REPUBLIKNEWS.CO.ID, KUALA LUMPUR – Kearifan lokal masyarakat Bugis kembali mendapat sorotan dalam kegiatan internasional. Ini terlihat saat dosen Universitas Muslim Indonesia (UMI) berkunjung ke Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (ITBM), Wisma ITBM, Wangsa Maju, Kuala Lumpur, beberapa waktu lalu.
Kegiatan ini merupakan bagian dari Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) yang bertujuan untuk membangun pemahaman tentang tradisi Bugis di Negeri Jiran. PKM tersebut mengangkat topik bertajuk ‘Pemaknaan Nilai dan Karakter Luhur Manusia Bugis’ berdasarkan pemaknaan dan perspektif mahakarya Raja Ali Haji melalui Kitab Tuhfat al-Nafis (transliterasi Andi Ima Kesuma dan Taufik Ahmad) terbitan Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (ITBM).
Dalam pemaparannya, Ketua Tim PKM ini, Prof Dr Ir Muh Hattah Fattah bersama anggota Tim Pengabdi masing-masing Dr Ir Siti Rahbiah, Ramdan Satra dan Dr Fatmah Afrianty Gobel menjelaskan bahwa masyarakat Bugis memiliki identitas kuat yang adaptif tanpa kehilangan jati diri.
Baca Juga : Angkat Ikon Geopark di Bandara Hasanuddin, Gubernur Sulsel: Gerbang Awal Promosi Pariwisata Sulsel
Filosofi perantauan “Kegisi monro sore’lopie situ tombollabu sengereng” menjadi simbol semangat hidup orang Bugis yang berarti di mana pun perahu berlabuh, di situlah kehidupan ditegakkan.
“Orang Bugis merantau bukan untuk meninggalkan asal, tetapi untuk menemukan ketenteraman jiwa (ininnawa) dan kemerdekaan hidup dengan tetap membawa nilai leluhur,” jelas Hattah.
Lebih lanjut, ia menegaskan dua nilai utama dalam kebudayaan Bugis, yakni siri’ (harga diri) dan pesse (solidaritas). Keduanya menjadi landasan dalam membangun hubungan sosial yang beradab dan berkeadilan.
Baca Juga : Resmi Disetujui, Pemkot dan DPRD Makassar Perkuat Regulasi Kearsipan, Pesantren dan Tata Kelola Keuangan
“Siri’ mengajarkan kita menjaga kehormatan, sementara pesse menumbuhkan empati dan rasa kebersamaan. Dua nilai ini menjadi fondasi masyarakat Bugis yang tidak rela kehilangan martabat, meski nyawa taruhannya,” ujarnya.
Nilai tersebut berpadu dalam sistem Pangngadereng, yang mencakup ade’ (adat), bicara (hukum), wari (status sosial), dan sara’ (syariat Islam). Hattah menilai sistem ini merupakan bentuk awal tatanan sosial yang menyeimbangkan agama, hukum, dan budaya lokal.
Dalam konteks kepemimpinan, Hattah memaparkan enam prinsip utama yang menjadi pedoman para raja dan bangsawan Bugis, yakni lempu (jujur), acca (cerdas), getteng (tegas), reso (kerja keras), assitinajang (patut), dan tenri atta (mawas diri).
Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional
Prinsip tersebut tidak hanya membentuk sosok pemimpin tangguh, tetapi juga menegaskan tanggung jawab moral seorang pemimpin yang selalu berada di garis depan dalam situasi sulit.
Kearifan politik Bugis juga tercermin dalam konsep ‘Tellu Cappa’ atau diplomasi tiga ujung, yang meliputi komunikasi, kekerabatan, dan kekuatan militer sebagai pilihan terakhir. Melalui konsep ini, orang Bugis dikenal mengutamakan dialog dan silaturahmi dalam penyelesaian konflik.
Hattah Fattah juga menyoroti sistem demokrasi Bugis yang telah eksis jauh sebelum konsep Social Contract Rousseau diperkenalkan di Eropa.
Raja Bugis, We Tenrirawe, pada abad ke-16 sudah mempraktikkan bentuk demokrasi partisipatif, di mana raja tidak bisa bertindak sewenang-wenang tanpa musyawarah rakyat.
Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal
“Demokrasi Bugis bukan sekuler, melainkan berbasis Islam dan nilai moral. Raja bertanggung jawab kepada Allah dan rakyatnya,” tegas Hattah.
Kegiatan ini ditutup dengan refleksi bahwa nilai-nilai siri’ na pesse dan lempu’ memiliki relevansi kuat dalam membangun kepemimpinan modern yang berintegritas.
Warisan budaya Bugis tidak hanya berpengaruh di Sulawesi, tetapi juga meninggalkan jejak penting di kawasan Johor-Riau melalui kepemimpinan Opu Daeng Bersaudara yang membawa masa kejayaan politik dan ekonomi pada abad ke-18.
Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal
“Warisan ini membuktikan bahwa budaya Bugis mampu beradaptasi tanpa kehilangan nilai. Ini menjadi pelajaran penting bagi generasi masa kini dalam membangun karakter dan kepemimpinan yang bermartabat,” tutupnya.
Sementara itu, pihak ITBM Malaysia menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya atas pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat (PKM) Internasional dalam bentuk berbagi ilmu yang telah dilaksanakan di ITBM pada 24 Oktober 2025.
Apresiasi ini diungkapkan langsung melalui surat resmi dari ITBM Malaysia untuk UMI tertanggal 3 November 2025 oleh Sakri Bin Abdullah selaku Ketua Pegawai Eksekutif ITBM Malaysia.
Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal
“Perkongsian ilmu tersebut melibatkan dua topik yaitu Aksara Lontara dan Komunikasi Bugis yang telah disampaikan oleh YBhg Prof Dr Muhammad Yunus dan Pemaknaan Nilai dan Karakter Luhur Manusia Bugis yang telah disampaikan oleh YBhg Prof Dr Ir Muhammad Hattah Fattah,” tulisnya.
Pihak ITBM juga sangat menghargai kontribusi dan komitmen yang telah diberikan oleh Yayasan Wakaf UMI dalam kegiatan tersebut.
Hasil dari pertemuan ini, UMI, ITBM, dan MAPIM (Majelis Penerbitan Ilmiah Malaysia) rencananya akan menggelar sejumlah program strategis. Kegiatan itu dilakukan dalam rangka memajukan Penerbitan Ilmiah dan Peningkatan luaran ilmiah perguruan tinggi di Indonesia dan Malaysia.
Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal
Wakil Rektor V UMI, Prof Dr Ir Muh Hattah Fattah, mengungkapkan bahwa setidaknya ada tiga program yang dijadwalkan berlangsung pada bulan Mei 2026 sebagai rangkaian peringatan Hari Pendidikan Nasional.
“Ketiga program itu adalah rencana penyelenggaraan Musyawarah Internasional Penerbitan Ilmiah, Konfrensi Internasional bertajuk ‘Interelasi Bugi-Makassar, Melayu, dan Islam pada Tatanan Global, serta Pameran Buku (Book Fair) Internasional di Kampus UMI,” demikian Prof Hattah. (*)
