0%
logo header
Minggu, 16 Februari 2020 00:00

Hipmi Sulsel Dukung APNI Tentukan HPM Nikel

Ketua Umum BPD Hipmi Sulsel Herman Heizer, bersama Ketua Umum BPP Hipmi Mardani H. Maming.
Ketua Umum BPD Hipmi Sulsel Herman Heizer, bersama Ketua Umum BPP Hipmi Mardani H. Maming.

REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Badan Pengurus Daerah (BPD) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sulawesi Selatan mendukung penuh langkah Asosiasi Penambang Nikel (APNI) memperjuangkan Harga Pokok Mineral (HPM) Nikel diatas Free on Board (FoB) tongkang.

Langkah itu ditengah kondisi larangan ekspor biji Nikel pada 1 Januari 2020 yang membuat penambang dalam negeri berada dalam kondisi mati suri. Situasi tersebut terjadi akibat rendahnya harga jual komoditas Nikel. Sementara, jika dipaksakan melakukan penambangan, semakin membuat harga tawar menjadi lebih murah dari harga produksi dan mematikan perusahaan.

Dukungan tersebut diungkapkan Ketua BPD Hipmi Sulsel, melalui telepon selulernya, Sabtu (15/02/2020) malam.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

“Kami dari Hipmi Sulsel tentu mendukung penuh langkah APNI, dengam begitu maka tercipta persaingan usaha yang baik, selain itu dampak ekonomi Indonesia juga pasti akan semakin membaik,” ucapnya.

Sementara, Ketua Umum BPP Hipmi Mardani H. Maming, mengatakan organisasi pengusaha muda yang ia pimpin mendukung dan mengapresiasi APNI dalam penentuan HPM nikel diatas FoB tongkang.

“Kami berharap ada kesepakatan dua belah pihak antara smelter dan penambang yang dibuatkan regulasinya dari Menteri ESDM untuk menetapkan harga HPM, apabila ada smelter yang dibeli harga dibawah HPM harus diberikan sanksi,” kata Mardani Maming, Sabtu (15/02/2020).

Baca Juga : Dari Survei Kepuasan Responden, OJK Sulselbar Perkuat Implementasi Tugas dan Fungsi

Ia menilai harga internasional bijih nikel saat ini untuk kadar 1.8% FoB Filipina dihargai antara USD 59-61/ wet metric ton (wmt). Sehingga jika pemerintah mengajukan harga jual bijih nikel domestik kadar 1.8% FoB sebesar USD 38-40/wmt tetap dalam harga wajar.

Jika dibandingkan dengan harga internasional, tentu tidak memberatkan kedua pihak baik smelter maupun penambang. Untuk itu dia meminta Kementerian ESDM mewajibkan kepada penambang yang kadar 1.7% dilarang ekspornya Januari 2020 lalu.

“Sebab, ada larangan ekspor, maka Kementerian ESDM mewajibkan barang penambang diterima smelter lokal yang kadarnya 1.7%,” ujar Maming. (La Saddam)

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646