0%
logo header
Jumat, 12 Februari 2021 22:26

Gus Dur dan Imlek

Mulyadi Ma'ruf
Editor : Mulyadi Ma'ruf
Gus Dur. Foto: istimewa
Gus Dur. Foto: istimewa

Oleh: Falihin Barakati

REPUBLIKNEWS.CO.ID – Ketika bangun pagi, seperti biasa saya membuka gawai, memantau media sosial dari akun Facebook, WhatsApp hingga Instagram. Beranda saya diramaikan ucapan selamat Tahun Baru Imlek, lengkap dengan berbagai latar dari lampion-lampion, klenteng, hingga simbol kerbau. Semua nuansa merah dan begitu meriah. Oh iya, ternyata hari ini, 12 Februari 2021 bertepatan dengan perayaan Tahun Baru Imlek 2572 (Tahun Baru Cina) yang dalam penanggalan Cina masuk tahun Kerbau Logam.

Dalam tulisan ini, saya tidak ingin membahas apa arti shio Kerbau Logam. Bagaimana karir anda di tahun ini berdasarkan zodiak, dipenuhi keberuntungan atau malah banyak kesialan? Bagaimana cinta dan jodoh anda, apakah akan diselimuti kemesraan atau malah banyak pertengkaran? Bukan sama sekali tentang itu. Karena saya bukan peramal atau ahli feng shui. Lalu tentang apa? Tentu tentang Gus Dur dan Imlek seperti judul dalam tulisan ini. Bukan tentang aku, kau dan dia seperti judul lagu Kangen Band.

Baca Juga : PLN UIP Sulawesi dan Polda Sulsel Komitmen Jaga Infrastruktur Ketenagalistrikan Berkelanjutan

Melihat perayaan Imlek di Indonesia, saya teringat dengan Gus Dur. Saya yakin bukan hanya saya yang mengingat Gus Dur diperayaan Imlek, tapi banyak orang khususnya warga etnis Thionhoa. Mengapa? Karena ada Gus Dur dibalik perayaan tahun baru Cina secara terbuka di Indonesia.

Dalam sejarahnya, perayaan tahun baru Imlek di Indonesia mulai dilarang dilakukan secara terbuka di umum pada tahun 1967 diawal Presiden Soeharto berkuasa. Melalui Inpres No.14 tahun 1967 tentang larangan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina, pemerintahan Presiden Soeharto resmi melarang perayaan tahun baru imlek di publik. Bukan hanya menyangkut perayaan Imlek saja, tetapi juga aktivitas ibadah dan adat istiadat lainnya bahkan semua yang berbau Cina dilarang ditampilkan secara umum di depan publik. Aktivitas perayaan seperti itu, hanya bisa dilakukan di tengah internal keluarga saja.

Selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, warga etnis Thionghoa hidup di tengah-tengah diskriminasi oleh pemerintah yang juga menyebabkan publik secara umum ikut-ikutan mendiskriminasi warga etnis Thionghoa. Ini menjadi salah satu catatan sejarah bahwa pemerintah Indonesia pernah melakukan tindakan diskriminatif terhadap warganya yang beretnis Thionghoa.

Baca Juga : Terima Penghargaan KIP, Pemkab Gowa Ciptakan Keterbukaan Pelayanan Informasi Publik

Selama kurang lebih 32 tahun hidup di tengah-tengah diskriminasi, etnis Thionghoa mulai terbebas dari diskriminasi itu ketika jatuhnya kekuasaan Presiden Soeharto melalui peristiwa Reformasi 1998. Ia lah Presiden KH. Abudur Rahman Wahid atau yang biasa disapa Gus Dur yang merupakan Presiden yang sebelumnya menggantikan Presiden BJ. Habibie pasca Pemilu 1999. Lewat tangan Gus Dur, Inpres No.40 tahun 1967 tentang larangan agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina dicabut melalui Inpres No.6 tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.40 tahun 1967. Disaat itu lah warga etnis Thionghoa mulai melakukan perayaan tahun baru Imlek secara terbuka di muka umum dan menjadi awal diakuinya agama Konghucu sebagai salah satu agama di Indonesia. Kemudian ditahun 2001, melalui Keppres No.19 tahun 2001 Gus Dur menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur fakultatif (libur nasional bagi mereka yang merayakan). Besarnya kontribusi Gus Dur bagi warga etnis Tionghoa ini, membuatnya dinobatkan sebagai Bapak Tionghoa.

Apa yang dilakukan Gus Dur ini semata-mata karena tingginya komitmen kemanusiaan dan kebangsaannya. Dengan berani, ia mendobrak kebijakan Orde Baru yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Dalam keputusan ini, Gus Dur lebih mengedepankan sisi kemanusiaan (humanisme) tanpa melihat perbedaan etnis, suku, ras ataupun agama. Seperti apa yang ditulis Ali Maskur Musa dalam bukunya Pemikiran dan Sikap Politik Gus Dur, bahwa apa yang diperjuangkan Gus Dur adalah nilai-nilai kemanusiaan tanpa memandang unsur-unsur primodial. Gus Dur sangat sadar bahwa humanisme yang masih dibatasi oleh sekat-sekat primodialisme hanya akan menjadi ancaman bagi objektifitas perjuangan atas nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri.

Selain soal kemanusiaan, Gus Dur juga sadar akan realitas kebangsaan Indonesia yang plural. Dalam soal ini, komitmen pluralisme Gus Dur tidak diragukan lagi di tengah pluralitas atau heterogenitas masyarakat Indonesia. Masih kata Ali Maskur Musa, bagi Gus Dur heterogenitas adalah kenyataan bangsa Indonesia yang melekat pada eksistensi manusia dan masyarakat. Wacana dan perilaku politik dalam suatu negara harus menjadi medan untuk menyerap heterogenitas politik rakyat. Karena itu sektarianisme dan penyekatan politik atas nama agama dan etnis tertentu ditolaknya.

Baca Juga : Indosat Berbagi Kasih: Anak-anak Nikmati Kehangatan dan Sukacita Natal

Gus Dur dalam menyikapi pluralitas, heterogenitas, kemajemukan ataupun keberagaman bangsa Indonesia dengan menggunakan pendekatan humanisme yang universal. Maka dengan itu ia begitu berani dan konsekuen mengambil keputusan membebaskan warga etnis Tionghoa sebagai etnis minoritas di Indonesia untuk merayakan Tahun Baru Imlek secara terbuka di depan umum. Menjadi benar apa yang dikatakan Hanif Dakhiri dalam bukunya 41 Warisan Kebebasan Gus Dur, bahwa dalam hal menyikapi pluralitas, Gus Dur ternyata lebih maju beberapa langkah daripada tokoh agama dan intelektual muslim yang lain. Karena itu tidak heran jika ia mendapat gelar sebagai Bapak Pluralisme dan Pembela Toleransi oleh bangsa dan negara.  

Itu lah Gus Dur dan perannya dalam perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia. Maka setiap perayaan Tahun Baru Imlek, publik akan selalu teringat dengan Gus Dur. Gus Dur mengajarkan kita untuk melek. Melek terhadap kemajemukan dan keberagaman bangsa Indonesia sebagai suatu realitas yang harus diterima dengan sikap humanisme. Saling menghargai, menghormati dan toleransi di tengah segala perbedaan baik etnis, suku, ras maupun agama. Seperti apa kata Gus Dur: “Tidak boleh ada pembedaan kepada setiap warga negara Indonesia berdasarkan agama, bahasa ibu, kebudayaan serta ideologi”.

Saya coba membayangkan, jika saja Inpres No.40 tahun 1967 di masa Orde Baru itu masih berlaku, maka bisa dipastikan tidak ada lampion-lampion menghiasi tempat-tempat umum, tidak ada liang liong dan atraksi barongsai, tidak ada bagi-bagi angpao, dan tidak ada ucapan selamat tahun baru Imlek yang berseliweran di media sosial seperti saat ini. Dan satu lagi, kita tidak dapat tamabahan hari libur. Namun, sangat disayangkan perayaan Imlek tahun 2021 ini tidak meriah seperti biasanya. Bukan karena Inpres No.40 tahun 1967 diterapkan kembali, tetapi karena kita masih dalam situasi pandemi Covid-19 sehingga keramaian dan kerumunan orang sangat dibatasi.

Baca Juga : Perkuat Penerapan K3, PLN UIP Sulawesi Lakukan Management Patrol di GI Punagaya

Selamat Tahun Baru Imlek 2572 Kongzili Tahun 2021 Masehi. (*)

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646