REPUBLIKNEWS.CO.ID, JAKARTA — Kinerja sektor jasa keuangan syariah secara nasional berhasil menguat dengan pertumbuhan positif. Terutama pada capaian industri perbankan maupun saham syariah.
Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Mirza Adityaswara mengatakan, kinerja intermediasi sektor jasa keuangan syariah masih tumbuh positif secara year on year (yoy). Dimana, dengan pembiayaan perbankan syariah tumbuh 8,38 persen atau mencapai Rp666,04 triliun.
“Pembiayaan perbankan syariah kita hingga Juni 2025 cukup baik, ada kenaikan 8,38 persen atau dari capaian kita di tahun lalu sebesar Rp614,57 triliun. Ini sebuah capaian yang maju,” katanya, dalam Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDK) OJK, kemarin.
Baca Juga : Dari Aduan Warga hingga Layanan Online Terpadu, Wamendagri Akui Digitalisasi Makassar yang Terbaik
Selanjutnya, pada total aset perbankan syariah di periode yang sama tahun ini telah mencapai Rp967,33 triliun. Capaian ini menunjukkan market share sekitar 7,41 persen. Di sisi dana pihak ketiga (DPK) syariah mencapai sebesar Rp738,84 triliun.
“Di DPK perbankan syariah kita secara nasional itu menunjukkan pertumbuhan 6,98 persen dengan capaian periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp690,66 triliun,” terang Mirza.
Ia melanjutkan, kemudian pada industri keuangan syariah, indeks saham syariah (ISSI) menguat 17,62 persen year to date (ytd) atau mencapai Rp8,486 triliun hingga Juli 2025. Kemudian pada realisasi Asset Under Management (AUM) Reksa Dana Syariah tumbuh 22,48 persen ytd menjadi Rp61,91 triliun.
Baca Juga : Hasil Lengkap CostuMAXI 2025: XMAX, NMAX, Aerox dan Lexi Punya Raja Modifikasi Baru
“Jika dilihat pada kontribusi asuransi syariah begerak stabil di level 0,04 persen, dan piutang pembiayaan syariah tumbuh 9,56 persen,” ujarnya.
Di industri asuransi, sebagai tindak lanjut Pasal 9 POJK Nomor 11 Tahun 2023, 41 perusahaan telah menyampaikan perubahan Rencana Kerja Pemisahan Unit Syariah (RKPUS), dimana 29 perusahaan menyatakan akan melakukan spin-off unit syariah dengan mendirikan perusahaan baru dan 12 perusahaan akan mengalihkan portofolio kepada perusahaan lain.
Dalam periode 2025 direncanakan 18 perusahaan akan melakukan spin off unit syariah dengan mendirikan perusahaan baru dan 8 perusahaan mengalihkan portofolio kepada perusahaan lain. Sejak Mei 2025, terdapat 1 unit usaha syariah yang sedang memulai proses spin off dengan pendirian perusahaan baru.
Baca Juga : Tekankan Integritas dan Loyalitas, Wawali Makassar Buka Kegiatan Retret Lurah di Malino
Selain itu, OJK juga terus melakukan penguatan kolaborasi dan aliansi strategis pengembangan keuangan syariah, termasuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan syariah, antara lain, pertama, pengukuhan keanggotaan Komite Pengembangan Keuangan Syariah (KPKS) yang menjadi wadah strategis untuk membahas dan merumuskan solusi atas berbagai isu kompleks yang dihadapi industri keuangan syariah.
“Kehadiran KPKS sebagai komite internal OJK akan memperkuat peran OJK dalam menyelaraskan regulasi, fatwa, dan praktik operasional keuangan syariah dalam satu kesatuan kerangka kebijakan yang kohesif dan terintegrasi,” jelasnya.
Kedua, peluncuran Laporan Perkembangan Keuangan Syariah Indonesia (LPKSI) 2024. Laporan ini menjelaskan strategi industri keuangan syariah yang dinilai mampu mempertahankan kinerja dan beradaptasi di tengah dinamika global. Ketiga, implementasi produk unik bagi industri perbankan syariah sebagai bagian dari pelaksanaan tindak lanjut Roadmap Pengembangan dan Penguatan Perbankan Syariah Indonesia (RP3SI) 2023-2027 dalam rangka memperkuat karakteristik produk perbankan syariah.
Baca Juga : Wali Kota Makassar dan Rektor UMI Teken MoU Penguatan Akademik hingga Pemberdayaan UMKM
Keempat, pengenalan kerangka Internal Liquidity Adequacy Assessment Process (ILAAP) dengan industri Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) yang merupakan salah satu komponen dari standard internasional yang berkaitan dengan Liquidity Coverage Ratio pada FGD.
“Ini dilakukan dalam rangka memperkuat pengelolaan likuiditas di industri BUS dan UUS,” kataya.
Sementara, ILAAP adalah self assessment industri atas kondisi likuiditas internalnya, sehingga diharapkan mampu menjadi parameter likuiditas yang lebih representatif dengan ukuran, karakteristik dan kompleksitas industri dimaksud, yang pada akhirnya akan membantu BUS dan UUS mengelola likuiditas secara lebih efektif dan efisien guna mendorong penguatan bisnis ke depannya.