya lebih paham dan mengetahui apa yang menjadi kebutuhan seorang penyandang disabilitas dengan ragam kedisabilitisannya.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

“Waktu kami minta mereka memberikan kesaksian disetiap persidangan mereka takut, tetapi setelah saya memberikan pengertian bahwa mereka aman, mereka pun akhirnya mau memberikan seluruh keterangan yang dibutuhkan dalam proses persidangan,” jelas Fauziah.

Dirinya mengaku, pada proses penyelesaian kasus penyandang disabilitas berhadapan dengan hukum memakan waktu yang cukup lama dan panjang jika dibandingkan dengan non disabilitas, termasuk pada proses BAP.  Sehingga sebelum ingin memberikan pendampingan hukum kepada klien dengan kondisi penyandang disabilitas perlu memahami cara-cara berkomunikasi .

Belum lagi pada kondisi trauma penyitas kekerasan yang dialami penyandang disabilitas itu sangat berbeda dengan non disabilitas. Misalnya, untuk mengetahui adanya traumatik saja perlu menggunakan alat peraga sebab informasi yang sampai ke mereka itu sangat terbatas. Apalagi pada pengetahuan kekerasan seksual. Sehingga perlu diberikan pemahaman.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

“Butuh waktu yang sangat panjang untuk merekonstruksi peristiwa pada korban penyandang disabilitas terutama disabilitas tuli, intelektual dan mental. Bahkan tiga bulan pun kadang kita belum bisa membuat kronologi karena keterangan selalu berubah sesuai kondisi perasaan dan ingatannya,” terangnya.

Pasca kejadian itu pun orangtua Lusi kemudian memilih memberhentikan anaknya bekerja di sekolah tersebut. Ia pun kini sangat memberikan perlindungan ekstra kepada anaknya, seperti Lusi tidak lagi diberikan ruang untuk keluar rumah sendiri, dan saat keluar rumah Lusi harus didampingi.

“Informasi dari ibunya Lusi, kalau ia sekarang membuatkan usaha untuk Lusi yang dikelola bersama saudara perempuannya. Kondisi terakhinya katanya sehat,” sebut Nurfaizah.

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

Sebelum maraknya kasus kekerasan di tempat kerja yang dialami tenaga kerja perempuan, khususnya lagi perempuan penyandang disabilitas memang sudah saatnya publik membuka mata dan menaruh perhatian tentang perlunya panduan, petunjuk teknis atau regulasi yang memiliki payung hukum terkait keamanan dan keselamatan perempuan selama berkerja. Memastikan para pekerja terutama pekerja penyandang disabilitas di seluruh perusahaan maupun instansi dan lembaga itu aman dan selamat selama berada di lingkungan kerja. Hal ini penting untuk meyakini bahwa meskipun mereka seorang penyandang disabilitas, mereka perlu mendapatkan ruang aman dalam bekerja, apalagi tidak sedikit tenaga kerja penyandang disabilitas bisa memproteksi dirinya dari ancaman kekerasan dan pelecehan seksual.

“Perusahan, instansi maupun lembaga lainnya ketika berkomitmen merekrut tenaga kerja penyandang disabilitas menejemen harus membuat aturan bagaimana caranya pekerjanya bisa datang, dan pulang di tempat kerja dengan selamat,” tegas dia.

Pembuatan aturan itu menurut Nurfaizah perlu melibatkan seluruh pihak. Tak kalah penting adalah organisasi penyandang disabilitas, karena kebutuhan penyandang disabilitas dengan ragam kedisabilitasannya tentunya memerlukan perlakuan yang berbeda-beda pula. Sehingga sudah sangat tepat isu atau wacana Konvensi ILO 190 terkait pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual ditempat kerja ini masuk untuk dipertimbangkan .

Baca Juga : Bawa Misi Penyelamatan, Film TIMUR Garapan Iko Uwais Tayang 18 Desember 2025 di Bioskop

“Hanya saja saya masih mempertanyakan hal ini menjadi tanggungjawab siapa?, apakah Dinas Pendidikan, Kementrian Sosial, Dinas Ketenagakerjaan, atau lainnya. Cuma ini harus menjadi perkejaan bersama, karena  berat jika hanya dikerja sendiri,” tutup Nurfaizah.

Halaman
Penulis : Chaerani
Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646