REPUBLIKNEWS.CO.ID – Saya yakin, bukan hanya saya penonton yang meneteskan air mata ketika laga final Bulutangkis ganda putri Olimpiade Tokyo 2020 ditutup dengan kemenangan pasangan ganda putri Indonesia Greysia Polii/ Apriyani Rahayu atas lawannya pasangan ganda putri China Chen Qing Chen/ Jia Yi Fan. Banyak di antara kita begitu terharu dan bangga dengan kemenangan ini sebagai pertanda masih adanya rasa dan semangat nasionalisme kita.
Untung saja sang komentator olahraga, Bung Valentino Simanjuntak sedikit membuat saya tertawa dengan komentarnya yang khas dan lucu. Jadinya wajah terseduh-seduh dengan mata berkaca-kaca akibat terharu bisa tersamarkan.
Sekalipun kemenangan itu tidak ditutup dengan smash keras Apryani Rahayu. Ataupun tidak ditutup dengan dropshot terukur dari Greysia Polii. Setidaknya teriakan menggelegar Apriyani Rahayu cukup menciutkan nyali lawan. Juga atraksi ganti raket Greysia Polii di tengah shuttlecock masih melayang di udara, cukup mengganggu konsentrasi lawan.
Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe
Sebuah pertandingan yang mendebarkan dan penuh perjuangan. Semangat dan keberanian menyatu dengan skill dan teknik permainan memukau yang mereka tunjukkan. Tak terlihat sedikitpun nyali mereka menciut ketika berhadapan dengan lawan mereka dari negara raksasa, China. Berbanding terbalik dengan bidang lain semisal industri pertambangan di Indonesia yang masih banyak dikuasai investor dan TKA asal China. Kalau soal yang satu ini beda bahasannya. Nanti di lain waktu, tempat dan kesempatan.
Kembali ke topik bahasan tentang Greysia Polii dan Apriyani Rahayu. Mereka adalah dua anak Sulawesi. Greysia Polii berdarah Minahasa Sulawesi Utara. Sementara Apriyani Rahayu berasal dari Konawe Sulawesi Tenggara. Selama melakoni pertandingan dari fase group hingga pertandingan final, mereka berdua menunjukkan karakter anak-anak Sulawesi seperti yang digambarkan seorang penyair La Ode Balawa dalam kutipan puisinya yang berjudul “Anak Sulawesi”.
Anak Sulawesi
Anak-anak pulau karang yang pantang larang
Pelaut-pelaut ulung yang tak takut maut
Sebelum nyawa menembus badai
Tulang merangkul karang
Baca Juga : Dari Survei Kepuasan Responden, OJK Sulselbar Perkuat Implementasi Tugas dan Fungsi
Dari timur negeri matahari terbit
Kalian layarkan perahu Lambo dan pinisi nusantara
Kalian kibarkan panji-panji siri demi harga diri
Karena malu hanya pantas dibayar nyawa
Aib harus dicuci dengan darah
Anak Sulawesi
Anak-anak laut yang tak takut maut
Pelayar-pelayar sejati yang tak takut mati
Karena badai hanyalah permainan cuaca
Di batas kesetiaan arus pada lautan
Mereka mengangkat dan mengayunkan raket untuk menyerang ibarat mengangkat dan mengatur layar perahu Lambo dan kapal Pinisi Nusantara di tengah samudera. Mereka sigap untuk bertahan dari serangan-serangan balasan ibarat batu karang yang kokoh diterjang gelombang lautan. Mereka jaga harga diri. Mereka tidak mau malu. Mereka balas cucuran keringat dengan prestasi. Meraih medali emas yang mereka persembahkan untuk negeri. Mereka berdua anak Sulawesi di puncak prestasi.
Baca Juga : Inspiring Srikandi, PLN UIP Sulawesi Dorong Pelaku Usaha Perempuan Single Parent Makin Berdaya
Dalam beberapa hari ke depan ini, bahkan dalam beberapa minggu ke depan ini, dua anak Sulawesi ini masih akan menjadi bahasan utama di publik. Mereka akan menjadi primadona baru masyarakat Indonesia. Apresiasi dan sanjungan bahkan bonus akan membanjiri mereka berdua. Mengingat, untuk pertama kalinya semenjak mengikuti Olimpiade tahun 1952, Indonesia mampu meraih medali emas cabang Bulutangkis ganda putri. Dari tangan dua anak bangsa dari Timur Indonesia ini lah, negara kita kembali bersinar di ajang kompetisi olahraga terbesar di planet bumi, Olimpiade, khususnya di cabang Bulutangkis. Maka benarlah, bahwa matahari itu terbit dari timur.
Di tengah euforia kemenangan dan prestasi ini. Juga banyaknya apresiasi dan sanjungan serta bonus membanjiri. Saya bergumam dalam hati: “apakah negara akan tetap memberi perhatian kepada mereka pasca di puncak prestasi ini, di hari tua nanti? Atau mereka akan terabaikan?” Entahlah. (*)
*Penulis: Falihin Barakati (email: falihinb9@gmail.com)