0%
logo header
Rabu, 21 Agustus 2019 08:09

OPINI: Beri Keadilan Untuk Saudara Kami yang Papua

(FOTO: Ist)
(FOTO: Ist)

Oleh: Mayris (Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muslim Indonesia)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, – Belum sempat air ludah kita mengering di kerongkangan saat mengucap bait nasionalisme, belum sempat surut juga imajinasi kemerdekaan secara total dalam ubun, belum sempat pula semangat tentang satu persaudaraan atas nama bumi indonesia lenyap dalam tanah interniran ini.

Rasanya semuanya memang belum sirna!

Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe

Apalagi usia 74 tahun bukan usia yang terbilang singkat, juga terbilang muda, juga karena jumlah usia itu tidak sendirinya jatuh dari langit, bukan juga karena lahir begitu saja sesuai kehendak apa adanya. Tetapi dipapah dengan perjuangan oleh ribuan nyawa yang turut lenyap serta simbahan darah mengalir dibaliknya.

Jauh sebelum tahun 1945. Oleh bangsa koloni, harga diri kita benar-benar diluntah, hidup
dibawah ketiak untuk diajarkan membungkuk serendah-rendahnya dengan represif dan intimidasi. Tak tanggung-tanggung martabat manusia-manusia kita dilecehkan dengan tabiat kebengisan. Diperkosa, dihujani gelimang caci, diadu domba serta semua hak-hak individu kita dirampas tanpa pamit,
disaat yang sama kekayaan Alam kita diperas habis untuk menjadikan sekolompok orang-orang itu menjadi mapan. Mulai dari Portugis, Spanyol, Prancis, Ingris, Belanda, hingga fasisme Jepang. tabiat kejam itu dilakukan pada bangsa kita.

kisah pahit itu harusnya menjadi memoar yang patut direnungkan semua orang yang mendaku sebagai bangsa indonesia ini, merefleksikan kejamnya bentuk penindasan yang benar-benar menyayat kemanusian itu jauh melampui alam konserfatif kita. Alasanya bukan untuk dendam pada para penjajah, tapi lebih kepada bagaimana kita mengharagai torehan sejarah serta pejuang-pejuangnya yang turut nisbah didalamnya, seperti luka untuk merasai bagaimana bengisnya duka masa lalu saat martabat kemanusiaan kita direndahkan dengan sebutan pribumi sebagai bangsa monyet yang bodoh dan rendah nilai.

Baca Juga : Dari Survei Kepuasan Responden, OJK Sulselbar Perkuat Implementasi Tugas dan Fungsi

Bukan malah menduplikat prektek-praktek bengis itu untuk diulang pada manusia sebangsa kita hari ini.

Apalagi mereka adalah orang Papua yang tak ada satu orangpun dibumi ini akan menolak kalau tanah mereka adalah sumber penghidupan bagi bangsa ini, yang tanahnya adalah jibun kekayaan untuk menopang ekonomi negara ini agar mampu membiayai dirinya sendiri, termaksud sumber-sumber dimana beberapa kelompok orang mempunyai kesempatan untuk mencuri kekayan bangsa itu.

Sejak dulu sampai sedetik ini sekelompok orang yang berteriak atas nama nasionalisme sembari menyembunyikan sifat opurtunisnya mengimajinasikan Papua hanya sekedar imajinasi wilayah, bukan imajinasi tentang rasa persaudaraan sesama bangsa. Itulah bentuk imajinasi archipelago dari orang-orang munafik yang terus dipelihara dan tanpa malu dibentang dari Sabang sampai Merauke kita.

Baca Juga : Inspiring Srikandi, PLN UIP Sulawesi Dorong Pelaku Usaha Perempuan Single Parent Makin Berdaya

anggapan manusia papua sebagai manusia ‘primitif.’ terlalu sering melintas dalam benak kita, kemanusian mereka diukur dari keadaan fisik semata,
Mereka tidak pernah diajak bicara seperti halnya manusia kebangsaan kita sendiri,
Mereka dianggap tidak cakap untuk menentukan hidup sehingga harus ditentukan oleh pihak-pihak luar yang bukan dari suku mereka.

Misal New York Agreement pada 1962 ditentukan oleh Indonesia, Amerika, dan Belanda. Pepera 1969 hanya diikuti 1025 orang (tidak semuanya orang Papua asli) dengan manipulasi, intimidasi, dan ancaman senjata (MS).

Jenis tindakan ini seolah-olah layak didapati orang papua.

Baca Juga : Korban Kebakaran di Bu’nea Gowa Akan Dibangunkan Rumah Layak Huni

Tak jauh berbeda pula dengan represif yang terjadi di-empat kota (Surabaya, Semarang, Malang dan Makassar) kamarin, sekolompok orang masih saja memperlakukan mereka dengan semenah-menah Merongrong mereka dengan tindakan represif atas nama simbol bangsa dan jibun nasionalisme yang toh adalah omong kosong tentang rendahnya pemahaman kebangsaan.

Mereka Mendaku sebangsa dijagat ini tapi tindak kekerasan masih tumbuh subur dalam perlakuan.

Bukankah itu benar-benar ambigu?

Baca Juga : Korban Kebakaran di Bu’nea Gowa Akan Dibangunkan Rumah Layak Huni

Lantas apa nama yang tepat memaknai itu kalau bukan merekalah yang sebenarnya primitif, hidup dengan segala pemahaman yang penuh kecurangan dan tipu daya untuk menjejal manusia lainnya.

Penindasan manusia berbasis Rasisme yang berkecamuk pada teman-teman papua seperti kemarin patutlah dihentikan dan itu harus menjadi yang terakhir sampai bumi ini hancur tanpa terkecuali.

Demikian sebaliknya pelakunya tidak ditoleril, harus di-adili sesuai mekanisme hukum yang ada, karena ini bukan persoalan ganti rugi kerusakan asrama semata, atau membuat mereka tenang membentengi asramanya dengan berlapis-lapis anggota Militer.

Baca Juga : Korban Kebakaran di Bu’nea Gowa Akan Dibangunkan Rumah Layak Huni

Tapi hal ini menyangkut perendehan martabat manusia yang tentu
Penyelesaiannya tidak seremeh-temeh itu. Lebih kepada bagaimana kita adil dalam perbuatan, menghargai keamanusiaan dengan segala perbedaan etnis didalamnya, dan yang paling penting untuk saat ini adalah bagaimana kita memperlakukan manusia secara sama dimata hukum tanpa melihat latar belakang agama, suku, dan rasnya apa.

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646