REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai, di tengah ketidakpastian ekonomi global tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan sektor jasa keuangan. Dimana, kondisinya secara nasional masih mampu bertahan dengan melihat beberapa indikator pendukung.
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar mengungkapkan, stabilitas Sektor Jasa Keuangan (SJK) tetap terjaga, di tengah meningkatnya dinamika perekonomian global. Hal ini dapat dilihat mulai pada kondisi inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) nasional pada Maret 2025 yang masih terjaga sebesar 1,03 persen secara tahunan atau year on year (yoy).
Begitu pun pada inflasi inti di Februari 2025 yang cukup terkendali sebesar 2,48 persen yoy yang menunjukkan permintaan domestik masih cukup baik.
Baca Juga : Dari Aduan Warga hingga Layanan Online Terpadu, Wamendagri Akui Digitalisasi Makassar yang Terbaik
“Hanya saja memang perlu dicermati beberapa indikator permintaan yang termoderasi,” ungkapnya, pada Rapat Dewan Komisioner (RDK) Bulanan OJK, secara virtual, Jumat, (11/04/2025).
Lanjutnya, pada kinerja perekonomian nasional juga masih solid sejalan dengan hasil tinjauan berkala Moody’s Investors Service (Moodys) yang menegaskan bahwa peringkat kredit Indonesia di level Baa2 dengan outlook stabil. Selain itu, Fitch juga mempertahankan rating Indonesia di level BBB dengan outlook stabil.
“Hal tersebut merepresentasikan keyakinan global terhadap fundamental ekonomi Indonesia dan kebijakan yang diambil mampu menjaga ketahanan sektor keuangan di tengah ketidakpastian global,” terangnya.
Baca Juga : Hasil Lengkap CostuMAXI 2025: XMAX, NMAX, Aerox dan Lexi Punya Raja Modifikasi Baru
Saat ini, rating Indonesia dan posisi indikator kerentanan eksternal yang biasa digunakan menilai daya tahan perekonomian dan pasar keuangan relatif baik dibandingkan peer countries, tercermin baik dari sisi defisit fiskal. Dimana Indonesia sebesar 2,29 persen, Turki 5,21persen, dan India 7,8 persen, kemudian external debt to GDP yakni Indonesia dengan capaian 30,42 persen, Turki 43,9 persen, dan India 19,3 persen.
Adapun current account balance to GDP yakni, Indonesia sebesar -0,63 persen, Turki -2,2 persen, dan India -1,1 persen.
Lanjut Mahendra, kondisi perekonomian global cenderung divergent seiring rilis data perekonomian AS yang di bawah ekspektasi, sementara untuk Eropa dan Tiongkok di atas ekspektasi. Volatilitas pasar tetap tinggi seiring ketidakpastian kebijakan ekonomi serta risiko geopolitik yang cenderung meningkat.
Baca Juga : Tekankan Integritas dan Loyalitas, Wawali Makassar Buka Kegiatan Retret Lurah di Malino
Proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun 2025 direvisi ke bawah oleh OECD, dengan PDB global diproyeksikan menjadi 3,1 persen pada 2025 dan 3 persen pada 2026 akibat meningkatnya hambatan perdagangan dan ketidakpastian kebijakan. OECD juga merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,9 persen di 2025, namun penurunan tersebut masih sejalan dengan peer countries.
Sementara itu, PDB Amerika Serikat (AS) pada triwulan IV tercatat sebesar 2,4 persen qoq, namun pada triwulan I PDB AS diprediksi Fed GDPNow akan terkontraksi. Data aktivitas ekonomi cenderung melambat dengan tingkat pengangguran naik ke 4,2 persen. Di sisi lain, The Fed tetap mempertahankan tingkat suku bunganya dan akan memangkas Fed Fund Rate (FFR) hanya 1 hingga 2 kali di tahun 2025.
Di Tiongkok, pemerintah meluncurkan stimulus untuk mendorong konsumsi. Seiring dengan hal tersebut, sisi demand menunjukkan indikasi perbaikan permintaan seperti peningkatan pada penjualan ritel, penjualan kendaraan, dan harga rumah baru yang mulai meningkat meskipun masih berada di zona kontraksi.