REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Kanwil Kemenkumham Sulawesi Selatan mendukung hadirnya Undang-Undang (UU) No 1/2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Kehadiran UU ini pun merupakan rangkaian dari perayaan Hari Kemenkumham Ke-78 Tahun.
Dukungan tersebut setelah Tim Kanwil Kemenkumham Sulsel menghadiri Seminar Nasional bertema “Menyongsong Berlakunya Hukum yang Hidup dalam Masyarakat Berdasarkan UU No 1/2023 Tentang KUHP”.
Baca Juga : Pastikan Tepat Sasaran, Tamsil Linrung Inisiasi Posko Pengaduan Program Strategis Presiden di Sulsel
Dalam kegiatan tersebut hadir Kakanwil Kemenkumham Sulsel Liberti Sitinjak, Kepala Divisi Administrasi (Kadivmin) Indah Rahayuningsih, dan para Pejabat Administrator dan Pengawas, di Ruang Rapat Kakanwil Kemenkumham Sulsel secara hybrid.
Menkumham RI Yasonna Laoly mengatakan, perjalanan KUHP menjadi KUHP Baru merupakan pembelajaran pembangunan Hukum Pidana Indonesia.
“Lahirnya KUHP Baru merupakan buah penantian panjang yang penuh perjuangan untuk mewujudkannya. KUHP Baru merupakan produk hukum karya anak bangsa yang patut diapresiasi karena berusaha untuk lepas dari warisan Kolonial Belanda yang sudah tidak relevan untuk zaman sekarang,” kata Yasonna, terangnya dalam kegiatan, kemarin.
Baca Juga : Angkat Ikon Geopark di Bandara Hasanuddin, Gubernur Sulsel: Gerbang Awal Promosi Pariwisata Sulsel
Lanjut Yasonna, hukum adat dalam masyarakat adat terkadang dianggap lebih bisa menyelesaikan masalah hukum. Karena itu KUHP Baru telah mengatur hukum yang hidup dalam masyarakat dengan menggabungkan lingkungan hukum, dimana norma pidana adat yang akan dituangkan dalam peraturan pemerintah sebagai petunjuk lanjut dari pelaksanaan KUHP Baru.
“Pembaruan hukum termasuk hukum pidana adalah keniscayaan karena kebutuhan akan keadilan masyarakat yang terus berubah dan perlu di akomodasi seperti memasukan unsur hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law),” terangnya.
Ia mengungkapkan, pada dasarnya the living law merupakan aturan yang ideal serta dicita-citakan oleh masyarakat. Dimana ada empat indikator yang harus dipenuhi dalam batasan keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat. Pertama, berlaku dalam tempat hukum itu hidup. Kedua, sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD NKRI 1945, dan ketiga Hak Asasi Manusia (HAM).
Baca Juga : Resmi Disetujui, Pemkot dan DPRD Makassar Perkuat Regulasi Kearsipan, Pesantren dan Tata Kelola Keuangan
Selanjutnya, empat Asas-asas Hukum Umum yang diakui masyarakat beradab.
Yasonna menekankan, masyarakat harus bersama-sama berperan dalam mewujudkan keadilan dan ketertiban berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Melalui seminar ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik tentang pentingnya hukum yang hidup dalam masyarakat, serta mendorong kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang adil, dan bermartabat berdasarkan peraturan hukum yang berlaku.
Sementara, Kepala Badan Strategi Kebijakan (BSK) Hukum dan HAM Y Ambeg Paramarta menyebut perlu dilakukan sejumlah upaya untuk mempersiapkan berlakunya KUHP. Selain sosialisasi, Ambeg mengatakan perlunya mempersiapkan peraturan pemerintah yang akan diundangkan.
Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional
“Seminar ini sendiri mengangkat salah satu pembahasan dalam KUHP yang mengamanatkan pendelegasian pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembahasan tersebut terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat yang disebutkan dalam Pasal 2 UU KUHP.” kata Ambeg.
Ambeg menjelaskan, seminar ini bertujuan selain sebagai upaya sosialisasi UU No 1/2023 tentang KUHP, juga untuk mengidentifikasi kebutuhan substansi dan materi muatan hukum yang hidup dalam masyarakat. Tujuannya sebagai bahan rekomendasi kebijakan dalam pembentukan peraturan pemerintah tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Seminar nasional ini menghadirkan narasumber pada kegiatan Wamenkumham R.I Edward O.S Hiraiej, Guru Besar FH Universitas Diponegoro Pujiyono, Hakim Agung Pidana MA Prim Haryadi, Dosen Hukum Pidana (Pidana Adat) FH Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Ferry Fathurokhman, dan Direktur Eksekutif Insitute for Criminal Justice Reform/ICJR) Erasmus A.T Napitupulu.
