0%
logo header
Sabtu, 27 Agustus 2022 23:41

Imparsial dan LK3 Banjarmasin Hadirkan Gustika Jusuf Hatta ke Banjarmasin, Soroti UU dalam Hukuman Mati

Mulyadi Ma'ruf
Editor : Mulyadi Ma'ruf
Gustika Jusuf Hatta, cucu Bung Hatta tengah diwawancari usai kegiatan Imparsial di Banjarmasin.(Istimewa)
Gustika Jusuf Hatta, cucu Bung Hatta tengah diwawancari usai kegiatan Imparsial di Banjarmasin.(Istimewa)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, BANJARMASIN — Imparsial (the Indonesian Human Rights Monitor) bersama Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin menggelar diskusi publik dengan tema bertajuk ‘Hukuman Mati dari Perspektif Agama-Agama, Problematika dan Perkembangannya dalam RKUHP’ bersama sejumlah organisasi masyarakat di Hotel Nasa Banjarmasin, Kalimantan Selatan. LSM bergerak di bidang pengawasan dan penyelidikan pelanggaran HAM itu memutar film dokumenter yang berjudul Menanti Keadilan.

Imparsial menyoroti hak untuk hidup (right to life) merupakan hak yang begitu fundamental bagi setiap manusia. Dalam konteks hukum Hak Asasi Manusia (HAM) sendiri, hak untuk hidup ini dimasukkan ke dalam kategori non derogable right, atau hak asasi yang tidak bisa dicabut dalam kondisi atau situasi apapun.

Pihaknya menyebut setiap manusia tanpa terkecuali, dan bahkan seseorang yang melakukan
tindakan kejahatan sekalipun, harus dipastikan hak hidupnya terjamin dan terlindungi. Sejak periode pertama, hingga periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi tidak terlihat
political will dari pemerintah untu menghapus hukuman mati.

Baca Juga : Angkat Ikon Geopark di Bandara Hasanuddin, Gubernur Sulsel: Gerbang Awal Promosi Pariwisata Sulsel

Sejak dilantik bulan Oktober 2014, pemerintahan Presiden Jokowi telah melakukan eksekusi mati terhadap 18 terpidana mati, yaitu pada 18 Januari 2015 (6 orang), 29 April 2015 (8 orang), serta 29 Juli 2016 (4 orang). Vonis mati juga terus bertambah, dari 175 di periode pertama, bertambah 193 menjadi 368 di periode kedua.

“Hukuman mati itu ada tendensi bahwa tajam ke bawah, tumpul ke atas. Jadi itulah alasan Imparsial hingga saat ini mengadvokasi hukuman mati di Indonesia,” ucap Gusti Jusuf Hatta kepada republiknews.co.id, Sabtu (27/8/2022).

Menurutnya, itu melanggar dari prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM). Hak hidup manusia, kata Gustika, tidak bisa dikurangi dan bertentangan dengan Undang-Undang (UU) tahun 1945. “Hukuman mati sudah disebut tadi bahwa tidak memberi efek jera,” ujarnya.

Baca Juga : Resmi Disetujui, Pemkot dan DPRD Makassar Perkuat Regulasi Kearsipan, Pesantren dan Tata Kelola Keuangan

“Di Amerika saja, ada penembakkan massal. Pelaku tak jera, dan negara yang cukup tinggi dengan hukuman matinya,” ucap dia.

Termasuk di Indonesia, kata Gustika, masih tinggi pula hukuman mati diberlakukan terlebih mereka yang menjadi pengedar narkoba. Dia menyebut sudah ada beberapa dalam UU, tak cuma di KUHP. “Pidana-pidana hukuman mati masih diberlakukan,” ungkap cucu Bung Hatta, wakil presiden RI ke-1 itu.

Jadi, menurut Gustika, sistem peradilan di Indonesia mesti dibenahi. Kuncinya, kata dia, jangan sekadar tajam ke bawah malah tumpul ke atas.

Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional

“Cuma masyarakat kecil yang dipidana berat. Mereka yang berkuasa tidak ditindak,” kata Gustika.

Gustika bilang, perlu sekali mengkaji ulang UU yang bermuatan materi tentang hukuman mati ini. Apalagi, kata dia, undang-undangnya masih belum transparan ke publik. “Memang, kita sulit sekali memiliki data-data dalam UU Hukuman Mati itu sendiri,” katanya.

Tahun ini, kata Gustika, selama pandemi yang terkena vonis hukuman mati. Pihaknya, kata dia, sulit sekali mendapatkan bantuan hukum.

Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal

“Akses dalam bantuan hukum itu. Jadi sorotan masyarakat sipil,” kata dia.

Seringkali, kata Gustika, korban yang tervonis hukuman mati sangat sulit bertemu pengacara. Kalaupun bertemu, baginya tidak efektif karena waktunya sangat terbatas. “Ini bertentangan sekali dengan pancasila, terlebih pada sila kelima. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, ke mana adilnya,” tegas dia.

Direktur LK3 Banjarmasin, Abdani Solihin menyoroti prosedural peradilannya apakah sudah benar-benar sesuai dengan yang diamanahkan oleh UU tahun 1945. Dalam hal itu, kata dia, soal keterbukaan, pendampingan dan sebagainya.

Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal

“Seolah terkesan menjaga image-nya bagus, kemudian dibuat hukuman tegas. Ini tidak benar,” ungkap Abdani.

Dengan ini, Abdani menganggap sangat penting pula dalam memahami, mempelajari serta mendorong undang-undang ini secara terbuka dan bersih. Dia bilang, hukuman mati ini bukan solusi ideal. “Misalnya kasus narkoba, yang diincar cuma kurirnya saja. Bukan bos bandarnya,” jelasnya.

Dalam kasus apapun, Abdani mengatakan agar berkeadilan bagi warga Indonesia yang memiliki hak hidupnya. Secara diskusi tadi, dia menyebut semua menentang adanya hukuman mati tersebut.

Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal

Akademisi Fisip ULM, Varinia Puri Damayanti menjelaskan hukuman mati dalam perspektif gender. Dia bercerita bahwa ada seorang perempuan tengah hamil namun tervonis hukuman mati.

“Dalam bunyi peradilan bahwa setelah melahirkan, baru dieksekusi. Ini sangat bertentangan dengan HAM, apakah anaknya tidak memerlukan kasih sayang dari mamanya,” ucap dia, pilu.

Terkadang dalam kasusnya, Varinia menyampaikan bahwa perempuan dipandang lemah, sehingga dengan relasi kuasa laki-laki sebagai suaminya. “Terkadang, isteri dipaksa. Jika tidak diancam dibunuh,” ujar dia.

Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal

Varinia menyebut hukum di Indonesia tidak meluhat secara holistik. Semestinya, kata dia, peradilan harus memandang kasusnya secara kontekstual.

Direktur Pusat Pastoral Keuskupan Banjarmasin, Pastor Yusuf Suharyoso menilai hukum di Indonesia masih tidak memahami aspek HAM, dan prinsipnya ada diskresi yang merupakan keputusan dari alam bukan dari manusia.

“Terkait hukuman mati menurut Paus, sekarang ada peningkatan kesadaran seseorang. Tidak hilang terlebih saat seseorang melakukan kejahatan,” tuturnya.

Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal

Sistem penahanan, kata Pastor Yusuf, serta sanksi-sanksi baru itu ada kemungkinan bahwa seseorang ingin bertaubat. Jadi, menurutnya mengalami perubahan jika diberi waktu dalam penghukumannya.

Sementara akademisi UIN Antasari, Jalaluddin menyampaikan ada beberapa di antara kalangan yang kontra terkait pidana mati. Menurutnya, mengalami perkembangan dan pidana mati yang populer disebut kaum abolisionis.

“Abolisionisme adalah paham yang memandang Sistem Peradilan Pidana sebagai cacat struktural serta bentuk pemidanaan penjara sebagai bentuk masalah social, sehingga diperlukan suatu alternatif pemidanaan.”

Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal

Umumnya, kata Jalaluddin, mendasarkan alasan penolakkannya pada dalil-dalil hukuman mati tersebut. Kata dia, peristiwa-peristiwanya kerap salah dan keliru, terlebih dalam normanya. “Persoalan perekonomian paling utamanya, ini adalah tugas pemerintah dalam mensejahterakan,” tandasnya.(*)

Penulis : Rahim Arza
Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646