0%
logo header
Jumat, 14 Oktober 2022 14:08

Perjalanan Panjang Upaya Hukum Kasus Kekerasan Seksual Perempuan Disabilitas: Kesaksian Dianggap Lemah hingga Mandek tak Selesai

Redaksi
Editor : Redaksi
Ragam kekerasan seksual perempuan penyandang disabilitas. (Muh. Irham)
Ragam kekerasan seksual perempuan penyandang disabilitas. (Muh. Irham)

“Sehingga, jika ingin memberikan pendampingan hukum perlu memahami cara-cara berkomunikasi dengan mereka,” kata Fauziah.

Belum lagi pada kondisi trauma korban kekerasan yang dialami penyandang disabilitas itu sangat berbeda dengan nondisabilitas. Misalnya, untuk mengetahui adanya traumatik saja perlu menggunakan alat peraga, sebab informasi yang sampai ke mereka itu sangat terbatas. Apalagi pada pengetahuan kekerasan seksual, perlu diberikan pemahaman.

“Butuh waktu yang sangat panjang untuk merekonstruksi peristiwa pada korban penyandang disabilitas terutama disabilitas tuli, intelektual dan mental. Bahkan tiga bulan pun kadang kita belum bisa membuat kronologi karena keterangan selalu berubah sesuai kondisi perasaan dan ingatannya,” terangnya.

Baca Juga : Cerita Perempuan Pekerja Disabilitas: Saya Dibully Rekan Kerja, Saya Ditolak Siswa

Kasus kekerasan seksual lainnya yang berhasil diselesaikan dengan menjerat pelaku yakni pada kasus PE, perempuan penyandang disabilitas tuli pada 2019 lalu. Dalam laporan LBH Makassar, PE diperkosa oleh tetangganya dengan cara tipu muslihat, hingga korban sampai hamil dari persetubuhan tersebut. Pelaku berhasil dijerat dengan vonis 12 tahun penjara.

Kehadiran UU TPKS Menjadi Harapan Bersama

Banyaknya kendala dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual di hadapan hukum disebabkan belum adanya standar operasional prosedur (SOP) dan prespektif dari penegak hukum terkait penanganan kasus terhadap perempuan atau anak perempuan berhadapan dengan hukum. Sehingga dengan adanya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada 12 April 2022 menjadi harapan bersama.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Menurut Ketua LBH Apik Makassar Rosmiati Zain, dalam UU TPKS ini telah mengatur aturan khusus dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan dan anak penyandang disabilitas. Sehingga harapan bersama bagaimana UU TPKS ini betul-betul dipahami aparat penegak hukum dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual.

Misalnya, memudahkan korban untuk melewati penyelidikan, penyidikan, dan memudahkan saksi bagi mereka. Termasuk aturan dalam UU TPKS tersebut yang membahas tentang saksi korban, yaitu cukup korban sendiri harus dipahami.

“Dalam UU TPKS itu dikatakan cukup satu saksi, yaitu korban saja. Tidak perlu ada saksi yang lain. Kemudian satu alat bukti, tidak hanya visum tetapi bukti yang lain, setelah itu keyakinan hakim, itu sudah cukup menghukum pelaku,” terangnya menjelaskan.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Pentingnya UU TPKS ini menjadi rujukan dari penegak hukum, sebab banyaknya kendala dalam menyelesiakan kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan penyandang disabilitas disebabkan pemahaman aparat penengak hukum yang masih sangat minim. Terutama pemahaman terkait kerentanan pada kelompok mereka.

“Jika kita berbicara perempuan penyandang disabilitas banyak hal rentan yang perlu kita lihat. Dia rentan dengan kondisi disabilitasnya, rentan sebagai perempuannya, dan rentan sebagai anak (jika korbannya adalah anak) dan itu tidak dipahami oleh aparat penegak hukum,” kata Ros.

Selain itu, aksesibilitas yang memadai bagi kelompok penyandang disabilitas juga belum disiapkan maksimal. Misalnya, jika korbannya adalah disabilitas tuli harusnya disiapkan JBI, karena dalam pengalaman pendampingan yang dilakukan banyak kasus yang berhenti atau mandek karena alasan susahnya meminta keterangan dari korban.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

“Hal parah lainnya yaitu jika terjadi perkosaan apalagi berulang dianggapnya itu bukan lagi perkosaan, tapi suka sama suka. Khususnya dengan korban penyandang disabiltas intelektual itu dia punya kondisi tidak mampu menahan, dan menekan hasrat, emosi dan amarahnya. sehingga kondisi kedisabilitasannya harus dipahami, inilah yang harus dipahami oleh aparat penegak hukum,” tegas Ros.

Ketua HWDI Sulsel, Maria juga menyampaikan harapan terbesarnya dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan penyandang disabilitas adalah melalui UU TPKS. Sebagai salah satu pihak yang ikut mengawal penuh poin-poin kebijakan yang menyangkut kelompok disabilitas, tentunya diharapkan dapat diterapkan dengan baik.

Apalagi, memang sebelumnya pemerintah melalui PP Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Apakah dia sebagai saksi, terdakwa atau korban.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

“Kebijakan yang begitu banyak saat ini dimiliki oleh negara untuk melindungi penyandang disabilitas itu tidak serta-merta diikuti dengan komitmen untuk diimplementasikan. Sehingga hasilnya semakin banyak kebijakan yang mengatur tentang penyandang disabilitas, justru makin beragam persoalan dan permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas. Utamanya perempuan dan anak,” tegas Maria.

Kadis DPPA Kota Makassar Achi Soleman juga menilai, meski saat ini telah ada UU TPKS, tetapi masih perlu dilakukan sosialisasi yang masif di seluruh lapisan masyarakat yang ada. Tujuannya agar masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman bahwa telah ada aturan khusus yang bisa mengikat para pelaku kekerasan seksual.

“Dulunya, ketika teman-teman disabilitas mengalami kekerasan, terutama  menjadi korban kekerasan seksual, kendala yang utama itu memang susah mencari bukti, tapi dengan adanya UU TPKS yang baru bahwa dengan satu bukti pun itu sudah cukup dijadikan alat bukti untuk lanjutan dari kasusnya. Kebijakan ini memang menjadi hal yang sangat baik bagi kami,” terangnya.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Meski demikian katanya, pada UU TPKS ini masih memiliki kendala yang harus menjadi perhatian bersama. Yaitu adanya restitusi untuk korban, dalam hal ini yang menjadi pertanyaan jika pelaku kekerasan dalam keadaan tidak mampu, tentunya pelaku merasa berat untuk memberikan restitusi kepada korban. Sementara untuk pengembalian mental, keberlanjutan hidup korban, dan terkait masa depan korban harusnya menjadi perhatian bersama untuk dipikirkan.

Perlu Regulasi Khusus yang Tunggal

Akademisi Hukum Universitas Indonesia Timur (UIT) Nurisnah Hanafi mengatakan, penyandang disabilitas di dalam regulasi yang berlaku saat ini, memang ditegaskan bahwa mereka adalah seseorang yang memiliki keterbatasan. Tidak hanya dalam hal fisik, tetapi juga psikis, sensorik dan motoriknya. Dengan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki memperlihatkan bahwa perlindungan dari aspek kekerasan atau pun tindak pidana yang lain memang harus diperhatikan. Utamanya pada kelompok perempuan dan anak.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Meskipun diakuinya dengan adanya UU TPKS yang telah disahkan pemerintah merupakan angin segar bagi masyarakat, tetapi tentunya dalam UU hanya mencakup proses peradilan secara umum. Sehingga ia menilai perlu adanya regulasi khusus yang mengatur tentang kelompok penyandang disabilitas secara tunggal.

“Rentannya mereka dari segala kondisi, terutama tindak kekerasan maka tentu regulasi yang ada harus mengakomodir itu. Kalau pun sudah ada regulasinya itu juga belum cukup efektif, artinya perlu ada regulasi khusus dalam mengakomodir hak mereka. Utamanya dalam proses tindak pidana,” sebut Isna.

Halaman
Penulis : Chaerani Arief
Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646