REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Kantor Wilayah Hukum dan HAM Sulawesi Selatan (Kanwil Kemenkumham Sulsel) bersama delegasi Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Ditjen PP) membahas terkait pembentukan produk hukum daerah.
Hal ini dibahas melalui Observacion Visit JICA, di Aula Kanwil Kemenkumham Sulsel. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk mendiskusikan dan mendapatkan gambaran dari JICA terkait proses pembentukan peraturan perundang-undangan sampai tahapan implementasinya. Aturan ini kemudian akan menjadi bahan perbandingan khususnya dalam tahapan proses pembentukan produk hukum daerah di Indonesia.
Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM Kanwil Kemenkumham Sulsel Hernadi mengatakan, pelaksanaan harmonisasi rancangan peraturan daerah (ranperda) dan rancangan peraturan kepala daerah (ranperkada) di wilayah Kanwil Kemenkumham dilaksanakan sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) No 13/2022 tentang perubahan kedua UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Baca Juga : Pastikan Tepat Sasaran, Tamsil Linrung Inisiasi Posko Pengaduan Program Strategis Presiden di Sulsel
Sehingga, untuk alur tahapan harmonisasi yang dilakukan terdapat beberapa poin didalamnya. Pertama, Pemrakarsa mengunjungi Kanwil Kemenkumham Sulsel dan menghadap Kepala Kantor Wilayah. Kedua, selanjutnya dilakukan pemeriksaan administrasi, yang kemudian dilanjutkan ke analisis konsepsi. Ketiga, diadakan rapat harmonisasi, dan tahap paraf dokumen harmonisasi (surat selesai harmonisasi).
“Hasil pengharmonisasian tersebut nantinya diserahkan kembali kepada Kakanwil untuk kemudian diterima kembali oleh pihak pemrakarsa,” jelas Hernadi, dalam pertemuan kemarin.
Sementara, perwakilan Delegasi JICA Hiromi Oikawa memberikan pandangan mengenai pelaksanaan harmonisasi rancangan produk hukum daerah di Indonesia. Menurutnya, jika di Indonesia, pelaksanaan harmonisasi dilakukan setelah rancangannya selesai disusun.
Baca Juga : Angkat Ikon Geopark di Bandara Hasanuddin, Gubernur Sulsel: Gerbang Awal Promosi Pariwisata Sulsel
Hanya saja sebaiknya, sejak awal pihak perancang dan pembentuk produk hukum daerah harus saling berkoordinasi supaya tidak terjadi inkonsistensi terhadap rancangan produk hukum tersebut.
“Tetapi kalau dimungkinkan, perancang bisa dilibatkan sejak awal dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan di tempat pembentuk (kabupaten/kota setempat),” jelas Okawa.
Okawa menambahkan, terkait pelaksanaan harmonisasi di Jepang, untuk peraturan daerah atau peraturan kepala daerah, tidak ada harmonisasi yang dilakukan oleh pihak pusat (Kementerian Kehakiman Jepang dan Kementerian Dalam Negeri Jepang). Namun, semua proses bisa diselesaikan di dalam lingkungan pemerintah daerah setempat di Jepang.
Baca Juga : Resmi Disetujui, Pemkot dan DPRD Makassar Perkuat Regulasi Kearsipan, Pesantren dan Tata Kelola Keuangan
Menanggapi hal tersebut, Perancang Kanwil Kemenkumham Sulsel Muhammad Abdillah mengaku, sejauh ini pelaksanaan harmonisasi di Indonesia berbeda dengan di Jepang. Karena ketika melihat definisi “fasilitasi”, ada kesamaan dengan definisi “harmonisasi”, yang ujung-ujungnya penyelarasan terhadap perundang-undangan yang lebih tinggi baik asas maupun sumber hukum lainnya.
“Kami perancang menyarankan agar proses tersebut disatukan seperti di Jepang. Tetapi di Indonesia, biro hukum di provinsi bertindak sebagai wakil pemerintah pusat (Kemendagri) sehingga, kami sebagai fasilitasi produk hukum daerah beririsan dengan biro hukum sebagai pembina hukum di daerah,” jelas Abdillah.
Untuk itu, Abdillah berharap kepada perwakilan Ditjen PP agar dalam menempatkan proses harmonisasi sebagai sebuah prosedur, seharusnya ada satu-kesatuan penggunaan istilah dalam proses penyusunan peraturan perundang-undangan. Sehingga, tidak ada dualisme antara Kemenkumham dan Kemendagri. Apalagi, mengingat penyusunan peraturan perundang-undangan termasuk juga produk hukum daerah diserahkan kepada Kemenkumham.
Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional
“Jadi pemegang utama pembinaan hukum di daerah dan hukum di seluruh Indonesia dipegang oleh Kemenkumham, sehingga tidak ada dualisme antara penggunaan istilah fasilitasi dan harmonisasi, dimana istilah fasilitasi digunakan Kemendagri dan istilah harmonisasi digunakan Kemenkumham,” jelas Abdillah.
Direktur Litigasi Dirjen PP Listyarini Wulandari berharap, pertemuan ini dapat memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah. Apalagi jika itu telah sesuai dengan UU No 13/2022 tentang perubahan kedua atas UU No 12/2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
“Tentunya tadi terkait kebijakan dari Kemendagri selaku pemilik wilayah di daerah yang tentunya dalam pekerjaan yang dilaksanakan oleh perancang, harus selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah,” katanya.
Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional
Sebab, jangan sampai peran Kanwil Kemenkumham tidak memiliki fungsi, sehingga harus bersinergi dengan biro hukum di daerah.
“Harus selalu mengupdate hal-hal yang terkait dengan pembentukan peraturan perundang-undangan,” pesan Listyarini.
Turut hadir dalam kegiatan ini Koordinator Standarisasi dan Bimbingan Ditjen PP Andriana Krisnawati, Kepala Bidang Hukum Andi Haris, dan seluruh pegawai Divisi Yankum.
