REPUBLIKNEWS.CO.ID, BANJARBARU — Ritmis hujan perlahan berhenti, sesaat hari itu menjadi syahdu dalam pertemuan para penyair, akademisi dan pengunjung Rumah Oettara di jalan Junjung Buih, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Mereka hadir untuk memperbincangkan seabad atau 100 tahun Chairil Anwar (1922-2022 ) bersama Dewi Alfianti, seorang akademisi dari Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Lambung Mangkurat dan Ali Syamsudin Arsi, adalah sastrawan yang merupakan Direktur Kindai Seni Kreatif (KSK).
Suasana itu semakin asyik, kala mereka silih berganti membacakan karya puisi-puisi Chairil Anwar. Mulai dari Derai-derai Cemara, Diponegoro, Krawang-Bekasi, Sia-sia, Senja di Pelabuhan Kecil, Cinta dan Benci, hingga yang paling popular puisi Aku.
Kata Founder Rumah Oettara, Novyandi Saputra bahwa kegiatan ini merupakan kolaborasi bersama antara Rumah Oettara dan Kindai Seni Kreatif. “Siapa pun yang mandengar nama Chairil Anwar, pasti fikirannya akan tertuju pada satu kata, yaitu puisi. Chairil Anwar tak bisa dipisahkan dari sejarah panjang Sastra Indonesia,” ucapnya kepada republiknews.co.id, Minggu (31/7/2022) malam.
Baca Juga : Pastikan Tepat Sasaran, Tamsil Linrung Inisiasi Posko Pengaduan Program Strategis Presiden di Sulsel
Meski hidup singkat, kata Novyandi, sebagai manusia namun tidak sebagai seorang seniman yang melahirkan karya- karya abadi. Menurutnya, Chairil telah berhasil memberi pengaruh yang dalam pada persajakan modern Indonesia.
“Bahkan nafasnya yang hadir secara esensial bisa kita rasakan pada dunia puisi Indonesia, hingga sekarang ini,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Ali Arsy memandang dalam gambaran tentang bagaimana karya-karya puisi Chairil, yang memberi ruang tersendiri terhadap dunia kesusastraan Indonesia.
Baca Juga : Angkat Ikon Geopark di Bandara Hasanuddin, Gubernur Sulsel: Gerbang Awal Promosi Pariwisata Sulsel
“Pengaruh Chairil ini tak lepas dari Kanon Sastra, yang cukup menitik beratkan kepada Chairil dan karya-karyanya,” katanya.
Ali Arsy juga menyebut soal patron pembacaan puisi yang selalu
tak bisa lepas dari perspektif-perspektif lama, baginya sekarang perlu banyak model dan cara memaknai puisi sebagai media ekspresi.
Sementara, Dewi Alfianti melihat aspek lain dari narasinya tentang puisi-puisi Chairil. Di era Angkatan 45, Dewi menyebut Chairil justru diskursus terhadap angkatan tersebut.
Baca Juga : Resmi Disetujui, Pemkot dan DPRD Makassar Perkuat Regulasi Kearsipan, Pesantren dan Tata Kelola Keuangan
“Chairil hadir sangat personal dan liberalis membicarakan “keakuan”-nya. Namun justru hal semacam itu yang memberi dia sesuatu yang berbeda dan memberi pembaharuan terhadap dunia kesusastraan Indonesia,” paparnya.
Malam yang dibarengi gerimis yang syahdu ini juga menambah suasana diskusi semakin panjang. Kehadiran para sosok sastrawan lainnya yakni Hajriansyah, Ketua Dewan Kesenian Banjarmasin, He Benyamine, Direktur Akademi Bangku Panjang MGR, Sastrawan Abdurrahman Elhusaini, serta Forum Senias Banua dan para penggiat sastra Banua.
Melalui kegiatan ini juga muncul wacana tentang melihat kembali peta sastra Banua, terutama berkaitan dengan jejak rekam karya tokoh-tokoh sastra di Kalimantan Selatan. Bahwa berangkat dari peringatan seabad Chairil ini memberi ruang apresiasi luas terhadap sastrawan Banua dengan karya-karyanya.
Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional
Adapun disela itu, Rumah Oettara masih menggelar pameran Intim Hajriansyah hingga 23 Agustus 2022 ini. Lalu, pada tanggal 3 Agustus 2022 akan digelar diskusi tentang Iklim Seni Rupa Indonesia; Studi Bahas Seni rupa Kalimantan Selatan” dengan pembicara Rokhyat dan Hajriasnyah.
“Silakan datang dengan Bahagia dan menambah pengetahuan secara bersama,” tandas Novyandi.(*)
