0%
logo header
Selasa, 24 Oktober 2023 14:08

Dinilai Jadi Solusi Iklim Palsu, Perempuan Serukan Penolakan Geothermal di Indonesia

Chaerani
Editor : Chaerani
Aksi! for gender social and ecological Justice bersama Solidaritas Perempuan saat menggelar Dialog Komunitas pada Pertemuan Kedua Global TSF-Mining, di Kota Semarang, kemarin. (Dok. Aksi!)
Aksi! for gender social and ecological Justice bersama Solidaritas Perempuan saat menggelar Dialog Komunitas pada Pertemuan Kedua Global TSF-Mining, di Kota Semarang, kemarin. (Dok. Aksi!)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, SEMARANG — Aksi! for gender social and ecological Justice bersama Solidaritas Perempuan menginisiasi kegiatan Dialog Komunitas pada Pertemuan Kedua Global Thematic Social Forum on Mining and Extractive Economy (Global TSF-Mining), di Kota Semarang, Kamis, 19 Oktober 2023.

Dalam dialog ini membahas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PTLPB) atau dikenal dengan nama geothermal di Indonesia dengan diikuti 65 orang Indonesia maupun dari negara lainnya. Pada dialog ini pun menjadi ruang bagi para perempuan dalam berbagi pengalaman saat menghadapi salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi perubahan iklim, yaitu geothermal.

Perubahan iklim memang merupakan sebuah realitas yang dihadapi semua makhluk hidup. Kejadian bencana iklim makin marak dialami, salah satunya di Indonesia dengan berbagai bencana, seperti angin puting-beliung, hujan lebat, banjir, tanah longsor, panas ekstrem, perubahan cuaca tidak terduga, serta kenaikan permukaan air laut yang menenggelamkan banyak wilayah pesisir.

Baca Juga : Pastikan Tepat Sasaran, Tamsil Linrung Inisiasi Posko Pengaduan Program Strategis Presiden di Sulsel

Namun, dampak perubahan iklim terhadap masyarakat, dan terutama perempuan yang menanggung beban terberat, tidak hanya saat terjadi bencana iklim. Hadir persoalan lain. Solusi untuk mengatasi perubahan iklim yang ditawarkan dan diterapkan, justru membawa persoalan baru yang makin memperburuk situasi mereka yang sudah terkena beban perubahan dan krisis iklim.

Hal ini berakar pada kesepakatan internasional bahwa solusi perubahan iklim itu perlu mengarah kepada kepentingan pasar dengan melakukan investasi ke sumber-sumber energi karbon rendah. Akibatnya, masuk secara masif banyak mega proyek energi seperti pembangkit listrik tenaga air, PTLPB atau geothermal, pembangkit listrik tenaga surya dan angin, bahan bakar nabati (sawit, antara lain). Yang dimaksud orientasi pasar ternyata adalah kepentingan ekspor industri teknologi dan mesin dari negara industri maju ke Indonesia dan negara berkembang lainnya.

Solidaritas Perempuan Flobamoratas Nusa Tenggara Timur Linda Tagi mengungkapkan, perlawanan masyarakat di 17 desa akibat kerusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian akibat operasi PT. Ulumbu di Poco Leok ditindas secara brutal oleh aparat militer. Termasuk didalamnya adanya tindakan kekerasan seksual. Operasi PT Ulumbu sejak 2018 ini dibiayai oleh lembaga keuangan Jerman ‘Kreditanstalt fuer Wiederaufbau (KfW).

Baca Juga : Angkat Ikon Geopark di Bandara Hasanuddin, Gubernur Sulsel: Gerbang Awal Promosi Pariwisata Sulsel

Sementara itu, geothermal yang didanai Asian Development Bank dan mulai beroperasi sejak 2002 lalu pernah mengalami kecelakaan, mengeluarkan semburan panas lumpur, merusak 1,579 rumah di 11 desa, dan mencemari sungai yang merupakan sumber mata air masyarakat setempat. Banyak penduduk desa harus meninggalkan rumah dan tanahnya.

“Geothermal adalah eksploitasi perempuan, masyarakat adat, tradisi, budaya dan ekosistem, melahirkan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan”, tegasnya saat membagikan pengalaman di sela-sela dialog.

Selain itu, Kepulauan Flores di Provinsi Nusa Tenggara Timur ditetapkan oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai Pulau Panas Bumi (Geothermal Island) pada 2017 dengan menetapkan 27 lokasi geothermal.

Baca Juga : Resmi Disetujui, Pemkot dan DPRD Makassar Perkuat Regulasi Kearsipan, Pesantren dan Tata Kelola Keuangan

“Tentunya sudah bisa kita bayangkan bahwa pulau-pulau kecil yang indah tersebut akan mengalami kehancuran dengan dijadikannya lokasi geothermal,” tegas Linda Tagi.

Seorang perempuan pejuang lingkungan dari kaki Gunung Slamet Nurlaela menceritakan, tujuh tahun lalu berlangsung pencemaran lumpur di sungai, mata air dan irigasi di kaki Gunung Slamet di Jawa Tengah. Hal ini akibat kegiatan pembangunan infrastruktur dan eksplorasi geothermal di lerengnya.

Pada pencemaran yang terjadi menghancurkan tambak-tambak ikan milik warga, juga industri rumahan tahu yang menjadi andalan wilayah tersebut. Hal ini tentunya menyebabkan perempuan harus berjalan kaki lebih jauh mencari air bersih dan memikul tempat air melalui jalan tanjakan dan licin.

Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional

“Saat ini dampak pencemaran lumpur tersebut masih tetap dirasakan. Debit air sungai menurun drastis, produsen rumahan tahu yang mampu bertahan, harus mengeluarkan biaya produksi lebih banyak untuk membeli air bersih, tambak-tambak rumahan yang hancur akibat lumpur, tidak bisa pulih,” kisahnya.

Akibat kondisi tersebut lanjut Nurlaela, tentunya berdampak makin banyak perempuan yang terlilit utang rentenir karena butuh biaya kebutuhan sehari-hari.

“Mereka sering mengalami kekerasan seksual untuk membayar utangnya. Hidup kami sebenarnya akan lebih baik tanpa geothermal,” katanya.

Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional

Menurut Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat ( KSPPM) Leorana Sihotang, persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama perempuan, tidak saja saat geothermal dalam tahap eksplorasi dan eksploitasi, tetapi di tingkat desain dan perencanaan pun sudah bermasalah. Salah satu contoh adalah rencana pengembangan geothermal yang dideklarasikan pemerintah pada 2012 lalu di Pulau Samosir, Danau Toba.

Dimana diketahui Pulau Samosir ini merupakan wilayah adat yang dihuni secara turun-temurun dengan kawasan pertanian dan peternakan yang merupakan sumber kehidupan masyarakat. Tidak ada informasi yang jelas kepada masyarakat Pulau Samosir mengenai rencana proyek. Hal ini jelas melanggar ketentuan nasional dan internasional tentang free, prior and informed consent (persetujuan yang diberikan dengan informasi yang disediakan sebelumnya dan dilakukan tanpa paksaan/kekerasan), yang berlaku untuk intervensi proyek ke wilayah masyarakat adat.

“Proyek geothermal tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat adat, termasuk para perempuan adat. Kita harus menolak proyek tersebut yang telah menyingkirkan hak masyarakat adat dan suara perempuan.” terangnya.

Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional

Contoh lain diungkapkan Solidaritas Perempuan Sebay Lampung Aulia Utami. Katanya, pada rencana geothermal di Rajabasa, Provinsi Lampung yang dikembangkan sejak 2013 oleh PT. Supreme Energy (PT. SERB) bersama perusahaan Perancis (GdF Suez atau Engie) yang lalu mundur digantikan perusahaan energi Jepang bernama INPEX Corporation, anak perusahaan Fortune 500, dan Sumitomo Corporation.

Masyarakat setempat menolak rencana eksplorasi geothermal di dalam hutan lindung yang memiliki nilai budaya dan ikatan yang kuat dengan mereka, selain akan kehilangan ruang berlindung dari bencana tsunami. Tidak ada informasi yang utuh disediakan untuk masyarakat dan tidak ada konsultasi maupun permintaan persetujuan terhadap masyarakat termasuk kepada perempuan.

“Pengembangan proyek geothermal berorientasi pada kepentingan bisnis, hanya menyengsarakan kehidupan masyarakat khususnya perempuan,” ujarnya.

Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional

Perkumpulan Suara Perempuan, Musdalifah Jamal juga mengungkapkan contoh lainnya. Ia mengatakan, sangat kurangnya informasi mengenai geothermal yang bahkan dilakukan oleh Bank Dunia yang menjadi penyalur dana dari Green Climate Fund (GCF) untuk proyek geothermal di Indonesia. Pada Oktober 2018, GCF menyetujui pendanaan USD 100 juta ke Bank Dunia untuk membiayai kegiatan eksplorasi geothermal di 20 lokasi di Indonesia.

“Namun, 5 tahun sejak proyek tersebut disetujui, hanya ada satu titik merah yang mengindikasikan lokasi proyek pada website Bank Dunia, yakni di Kabupaten Bone. Tidak ada informasi lain. Situasi ini menunjukkan tidak adanya keterbukaan informasi publik mengenai pengembangan geothermal. Bayangkan, apa yang akan juga terjadi di 14 lokasi potensi geothermal yang telah ditetapkan pemerintah untuk Sulawesi Selatan,” kata Musdalifah.

Di tempat yang sama, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Armayanti Sanusi mengatakan, geothermal adalah wujud paradigma pembangunan yang eksploitatif dalam cengkeraman jalinan kuasa patriarki, globalisasi lewat politik neo-liberal, militerisme dan fundamentalisme negara untuk memfasilitasi kepentingan investasi.

Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional

Eksploitasi sumber daya alam untuk pengembangan geothermal yang memicu konflik tanah dan pencemaran lingkungan telah dan akan terus memiskinkan perempuan, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya. Misalnya, pengembangan geothermal di Gunung Rajabasa, Provinsi Lampung dan Nusa Tenggara Timur serta wilayah lainnya. Kondisi ini tentunya telah mengabaikan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang merupakan perjanjian internasional yang mengikat dan Indonesia telah meratifikasinya, bahwa negara bertanggung jawab untuk menghapuskan diskriminasi yang dilakukan oleh individu dan organisasi swasta.

“Juga mengabaikan Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 mengenai pengarusutamaan gender dalam seluruh tahapan pembangunan di Indonesia dengan ketentuan adanya analisis gender dan keterlibatan pandangan perempuan,” akunya.

Aksi for gender social and ecological justice Risma Umar menilai, dari dialog komunitas tersebut memberi pembelajaran bahwa transisi menuju sumber energi dan ekonomi rendah karbon, bukan berarti membangun mega proyek yang diklaim sebagai rendah karbon, bersih dan berkelanjutan. Transformasi atau peralihan dari model ekonomi ekstraktif dalam cengkeraman jalinan kuasa patriarki, globalisasi, militerisme dan fundamentalisme, menuju ekonomi regeneratif, rendah karbon dan berkelanjutan, harus dengan mengganti model ekonomi tidak adil yang berlaku sekarang.

Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional

Proses transformasi harus mengedepankan kelestarian sumber kehidupan, menghormati Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan, melibatkan masyarakat lokal, khususnya perempuan dalam pengambilan keputusan memenuhi kebutuhan mereka termasuk kebutuhan energi.

“Dialog ini menggambarkan bahwa geothermal bukan energi bersih dan bukan solusi untuk mengatasi krisis iklim karena menghancurkan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan perempuan, demikian juga melegalkan kekerasan negara bahkan kekerasan seksual terutama terhadap perempuan komunitas yang menentang proyek geothermal. Perubahan dan krisis iklim, demikian juga solusi iklim kini merupakan ancaman terbesar kepada hak asasi manusia dan hak-hak perempuan,” kata Risma.

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646