0%
logo header
Senin, 10 April 2023 13:24

OPINI: Politik Uang, Membentuk Pejabat Korup dan Masyarakat yang Serakah

OPINI: Politik Uang, Membentuk Pejabat Korup dan Masyarakat yang Serakah

Oleh: Riki, SE., MM. (Bendahara GP Ansor Buton Tengah)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Politik uang adalah suatu bentuk pemberian materi atau janji untuk menyogok seseorang baik agar orang tersebut tidak menggunakan hak pilihnya maupun agar ia menggunakan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan untuk mengikuti kemauan para penyogok.

Fenomena politik uang bukan hal yang tabu lagi menjelang tahun politik, justru menjadi syarat jika seseorang ingin berkompetitor hal utama yang perlu dipersiapkan adalah modal uangnya untuk hari H. Mereka biasanya menyebutnya untuk serangan fajar.

Baca Juga : Divonis 8 Bulan, SS: Bawaslu dan Gakumdu Jangan Tebang Pilih Pelanggaran Pemilu

Potret politik uang memang bukan baru kali ini terjadi, namun kerap mewarnai pesta demokrasi kita semenjak system pemilihan terbuka mulai disahkan. Penjelasannya, politk uang adalah suatu cara competitor membeli suara pemilih, menukar hak pilihnya dengan uang, bingkisan sembako atau memberi kekuasaan yang sifatnya transaskisonal.

Seperti yang dikutip pada jurnal ismawan (1999), politik uang itu ibarat sebuah tindakan kompetitor untuk mempengaruhi perilaku pemilih dengan imbalan tertentu agar mengakomodir kepentingan mereka.

Senada dengan Aspinall dan Sukmajati (2015), politik uang merupakan upaya menyuap/menyogok pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap. Analoginya, seseorang yang telah diberi uang pada hari pemilihan berarti ia telah disogok/telah disuap sehingga pemilih wajib mengikuti apa keinginan pemberi suap.

Baca Juga : Bawaslu Gowa Identifikasi Kupon Sembako Bentuk Lain Politik Uang

Budaya politik uang secara implisit membetuk karakter koruptor para electoral dan sektoral, mereka tidak lagi berpikir soal benar dan salah melainkan bagaimana soal menang dan kalah. Maka dengan cara-cara apapun dilakukan untuk dapatkan kekuasaan. Tepatnya seperti Karakter Macheavellian, untuk mendapatkan kekuasaan cara apapun dilakukan apapun risikonya.

Quotes Macheavelli menjadi benar dengan adanya gambaran politik di Daerah, kaum capital, atau birokrat seringkali meneror pemilih agar menjual hak politik mereka saat tiba hari pemilihan nanti. Mengancam, mengitimidasi jabatan, usaha yang digeluti tidak akan bermitra lagi atau berakhir pemecatan jika pemilih tidak patuh. Dalam kondisi tertentu, seseorang mau tidak mau suka tidak suka terpaksa haru mengikuti keinginan kaum Macheavellian, mendapatkan kekuasaan dengan cara-cara kotor dan korup.

  • Bahaya Politik Uang

Praktik politik uang telah merusak sistem demokrasi di Indonesia, menyebabkan demokrasi yang tidak sehat atau tidak stabil, demokrasi yang seharusnya “bebas” menjadi tidak bebas hanya karena pembelian hak pilih tersebut.

Baca Juga : Di Palopo, Ketua Bawaslu Sulsel Ingatkan Bahaya “Racun” Politik Uang

Kedaulatan yang seharusnya menjadi milik semua orang, kini hanya menjadi pemilik uang, kekuasaan yang sebenarnya berada pada rakyat kini hanya berada pada “pemilik uang”.

Akhir dari politik uang membentuk pejabat yang korup, haus jabatan dan membentuk demokrasi yang buruk. Praktik tersebut akan menghasilkan pemimpin yang tidak representative secara program dan tidak mengakomodir kepentingan banyak orang. factor utamanya adalah figure tersebut mengumpul uang “balik modal” yang dikeluarkannya selama momentum politik. (Arif, 2023)

Selain pejabat yang korup, dampak dari politik uang juga membentuk keserakahan masyarakat lapisan bawah. Hasil penelitian dari LIPI 2019 (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) menganggap pesta demokrasi itu sebagai ajang “bagi-bagi rezeki”.

Baca Juga : Riki Saliwu: “Miris” Jika Kampus B USN Buteng Dinilai Sebagai Langkah Politis

“Dari hasil survey tersebut, mayoritas responden menerima serangan fajar. ditemukan bahwa 40 persen responden mengaku menerima uang dari peserta pemilu, tapi tidak mempertimbangkan memilih mereka. Sementara 37 persen menerima uang dan mempertimbangkan memilih pemberinya sisanya tidak memberi komentar.”

Perspektif ini secara langsung telah membentuk tradisi pemilih yang serakah dengan siap menerima suap, tindakan kaum electoral juga telah membentuk tradisi pemilih yang siap menerima suap dan sogokan. Sintesa dari penulis mengungkpakan tiga dampak dari politik uang, yakni rusaknya system demokrasi, melahirkan pejabat yang korup dan rusaknya paradigm bangsa.

  • Menolak Politik Uang, Memutus Rantai Korupsi

Sebagai kaum intelektual dan sadar akan rusaknya moral sebuah bangsa perlu kiranya kita sebagai orang yang tedidik menyikapi hal-hal tersebut, misalnya mencegah hal-hal yang mungkin terjadi dalam praktik politik uang, salah satunya adalah:

  1. Menolak praktik politik uang yang ditawarkan tim sukses calon dalam bentuk apapun.
  2. Kaum intelektual harus menjunjung tinggi prinsip demokrasi langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagai bentuk tindakan preventif dalam praktik politik uang.
  3. Kaum intelektual harus mampu mensosialisasikan bahaya praktik politik uang menggunakan bahasanya kepada publik agar mudah dipahami.
  4. Memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa praktek politik uang adalah tindakan yang korup bagi keberlangsungan demokrasi kita
  5. Mengajak masarakat agar menjadi pengawas, bahwa politik uang merupakan kejahatan yang terstruktur, “Sanksi politik uang diatur dalam pasal 187A ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada, bahwa setiap orang dilarang menjanjikan dan memberi uang atau materi lainnya, maka pemberi dan penerima sama mendapatkan sanksi pidana 72 bulan dan Rp1 miliar,”.

Baca Juga : Riki Saliwu: “Miris” Jika Kampus B USN Buteng Dinilai Sebagai Langkah Politis

Sehingga dari sini para intelektual bisa menjadi pionir dalam mencegah praktik politik uang yang merusak moral bangsa. (*)

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646