Oleh: Amalia Izzatunnisa (Kader PMII Rayon Fakultas Hukum UHO)
REPUBLIKNEWS.CO.ID – “Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka … (WS. Rendra, Sajak Sebatang Lisong)
Puisi Rendra adalah gambaran kegelisahan atas lunturnya idealisme, integritas dan moralitas aktivis utamanya mahasiswa yang gembar-gembor sebagai agent of change, kelas menengah strategis karena di beri kesempatan berada di menara gading keilmuan yang diberi nama perguruan tinggi. Kegelisahan Rendra sebagai penyair tentu amat jauh berbeda dengan kegelisahan saya sebagai mahasiswa (kader PMII) yang baru menginjak tahun ke-dua di perguruan tinggi, jauh sekali !.
Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe
Membaca puisi sang burung merak Rendra memiliki relevansi dengan dunia Gerakan mahasiswa utamanya kader-kader PMII di Sulawesi Tenggara. Puisi itu jika ditarik dalam konteks ber-PMII maka kira-kira bunyinya begini, “Menghisap sebatang rokok ditemani kopi melihat PMII, mendengar suara jutaan kader, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka…”. Pengandaian ini adalah sekedar pengandaian saja, kader PMII structural saya yakin tidak seperti itu, mereka adalah kader-kader terbaik yang di miliki PMII, teruji integritas dan moralitasnya sehingga tidak mungkin melakukan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-PMII an maupun ke-NU an (terlalu kepedean kali ya), tetapi tunggu dulu, saya juga mengamati bagaimana sebagian kalau tidak ingin disebut seluruhnya seringkali bermain-main dengan para cukong dan kemudi gerakan berpindah dari A ke B, yang lebih fatal adalah berkembangnya budaya “wintonisasi” dikalangan kader. Budaya ini justru lebih dominan ketimbang tradisi membaca, diskusi dan menulis yang seharusnya menjadi arus utama di kalangan kader (miris juga rupanya ya sahabat). Dua prilaku itu saja sudah cukup membuat kader-kader muda puyeng bukan kepalang, bagaimana tidak, saat pengkaderan kita di ajarkan bagaimana selayak dan seharusnya menjadi kader PMII, namun faktanya jauh panggang dari api, saya menyebutnya PTP (PMII tipu PMII, nanti kalua sudah ber NU menjadi NTN, NU tipu NU).
Sebagai kader tentu saya amat mencintai organisasi ini (ya, iyalah, kalo bukan cinta buat apa juga sampe susah-susah mengikuti Mapaba dan PKD kalo ada PKL lagi iya, saya pasti ikut). Saking cintanya saya tentu punya mimpi bahwa suatu saat, saya bisa melihat PMII dengan dinamika gerakan dan intelektual yang mumpuni. Menjadikan PMII sebagai poros gerakan dan intelektual mahasiswa (walau kadang-kadang bikin baper karena cinta bertepuk sebelah tangan hehehe). PMII sebagaimana Namanya tidak saja melahirkan aktivis gerakan yang berorientasi pada kekuatan masa, tetapi juga harus berorientasi pada kekuatan konseptual, kekuatan intelektual sehingga isu yang di bangun merepresentasikan suara rakyat. Sependek pengetahuan saya, PMII utamanya Sulawesi Tenggara bukanlah produsen isu gerakan (bukan gerakan spontan yang sporadis itu ee, tapi gerakan merespon isu local dan nasional yang merakyat), PMII masih menjadi konsumen isu, sehingga sangat sulit menjadikannya sebagai episentrum gerakan mhasiswa. Salah dua yang membuat PMII agak “gagap” merespon isu local dan nasional, pertama, isu-isu local dan nasional tidak menarik karena kemampuan analisis yang rendah. Padahal, PMII itu tempat berkumpulnya kader-kader lintas keilmuan. Semua disiplin ilmu ada di PMII. Factor pemicunya adalah kurangnya bahkan saya menyebutnya tidak ada kajian atau diskusi di internal PMII yang dilaksanakan secara regular dengan narasumber yang memadai secara kualitas. Walhasil, PMII hanya menjadi jamaah gerakan bukan imam gerakan (kan menjengkelkan, bukan ?). oleh karenanya, dimasa depan (paling tidak 1 atau 2 tahun kedepan) PMII harus menjadi laboratorium keilmuan melalui pembuatan jurnal ilmiah dan mengaktifkan kelompok kajian/diskusi. Saya membayangkan jika PMII serius menerobos kejumudan intelektual itu maka di masa depan akan tersedia jurnal ilmiah yang berkualitas bahkan terstandarisasi secara akademik. PMII harus menjadi thinktank bagi pembangunan Sulawesi Tenggara dengan kajian-kajian ilmiah itu. Kedua, gerakan PMII lebih disibukkan dengan isu-isu spontanitas dan sporadis. Jika menelisik isu yang dibangun oleh sebagian kader hanya berputar pada soal-soal yang menurut saya “terlelalu sarat kepentingan”, isu “titipan”, senada dengan Bahasa WS. Rendra “para cukong”. Sedikit sekali atau tidak ada isu kerakyatan yang digagas atau lahir dari “kepekaan” sebagai mahasiswa misal, “kaum miskin kota, parlemen watch, pengawasan pembangunan daerah, pertambangan yang berpihak pada rakyat sekitar, lingkungan dan sebagainya, minim sekali !. Skenario yang dapat di bangun untuk mengembalikan khitah gerakan PMII adalah dengan re-orientasi gerakan. Gerakan PMII harus ditarik untuk menggarap isu-isu kerakyatan, lingkungan, kemiskinan ditengah melimpahnya sumber daya alam serta melakukan pengawalan terhadap pembangunan daerah.
Jika manajemen gerakan di sinergikan dengan manajemen keilmuan, saya yaqul yakin di masa depan PMII akan menjadi lokomotif gerakan yang diperhitungkan tidak saja local tetapi juga nasional. Mari kita sudahi stigma “bahwa kader PMII Sulawesi Tenggara hanya jago bicara tetapi lemah dari sisi intelektual (mungkin inimi yang dibilang NATO, not action talk only), sungguh…, mari kita sudahi itu. Saat ini, kita hanya butuh keseriusan para pejabat PMII mulai dari PB PMII sampai Rayon untuk memutar haluan pergerakan kita kembali pada fitrah yang sesungguh sebagai insan Ulul Albab.
Baca Juga : Dari Survei Kepuasan Responden, OJK Sulselbar Perkuat Implementasi Tugas dan Fungsi
Selamat atas pengukuhan sahabat-sahabat senior PKC. PMII Sulawesi Tenggara dan PC. PMII Kota Kendari. “Tangan terkepal dan maju kemuka”
Selamat kepada Kak Adryan Nuralam sebagai Ketua Umum PKC. PMII Sulawesi Tenggara dan kak Alamsyah sebagai Ketua Umum PC. PMII Kota Kendari.
Saya titip keluhan ya kak buat organisasi kita, PMII. (*)