0%
logo header
Jumat, 14 Oktober 2022 14:08

Perjalanan Panjang Upaya Hukum Kasus Kekerasan Seksual Perempuan Disabilitas: Kesaksian Dianggap Lemah hingga Mandek tak Selesai

Redaksi
Editor : Redaksi
Ragam kekerasan seksual perempuan penyandang disabilitas. (Muh. Irham)
Ragam kekerasan seksual perempuan penyandang disabilitas. (Muh. Irham)

“Saya kemudian pesimis kalau kasus anak saya ini dapat selesai dengan adil”

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Sara (nama samaran), mengenakan kaos oblong berwarna ungu dengan celana jeans selutut. Matanya yang terus tertuju kepada penulis mengisyaratkan dirinya sedang mencari tahu, siapakah yang datang bertandang ke rumah kontrakannya di salah satu wilayah di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Jumat, 16 September 2022 malam itu.

Di samping Sara, duduk perempuan berbadan kurus sekitar usia 40-an tahun. Ia adalah ibu Sara, Ia nampak sibuk melihat beberapa lembar kertas, yang belakangan penulis tahu itu adalah resep dokter yang ingin ditebus.

Baca Juga : Cerita Perempuan Pekerja Disabilitas: Saya Dibully Rekan Kerja, Saya Ditolak Siswa

Ibunda Sara menyebutkan, rata-rata obat itu dikonsumsi untuk menghilangkan kejang-kejang Sara yang dalam setahun ini mudah kambuh. Terhitung sejak enam bulan terakhir Sara harus mengonsumsi obat setiap hari tanpa henti.

“Saya kalau mengingat dan bercerita kembali soal Sara, saya tidak bisa menahan air mata saya, sakit sekali kalau diingat,” kenang Ibunda Sara.

Sara adalah disabilitas intelektual yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Ia menjadi korban oleh empat pelaku berbeda, satu di antaranya bahkan adalah ayah tirinya.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Dari beberapa kasus yang dilaporkan ke aparat penegak hukum, tak ada satu pun yang menemukan titik terang. Padahal saat itu usianya masih sangat muda (di bawah 17 tahun).

Beberapa kali ibunda Sara hanya menarik napas panjang, dan diam dalam waktu yang cukup lama, seperti berusaha mengumpulkan tenaga untuk melanjutkan cerita. Dengan bibir bergetar, Ibunda Sara melanjutkan ceritanya.

Sesekali dia mengutuk diri, mengapa harus Sara yang menerima nasib seburuk itu. Mengapa anaknya yang seorang disabilitas harus mendapatkan perilaku tak berperikemanusian dan tidak adil justru dari orang-orang sekitar.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

“Semua kejadian pelecehan seksual yang menimpa anak saya, saya laporkan. Kejadian pertama itu yang paling membuat terluka,” katanya yang tak kuat menahan tangis.

Pemerkosaan pertama, cerita Ibunda Sara, terjadi sekitar tahun 2016-2017 lalu, Sara diperkosa oleh anak usia SMA di dekat rumah kontrakannya. Setelah mengetahui anaknya menjadi korban pemerkosaan dengan bukti-bukti yang dia temukan, dirinya pun datang melapor ke Polrestabes Makassar.

“Waktu itu vagina anak saya berdarah, saya di suruh pergi visum, hasilnya betul ada tindakan pemerkosaan. Dengan bukti itu saya ke Polwil (Polrestabes Makassar). Namun selang beberapa tahun, perkembangan dari laporan saya bahkan tidak ada sama sekali,” terangnya.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Bahkan dalam laporannya, ibunda Sara telah menjelaskan, bahwa dirinya tahu siapa yang diduga pelaku pemerkosa anaknya, termasuk rumah diduga pelaku. Namun karena tidak adanya perkembangan dari pihak kepolisian, Ia pun nekat untuk mendatangi rumah diduga pelaku. Hanya saja sampai di sana, Ia hanya menemui orang tua yang mencoba menyembunyikan perilaku buruk anaknya. 

Kemudian, pada kasus kedua, Sara kembali menjadi korban pelecehan yang dilakukan di halaman sekolah dekat rumah Sara. Sara waktu itu diberikan kesempatan bermain di luar rumah kontrakannya yang hanya berbetuk kamar-kamar, karena ibunya percaya anaknya takkan ke mana-mana. Saat bersiap-siap akan berkerja, ibunya dapat laporan dari tetangga kalau ia melihat Sara sementera mengenakan celana di halaman sekolah, dan saat bersamaan ada dua laki-laki yang berlari kabur meninggalkan Sara.

Tak berpikir lama ia langsung memeriksa celana Sara, posisinya pun tidak seperti sebelumnya. Saat ia pertama kali memasangkan celana. Ia pun membatin anaknya kembali menjadi korban pemerkosaan.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

“Saya yang pasangkan celananya. Memang celananya terbalik, saya periksa celana dalamnya saya melihat cairan seperti sperma. Saya di situ syok karena ini sudah yang kedua kalinya, dalam hati saya berpikir anak saya sudah hancur,” katanya menangis tersedu-sedu.

Setelah kejadian itu, untuk kedua kalinya dirinya pun datang ke Polrestabes Makassar dengan laporan yang sama yaitu kasus pemerkosaan dan pelecehan anak di bawah umur. Hanya saja prosesnya hanya sampai proses BAP (berita acara pemeriksaan).

“Saya lupa nama penyidiknya, dia cuman bikin BAP tapi tidak ada solusinya, padahal waktu itu Sara masih di bawah umur,” ujar Ibunda Sara sambil menutup mata, seolah menahan sakit yang masih terekam jelas dalam memori.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Di kasus lainnya, keadilan hukum bagi anaknya juga masih menemukan jalan buntu. Bahkan ironinya hasil visum dari hasil pelecehan seksual pada 2020 lalu disangkakan penyidik.

“Di kasus ketiga pada 2020 lalu saya lagi-lagi datang melapor, waktu itu saya datang bawa barang bukti CCTV dari tetangga di kontrakan. Saya nilai barang bukti ini kuat, karena terlihat jelas anaknya di bawa dua orang dewasa menggunakan sepeda motor, hanya saja wajah kedua orang itu tidak jelas,” katanya mengisahkan.

Laporannya pun diterima, hingga berselang beberapa hari dirinya dihubungi penyidik untuk datang menerima informasi lanjutan. Tetapi sayangnya informasi yang diterima itu melukai hatinya, bahkan pernyataan itu masih membawa luka menyakitkan jika dikenang kembali.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

“Dia bilang ke saya hasil visumnya memang ada tindakan kekerasan atau pelecehan seksual, tapi tidak terlalu dalam. Dengar itu saya langsung putus asa, saya bilang meskipun tidak terlalu dalam namanya pelecehan itu tetap harus diproses. Tapi saya mencoba mengikhlaskan,” katanya.

Ibunda Sara pun kini tak berharap banyak, sebab dirinya telah merasa putus asa bahwa kasus-kasus kekerasan seksual yang menimpa anaknya bisa mendapatkan keadilan. Kini dirinya hanya berharap Sara bisa mendapatkan akses sebagai ruang untuk mengembangkan bakatnya dan aman dari segala bentuk kekerasan. Sebab dirinya meyakini anaknya bukan orang gila yang memiliki gangguan kejiwaan seperti yang dituduhkan orang-orang ke anaknya.

“Sekarang yang saya harap bagaimana Sara bisa sehat dan bisa saya jaga semaksimal mungkin. Karena sejujurnya saya takut jika ada yang berbuat jahat ke dia lagi, saya takut dia hamil, karena saat ini dia sudah dewasa,” katanya sambil menyandarkan Sara di pangkuannya, kemudian mencium kening Sara.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Kesaksiannya Dianggap Palsu dan Bohong

Hampir seluruh ragam penyandang disabilitas rentan mendapatkan kekerasan seksual. Meski demikian korban didominasi disabilitas intelektual dan mental. (Foto: Chaerani/Republiknews.co.id)

Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Sulawesi Selatan Maria Un mengatakan, dalam kasus kekerasan seksual yang didampingi, catatan ketidakadilan proses hukum oleh perempuan penyandang disabilitas bukan hanya ada di ranah kepolisian saja, tetapi juga di tingkat kejaksaan, hingga pengadilan.

Kesaksian dari korban perempuan penyandang disabilitas sering kali ditolak karena dianggap lemah. Bahkan tidak sedikit kesaksiannya dianggap bohong. Kondisi ini tentunya karena tidak adanya perspektif dari aparat penegak hukum tentang penyandang disabilitas.

Halaman
Penulis : Chaerani Arief
Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646