REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — “KEMBALIKAN TANAH RAKYAT”, begitulah tulisan spanduk yang dibentangkan massa aksi dari Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT).
Aksi yang kesekian kalinya dilaksanakan ini merupakan bentuk perjuangan petani Bulukumba bersama gabungan organisasi masyarakat sipil yang mentuntut untuk dikembalikannya tanah milik petani yang dirampas oleh perusahaan perkebunan karet yaitu PT. Lonsum. Sebab, berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU) PT. Lonsum telah berakhir sejak 31 Desember 2023, namun nyatanya hingga kini tanah rakyat yang mayoritas petani tak kunjung dikembalikan.
Perjuangan yang dilakukan pun melalui berbagai aksi penolakan dan bentuk lainnya. Kali ini, aksi penolakan mereka lakukan di depan Masjid Al Markas Kota Makassar pada Senin, 19 Februari 2024.
Baca Juga : Tekankan Integritas dan Loyalitas, Wawali Makassar Buka Kegiatan Retret Lurah di Malino
Supianto selaku penanggung jawab aksi menjelaskan, pelaksanaan aksi yang dilakukan di depan masjid dikarenakan telah berlangsung mediasi oleh Kanwil ATR/BPN, di Aula Masjid Al Markas. Dalam mediasi tersebut mempertemukan antara PT. Lonsum dengan masyarakat atau petani.
“Jadi didalam sana ada mediasi yang diselenggarakan oleh Kanwil ATR/BPN yang menghadirkan beberapa pihak termasuk yang selama ini berkonflik yaitu petani Bulukumba dan PT. Lonsum. Sebenarnya kami juga heran kenapa mediasi ini dilaksanakan di aula masjid, bukan di kantor ATR/BPN Sulsel,” katanya, dalam keterangannya.
Baca Juga : Wali Kota Makassar dan Rektor UMI Teken MoU Penguatan Akademik hingga Pemberdayaan UMKM
Ia mengaku, pertemuan dan mediasi tersebut pun baru dapat terlaksana setelah pihaknya rutin melakukan aksi penolakan, hingga mendesak Kanwil ATR/BPN Sulsel agar mengembalikan hak tanah warga yang masih dimanfaatkan PT. Lonsum.
Ahmad, Pimpinan Wilayah Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Sulsel yang juga bertindak sebagai humas GRAMT menerangkan bahwa pembaruan HGU PT. Lonsum mengenyampingkan hak-hak rakyat dan akan semakin memperpanjang konflik agraria di Bulukumba. Sehingga untuk menghindari hal tersebut, pihaknya meminta dan mendesak kepada ATR/BPN Sulsel untuk tidak memberikan pembaruan HGU pada PT. Lonsum.
“Serta meminta mereka untuk berupaya menyesaikan konflik telah terjadi sejak dulu. Kami bahkan beberapa kali melakukan aksi untuk mendesak hal tersebut,” jelasnya.
Baca Juga : Pemerintah Bakal Setop Impor Solar Tahun Depan, FORMID Apresiasi Langkah Menteri ESDM
Bentuk perjuangan lainnya yang telah dilakukan sebagai upaya penolakan yakni melalui mekanisme persuratan. Dimana setidaknya ada empat surat keberatan yang masuk ke Kanwil ATR/BPN Sulsel dengan muatan yang tidak jauh berbeda yang intinya berkeberatan atas permohonan pembaruan HGU PT. Lonsum.
“Kami juga memasukkan surat keberatan. Bukan hanya ke ATR/BPN Sulsel, tapi hingga nasional. Bahkan kebeberapa instansi lain selain ATR/BPN,” katanya.
Hal lainnya diungkapkan Wakil Direktur YLBHI-LBH Makassar Abdul Azis Dumpa. Dalam proses pembaruan HGU PT. Lonsum, pihaknya meminta agar PT. Lonsum untuk mengeluarkan tanah-tanah rakyat dari HGU tersebut.
Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe
“Objek yang kami maksudkan disini ialah berdasarkan Putusan Mahkama Agung (MA) no. 2553 K/PDT/1987, Sertifikat Hak Milik, hasil verifikasi berdasarkan SK Bupati Bulukumba no. 180 / IV / 2012 serta tanah ulayat masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang berdasarkan Perda no. 9 tahun 2015 tentang pengukuhan, pengakuan hak, dan perlindungan hak masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang,” jelasnya.
Menurutnya, kesepakatan penyelesaian sengketa yang difasilitasi oleh kementrian dalam negeri (Kemendagri) pada 2028 harus dijalankan. Dimana, melalui perjuangan yang begitu panjang hingga Kemendagri RI kemudian menyelenggrakan pertemuan untuk penyelesaian konflik atau sengketa dan menghadirkan semua pihak yang terkait.
“Dalam pertemuan itu pula menghasilkan kesepakatan yang pada pokoknya merekomendasikan untuk melakukan rekonstruksi batas HGU dan pengukuran ulang untuk memastikan HGU PT. Lonsum dan hak-hak kaum tani Bulukumba serta masyarakat adat tidak beririsan. Hal itu seharusnya dilakukan sebelum adanya permohonan pembaruan HGU dan sebelum HGU PT. Lonsum berakhir pada 31 Desember 2023. Namun nyata itu tidak ditindak lanjuti hingga saat ini,” tegas Azis Dumpa.
Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe
Kepala Bidang Advokasi dan Kampanye KontraS Sulawesi Al Iqbal mengungkapkan, pertemuan dengan membahas penyelesaian konflik sebenarnya sudah sangat sering dilakukan. Hanya saja menjalankan rekomendasi hasil pertemuan maupun mediasi ini yang tidak kunjung dilakukan.
Salah satunya, tenang Iqbal, pada hasil mediasi di Kemendagri RI pada 2018 yang melahirkan rekomendasi untuk melakukan rekonstruksi batas HGU dan pengukuran ulang untuk memastikan HGU PT. Lonsum dan hak-hak kaum tani Bulukumba, serta masyarakat adat tidak beririsan. Namun itu tak kunjung dilakukan oleh ATR/BPN.
“Abainya pihak yang berwenang akan rekomendasi-rekomendasi yang lahir dari setiap upaya maupun mediasi yang telah dilakukan adalah penyebab dari tidak selesainya sengketa antara warga dengan perusahaan,” terangnya.
Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe
Tidak hanya itu, tidak dijalakannya rekomendasi juga merupakan penyebab kekerasan-kekerasan dimasa lalu hingga saat ini terjadi. Dampaknya pun kaum tani yang ada Bulukumba yang menjadi korban. Berdasarkan Catatan KontraS terkait kekerasan yang terjadi di Bulukumba merupakan hasil dari tidak dijalankannya rekomendasi atau tidak seriusnya pihak yang berwenang dalam menyesaikan konflik tersebut.
“Ini menujukkan gagalnya negara dalam menjamin keamanan dan keselamatan rakyatnya untuk dapat mandiri atas tanahnya. ATR/BPN melalui panitia harus hadir dan memberikan peran aktif untuk menyelesaikan konflik dengan mempertimbangkan dokumen dan informasi dari kedua pihak sehingga syarat clean and clear itu dapat terpenuhi,” tambahnya.
Amiruddin, salah seorang petani mengaku, saat tim verifikasi turun ke lapangan pihaknya telah menemukan beberapa fakta bahwa beberapa lokasi yang ada dalam wilayah PT. Lonsum merupakan tanah garapan warga, kuburan-kuburan, dan sumur.
Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe
“Berbicara soal PT. Lonsum telah masuk pada 1919 dan berada lebih dulu dari pada bukti-bukti yang kami temukan menurut kami itu salah besar. Karena saya saksikan sendiri, bagaimana tanaman-tanaman warga yang ditebang paksa pada 1977 dan semakin meluas areal perampasannya hingga 1990,” katanya.
Sementara, Kepala Kanwil ATR/BPN Sulsel Tri Wibisono mengatakan, ada empat surat keberatan atas permohonan pembaruan HGU PT. Lonsum yaitu dari GRAMT, LBH Makassar, AGRA Bulukumba dan beberapa organisasi mahasiswa. Keberatan itu juga sering mereka lakukan melalui aksi di depan kantor Kanwil ATR.BPN Sulsel.
“Sehingga kami menyimpulkan kalau perlu ada pertemuan mediasi. Kenapa 19 Februari 2024 yang kami ajukan sebagai waktu mediasi, karena kami ingin melewatkan moment pemilu serentak agar dapat berjalan dengan lancar,” katanya.
Baca Juga : Husniah Talenrang Beri Bantuan Pangan ke Warga Miskin Ekstrem di Parangloe
Humas PT. Lonsum Rusli menjelaskan, keberadaan PT. Lonsum di Bulukumba sudah lebih dari 100 tahun tepatnya pada 1919 melalui hak erfpacht. Hak erfpacht artinya jauh sebelum ada SHM, Putusan MA dan Perda Nomor 9 tahun 2015 tentang pengukuhan, pengakuan hak, dan perlindungan hak masyarakat hukum adat Ammatoa Kajang.
“Ini juga telah mendapatkan perpanjangan beberapa kali dan terakhir pada 2021 bermohon untuk diberikan pembaruan. Selama dalam penguasaan, atau selama dalam aktifitas operasional kami tidak pernah mengetahui bahwa didalam HGU kami terdapat tanah-tanah masyarakat adat dan lokal. Tanah yang kami kelola adalah tanah HGU yang diperoleh secara sah berdasarkan peta yang ada,” katanya.