0%
logo header
Jumat, 08 Maret 2024 13:21

Kemegahan Makassar New Port Hilangkan Ruang Hidup, Lahirkan Kemiskinan Nelayan Perempuan

Chaerani
Editor : Chaerani
Warga Kampung Manggara Bombang, Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo saat mengolah hasil laut. (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)
Warga Kampung Manggara Bombang, Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo saat mengolah hasil laut. (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Ibu Syamsiah, siang itu mengenakan daster selutut berwarna orange. Di lengan kanan dasternya berlogo Fendi dengan bentuk memanjang mengintari ketiak. Meski itu adalah salah satu brand fashion ternama, Saya memastikan daster yang dikenakannya adalah produk tiruan (KW).

Kedatangan Saya siang itu rupanya sedikit menganggu waktu tidurnya. Sebab saat memasuki rumah kayu miliknya, ia sedang berbaring bersama anak perempuannya berusia sekitar 5 tahun.

Rumah Ibu Syamsiah yang berlokasi di Kampung Manggara Bombang, Kelurahan Tallo, Kecamatan Tallo sangat sederhana. Berdingin seng dengan lantai semen. Di dalamnya terdapat kursi plastik, dan satu sofa panjang model zaman dulu yang telah nampak lusuh. Dua lemari tua tersusun di samping sofa, Saya memastikan lemari kayu itu usianya lebih tua dari Saya.

Baca Juga : Tekankan Integritas dan Loyalitas, Wawali Makassar Buka Kegiatan Retret Lurah di Malino

”Ya begini lah aktivitas Saya saat ini setelah tidak bisa lagi turun melaut. Saya merasa semakin banyak masalah, apalagi dari segi pemasukan,” katanya sambil memperbaiki duduknya.

Ibu Syamsiah adalah satu dari ratusan perempuan nelayan yang terdampak dari pembangunan Pelabuhan Makassar New Port (MNP) yang dibangun PT Pelindo IV Makassar. MNP ini masuk sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN), dan telah diresmikan Presiden RI Joko Widodo pada Kamis, 22 Februari 2024. Pelabuhan ini diklaim akan menjadi hub terbesar sekaligus meningkatkan efisiensi biaya logistik di Indonesia Timur.

Kemegahan MNP yang menelan anggaran sekitar Rp5,4 triliun ini, rupanya merampas mata pencarian perempuan nelayan yang ada di wilayah pembangunan. Salah satunya wilayah tempat Ibu Syamsiah tinggal.

Baca Juga : Wali Kota Makassar dan Rektor UMI Teken MoU Penguatan Akademik hingga Pemberdayaan UMKM

Hilangnya mata pencarian dari hasil melaut mengorbankan dua anaknya. Mereka terpaksa putus sekolah, sebab tak sanggup membayar biaya pendidikan. Saat itu, ia mendaftarkan tiga anaknya pada jenjang SD dan SMP untuk periode penerimaan siswa baru tahun 2021 dan 2022.

”Dua anak Saya harus putus sekolah karena tidak bisaka bayar uang seragamnya. Itu nilainya Rp400 ribu satu anak, bayangkanmi kalau tiga anak mau saya sekolahkan,” katanya.

”Ada juga anak Saya SMP Kelas 2 sampai sekarang belumka bisa bayar SPP nya, makanya tertunggakki, akhirnya tidak masuk mi sekolah,” jelasnya lagi.

Baca Juga : Pemerintah Bakal Setop Impor Solar Tahun Depan, FORMID Apresiasi Langkah Menteri ESDM

Kurangnya pendapatan ekonomi Syamsiah dirasakan setelah ia beralih profesi dari nelayan menjadi seorang pemulung gelas plastik. Pekerjaan ini ia pilih setelah dirinya memutuskan untuk berhenti melaut. Saat itu tidak ada lagi hasil laut yang bisa dijual. Di laut bekas reklamasi hanya menghasilkan lumpur, minyak, dan sampah. Sehingga habitat laut pun mati.

Dari hasil memulungnya selama tiga minggu, Ia dapat menghasilkan 3 karung gelas plastik. Jumlah ini ketika ditukar ke pengumpul hanya dibayar Rp30 ribu. Pendapatan ini tentunya sangat berbeda saat masih melaut, Syamsiah bisa menghasilkan Rp150 ribu sekali melaut dengan durasi waktu setengah hari.

Penghasilannya bersama suaminya sebagai tukang ojek konvensional tentunya sangat kurang untuk membiayai kehidupannya bersama enam orang anaknya, dari 10 bersaudara.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

”Sangat kurasakan kurangnya pemasukan sekarang, dulu kalau Saya dan bapak, dibantu anak-anak turun melaut bisama beli makanan, sisanya ditabung untuk sekolahnya anak-anak. Sekarang untuk makan saja susah,” katanya dengan suara parau.

Dalam kehidupan sehari-harinya, Syamsiah memang mengantungkan hidupnya pada hasil tangkap di laut. Ia bersama suaminya sehari-hari menangkap hasil laut seperti Kanjampang (Kerang) dan Tude’.

Menjadi seorang nelayan juga bukan baru pertama kali dilakoninya. Syamsiah yang lahir pada 1997 lalu berasal dari orangtua nelayan. Melakukan aktivitas di laut adalah kebiasaan yang sangat disenangnginya, disamping memang telah menjadi mata pencarian utama.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

Beban ekonomi yang dirasakannya juga pernah membuat ia ingin mengakhiri hidupnya. Hampir tiga kali Ia mencoba ingin bunuh diri, merasa tak kuat menanggung beban yang dianggapnya sangat berat.

”Saya selalu merasa bunuh diri jalan keluarnya. Tidak sanggup ma kadang, hancurma ku rasa. Ada anak mau belanja tidak ada uang, bapak pemasukannya juga kadang Rp25 ribu ji sehari, na mauki makan, mauki belanja ini dan itu,” cerita Syamsiah dengan mata berkaca.

Beberapa kali Ia terpaksa menjual isi-isu rumahnya, hanya sebatas membeli keperluan bahan pokok.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

”Habis semua. Piringku, mangkokku, kulkasku, televisiku Saya jual semua. Mau ki makan tidak ada uang, anak mau bayar sekolah juga, betul-betul susah sekali hidupku setelah ada ini reklamasi,” katanya lagi.

Saat ini Syamsiah menggantungkan hidupnya dengan berkerja sebagai pemulung plastik, buruh kasar, dan berbagai tawaran pekerjaan lainnya. Ia lakukan hanya untuk memperpanjang hidup bersama keluarganya.

Dari Seorang Nelayan Menjadi Buruh

Aktivitas melaut nelayan perempuan kian sepi usai pembangunan MNP dilakukan di Kecamatan Tallo. (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

Pilihan untuk berganti pekerjaan dari seorang nelayan ke buruh kasar menjadi pilihan yang mau tidak mau, suka tidak suka dipilih masyarakat akibat pembangunan MNP ini. Terutama perempuan.

Saenab, warga RT1 RW 2 Kampung Manggara Bombang harus memilih menjadi seorang cleaning servis di salah satu perusahaan pergudangan di Makassar agar tetap bisa membantu menghasilkan nafkah tambahan bagi keluarga.

Ia memilih menjadi buruh di perusahaan sebab hasil laut di wilayah tangkapnya tak lagi menjanjikan seperti sebelum dilakukannya reklamasi pembangunan MNP. Kondisi ini tentunya mengurangi pendapatan keluarganya. Apalagi saat itu Ia masih menyekolahkan ketiga anaknya.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

”Saya hanya tahan bekerja 8 bulan, karena memang kami lebih terbiasa bekerja di laut ketimbang di perusahaan,” kata Saenab.

Tidak sedikit juga masyarakat memilih untuk mencari pekerjaan di luar Makassar dengan merantau ke daerah atau kota lainnya.

”Ada yang ke Morowali, Palopo, bahkan ada ke Papua, disana ada yang sebagai nelayan ada juga buruh. Mereka ikut keluarga, banyak laki-laki,” terangnya.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

Sebelum pembangunan MNP dilakukan, nelayan laki-laki fokus menangkap Ajungan (kepiting), sementara nelayan perempuan menangkap Kerang, Tude hingga Ambari. Tapi semenjak pembangunan dilakukan sejumlah hasil tangkap perlahan hilang dan mati. Seperti, ambari yang kata Saenab tidak lagi ditemukan di laut Tallo.

Dirinya mengaku, nelayan perempuan sangat berkontribusi dalam membantu perekonomian keluarga. Saenab misalnya, dengan penghasilan suami sebagai seorang buruh bergaji Rp75 ribu tentunya tidak akan cukup membiayai kebutuhan hidup. Tetapi dari hasil melaut Ia bisa hidup dengan berkecukupan.

”Gaji suami itu hanya cukup di dapur, jadi pendapatan dari hasil laut saya gunakan untuk biaya pendidikan, atau hajatan keluarga. Sekarang sudah susah kami penuhi,” katanya.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

Selain Saenab, ada lebih 400 masyarakat dari Kelurahan Buloa, Cambayya, hingga Tallo terdampak perampasan hak hidup akibat pembangunan MNP. Beberapa adalah kelompok rentan seperti perempuan dan anak.

”Khusus di wilayah kami ini saja ada sekitar 100 perempuan yang terdampak,” katanya.

Sebabkan Kemiskinan Meningkat

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

Koordinator Program Aksi! for Gender, Social and Ecological Justice Risma Umar mengungkapkan, Program Strategis Nasional (PSN) yang dibangun pemerintah seperti Pembangunan MNP hanya menggusur ruang hidup dan menghadirkan kemiskinan.

”Bahkan juga melahirkan ketidakadilan gender bagi perempuan nelayan yang sumber penghidupannya dari hasil laut,” ungkapnya.

Kata Risma, dalam periode lima tahun terakhir peningkatan kemiskinan dianggap mengkhawatirkan. Berdasarkan data per Maret 2023, jumlah kemiskinan di Sulsel mencapai sekitar 788 ribu juta jiwa. Sementara, khusus jumlah kemiskinan di Kota Makassar mencapai 74 ribu jiwa.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

“Di data tersebut juga ada sekitar 1.000 lebih miskin ekstrem yang ada di Makassar. Selain itu dari data kemiskinan ini banyak kepala keluarga adalah perempuan,” katanya di sela-sela Dialog Multi Pihak bertajuk “Mengakhiri Ketimpangan Ekonomi dan Ketidakadilan Gender dengan Memberikan Pengakuan dan Akses Atas Ruang Hidup, Perlindungan Sosial dan Kerja Layak Bagi Perempuan di Sulawesi Selatan”.

Kondisi kemiskinan tersebut bukan hanya imbas dari pandemi Covid-19, tetapi disebabkan dari kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi ruang akses masyarakat miskin untuk memperbaiki kesejahteraannya.

Ia mencontohkan, pada UU Cipta Kerja yang melahirkan banyak macam kebijakan yang menutup akses dan memiskinkan masyarakat. Dimana, buruh industri yang merasakan betul dampaknya, seperti upah kerja hanya dihitung per jam, sehingga mematikan pendapatan mereka, bahkan ini diluar dari outsourcing dan lainnya.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

“Jadi bukan hanya imbas dari Covid-19, tetapi kebijakan untuk mengusur tempat tinggal dan menggusur ruang hidup dan banyak hal lainnya. Belum lagi rata-rata perempuan yang paling rentan terdampak, sebab dipengaruhi konstruksi juga karena mereka tidak pernah dihitung, tidak pernah dianggap, dan lainnya,” ujarnya.

Disisi lain, pemerintah juga kerap kali menjadikan bantuan sosial sebagai solusi dalam mengatasi kemiskinan. Sementara, ia melihat bantuan sosial tidak menjadi solusi dalam mengatasi kemiskinan, justru menciptakan ketergantungan atau kehilangan kemampuan daya kritis masyarakat untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik.

“Hampir bantuan itu tidak menyelesaikan masalah. Jadi mestinya pemerintah untuk mengurangi peningkatan kemiskinan yang ada mesti mengkaji ulang efektivitas bantuan tersebut karena dalam banyak kasus bantuan ini dipolitisasi,” tutup Risma.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

Ganti Rugi Tak Menjawab Kebutuhan Dasar

Saenab mengatakan, PT Pelindo IV Makassar sebagai pihak yang mengelola Makassar New Port memang ingin melakukan ganti rugi sebagai upaya tanggungjawab sosial. Hanya saja ganti rugi yang ditawarkan bukan menjadi kebutuhan mendasar masyarakat yang ada, terutama kelompok perempuan.

Program ganti rugi yang dicanangkan melalui program corporate social responsibility (CSR) PT. Pelindo IV Makassar kepada masyarakat terdampak adalah dengan sistem pembinaan menjadi pelaku usaha. Secara teknis satu kelompok usaha terdiri dari 10 orang perempuan. Mereka kemudian diberikan modal untuk mengembangkan usaha tersebut. Program lainnya adalah pemeriksaan kesehatan gratis yang dinilai bukan menjadi kebutuhan masyarakat sekarang ini.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

”Buat apa pemeriksaan kesehatan sementara kami sudah dijamin dalam KIS, belum lagi ada bantuan sosial lainnya dari pemerintah yang sudah kami dapat. Makanya kami butuh ganti rugi itu yang betul-betul kami butuhkan,” tegasnya.

”Terus mau dibuatkan pembinaan kelompok usaha, ini kami nilai akan mendatangkan konflik baru bagi kami masyarakat disini. Makanya hingga hari ini semua bentuk ganti rugi kami tolak,” tegas Saenab.

Pembangunan Pelabuhan MNP menyebabkan rusaknya habitat laut di pesisir Tallo. (Dok. Chaerani/Republiknews.co.id)

Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP-Anging Mammiri Suryani mengatakan, kebijakan pemerintah hari ini dalam hal tata kelola kota dibuat dengan menyesuaikan pembangunan proyek yang telah berjalan.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

”Jadi seolah-olah peraturan ini disesuaikan dengan proyek-proyek yang berjalan. Belum lagi saat mencanangkan kebijakan masyarakat yang harusnya menjadi pihak utama yang dilibatkan justru tidak terlibat dalam pembuatan kebijakan, hasilnya mereka lah yang bertanggung jawab, dan terdampak,” katanya.

Menurutnya, langkah pemerintah dalam membangun sebuah kota termasuk di Makassar, perlu diapresiasi. Hanya saja harus dapat menghindari lahirnya ketimpangan-ketimpangan baru yang justru dialami oleh masyarakat kecil.

Akademisi Universitas Sawerigading Makassar Rahma Amin mengungkapkan, dalam kajian ekofeminisme melihat perempuan dan alam memiliki kesamaan sebagai sumber penghidupan, karena kemampuannya memproduksi kehidupan. Sehingga jika ruang hidup digusur, lingkungan dirusak, maka secara simbolik keberlangsung hidup perempuan juga akan berpengaruh.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

Selain itu, perempuan menjadi orang paling terdampak secara ekonomi dari pengusuran ruang hidup dengan melihat kondisi geografis Indonesia, termasuk di Sulsel. Ini disebabkan karena banyak perempuan secara ekonomi masih bergantung pada kehidupan yang agraris ataupun mereka yang hidup di pesisir dan mengandalkan sumber alam yang ada di laut.

“Mereka (Perempuan) secara ekonomi terlibat langsung dalam proses pengelolaan, ataupun membantu suami mereka. Ketika ruang-ruang hidup mereka dirampas, bukan hanya sumber penghasilan mereka yang hilang tetapi akan menibulkan masalah-masalah baru bagi perempuan,” kata Rahma.

Dosen Sosiologi Gender ini menilai, Makassar sebagai tempat berkumpulnya orang-orang dari berbagai latar belakang untuk mencari peluang secara umum masih menghadapi berbagai tantangan terkait kesenjangan gender. Bahkan hingga saat ini Kota Makassar belum ramah pada perempuan.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

”Kedepannya, pemerintah harus memulai kebijakan-kebijakan yang berdasar pada pengarusutaamn gender dan melibatkan perempuan dalam pembagunan, sekalipun banyak sekali produk materi hukum yang tidak mendukung adanya keterlibatan aktif perempuan, diskriminatif dan tidak adil gender,” terangnya.

Tak Melibatkan Warga Langsung

Perempuan dan nelayan tradisional saat melakukan aksi protes terhadap pembangunan Pelabuhan MNP yang diresmikan Presiden RI Joko Widodo, di Depan Gardu Induk PLN Tallo, Kamis, (22/02/2024). (Dok. SP Anging Mammiri)

Suryani mengaku, selama proses advokasi yang dilakukan tak hanya menempuh aksi-aksi penolakan, tetapi juga ruang-ruang dialog dalam bentuk Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama pihak Pelindo Region IV Makassar, hingga ke pemerintah daerah yang dilakukan Komisi D DPRD Sulsel waktu itu.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

Hanya saja dari ruang dialog tersebut, meski melahirkan sejumlah kesepakatan tetapi tidak terakomodir dengan baik. Salah satunya, saat Komisi B DPRD Sulsel menyepakati akan melakukan komunikasi dengan pihak PT Pelindo Pusat bersama perwakilan nelayan di Jakarta itu tidak dilakukan. Sehingga nelayan sebagai pihak yang dirugikan menolak hasil pertemuan antara Komisi B DPRD Sulsel dengan PT Pelabuhan Indonesia di Jakarta, karena tidak dilibatkannya mereka.

”Bahkan dalam pertemuan itu juga tidak membahas aspirasi dan yang menjadi tuntutan masyarakat sebagai korban,” jelasnya.

Melihat ketidakberpihakan pemerintah ini, SP-Anging Mammiri sebagai organisasi yang ikut mendampingi kemudian mengadukan ke Komnas HAM RI, hingga Komnas Perempuan RI.

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

Dari aduan itu, pada 2022 lalu Tim Komnas HAM kemudian turun melihat langsung kondisi lapangan melalui indikator pelanggaran HAM. Sama halnya dengan Komnas Perempuan, hasil tinjauan lapangan yang dilakukan kemudian melahirkan sejumlah rekomendari untuk DPRD Provinsi Sulsel agar segera membahas dan mempriotaskan penyelesaian masalah tersebut.

”Setelah rekomandasi itu keluar kami pun datang ke DPRD agar ditindaklanjuti segara. Tapi yang ada kami justru tidak diterima dengan baik, yang mana kami berharap bertemu langsung dengan Ketua DPRD Sulsel malah dialihkan ke Komisi C, padahal yang pertama kali mediasi kami itu adalah Komisi D,” ujarnya.

Hingga hari ini perempuan pesisir yang terdampak pembangunan MNP masih terus berjuang menuntut keadilan agar pendapatan ekonomi mereka dapat kembali pulih seperti sebelum berdirinya pelabuhan megah tersebut. 

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646