REPUBLIKNEWS.CO.ID, Kendari – Dua Buku tentang sejarah serta filosofi pemerintahan Kesultanan Buton telah dilauncing oleh Pemprov Sultra.
Adapun judul buku yang dilaunching yaitu pertama “Nilai-nilai Pendidikan Karakter Anti Korupsi Dalam Kearifan Buton” yang ditulis oleh Ld. Abdul Munafi, Andi Tenri, Hasaruddin dan Munawir Mansur, kedua ” Mekanisme Adat Pengangkatan Sultan Buton Dan Peran Lembaga Adat Kesultanan Buton Dalam Pembangunan Daerah Di Sulawesi Tenggara” yang ditulis oleh Haeruddin, La Ode Muh. Nasrun Saafi, Rustam Awat dan Imran Kuddus.
Saat ditemui awak media, Ketua tim penulis buku “Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Anti Korupsi Dalam Kearifan Buton” La Ode Abdul Munafi mengatakan, dalam khazanah kebudayaan Buton terdapat nilai-nilai yang menjadi antitesis dalam penelitian buku tersebut.
“Dalam kebudayaan Buton itu juga ternyata terdapat nilai pendidikan karakter anti korupsi. Inilah yang dituangkan dalam buku ini,” katanya, pasca kegiatan launcing buku, Senin (14/12/2020).
Lanjutnya, buku tersebut ditulis dengan tujuan untuk mempekernalkan nilai-nilai karakter dalam sistem pemerintahan Buton.
“Harapannya nilai-nilai tersebut bisa menjadi instrumen dalam pembentukkan karakter anak-anak bangsa dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.
Di tempat yang sama, Ketua tim penulis buku “Mekanisme Adat Pengangkatan Sultan Buton Dan Peran Lembaga Adat Kesultanan Buton Dalam Pembangunan Daerah Di Sulawesi Tenggara” Imran Kuddus menjelaskan, buku tersebut bertujuan untuk mempekenalkan warisan kesultanan Buton kepada seluruh masyarakat Sultra.
“Bahwa di beberapa abad yang lalu, di Buton itu pernah terdapat proses pemilihan pemimpin yang sangat kompleks. Dimana pemimpin itu dipilih dengan tahapan yang sangat panjang,” ujarnya.
“Sultan itu dipilih dari kecil, dilihat track recordnya, kemudian dilihat jasanya kepada kesultanan. Setelah itu ada mekanisme sakral yang disebut dengan faali, yakni meminta petunjuk dari yang Maha Kuasa, salah satunya dengan shalat hajat atau shalat istighara,” terangnya.
Imran Kudus juga mengatakan, di dalam buku yang ia tulis, menjelaskan Sultan Buton dalam kedudukannya sebagai pemimpin tidak memiliki kekuasaan yang absolut. Ia menguraikan, Sultan Buton jika melakukan pelanggaran tetap diberi sanksi sesuai pelanggarannya.
“Sultan itu bisa diturunkan dari jabatannya, bisa diberi sanksi bahkan bisa dihukum mati jika melakukan pelanggaran,” ulasnya.
Ia berharap, melalui buku tersebut, masyarakat Sultra dapat mengenali warisan tradisi di Buton dan bisa memberikan sumbangsih terhadap bangsa dan negara.
“Kekayaan budaya kita adalah sebuah kekayaan yang tidak pernah habis dan menjadi sesuatu yang harus terus menerus kita kembangkan,” pungkasnya. (Akbar Tanjung)
Regional 10 Oktober 2025 17:59