REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara masih terkesan diskriminatif dalam penerapan sanksi. Jika ada yang merusak bendera dan lambang negara, seseorang diganjar sanksi, tidak demikian halnya dengan pelanggaran terhadap pelanggaran dalam penggunaan bahasa. Belum pernah ada seorang pun yang dikenai sanksi sehubungan dengan pelanggaran salah menggunakan bahasa.
Pada pasal 37 ayat 1 disebutkan, Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang dan jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia. Tidak tercantum sanksi terhadap pelanggaran terhadap penggunaan bahasa, sementara pelanggaran terhadap bendera dan lambang negara dikenakan sanksi.
Wacana inilah yang terungkap dalam Seminar Sehari Bulan Bahasa yang dilaksanakan Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Hasanuddin, Senin (28/10/2019) kemarin.
Baca Juga : PLN UIP Sulawesi dan Polda Sulsel Komitmen Jaga Infrastruktur Ketenagalistrikan Berkelanjutan
Dekan FIB Unhas diwakili Wakil Dekan III Dr. Andi Muhammad Akhmar, M.Hum membuka seminar yang menampilkan tiga pemakalah, yakni Prof.Dr.H.Muhammad Darwis, M.S., Prof.Dr.Lukman, M.S. dan Yusrtiady, S.S., wartawan Harian Fajar Makassar. Ketua Departemen Sastra Indonesia FIB Unhas Dr.A.B.Takko, M.Hum mengatakan, seminar ini dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan rasa bangga kita terhadap bahasa Indonesia.
Prof.Muhammad Darwis menjelaskan, bahasa Indonesia merupakan produk linguistik, Sastra, dan Budaya. Di dalam linguistik, bahasa dipelajari sebagai bahasa yang keluaran (out put)-nya struktur bahasa.

Baca Juga : Terima Penghargaan KIP, Pemkab Gowa Ciptakan Keterbukaan Pelayanan Informasi Publik
Menurut Muhammad Darwis, dalam penggunaan bahasa ada kebiasaan konsertavatif,kebiasaan lama, meskipun salah. Dia mengharapkan kepada para dosen FIB Unhas agar tidak menandatangani skripsi mahasiswa jika ejaannya masih berlepotan.
Mengutip Dulay (1982: 150), yang membagi kesalahan berbahasa secara internal itu atas empat kategori, Darwis menjelaskan, yaitu: (1) gejala penghilangan (omission), (2) gejala penambahan (addition), (3) gejala salah konstruksi (misformation), (4) gejala salah urut (mis-ordering).
Darwis memberikan contoh, gejala penghilangan unsur kalimat , misalnya dalam kalimat berikut: (1) Jembatan layang ini untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. [ditambahkan :dibangun]. (2) Ini karena kelalaian kita semua. [terjadi], (3) Penentuan informan dan responden secara purposive. (dilakukan). (4) Sementara dari segi pendapatan belum mengalami peningkatan yang menggembirakan bagi masyarakat sekitar. [tidak ada subjek kalimat]. (5) Di samping itu, untuk mengetahui variabel karakteristik yang paling berpengaruh dominan terhadap kinerja individu kantor di atas. [tidak ada subjek kalimat]
Baca Juga : Indosat Berbagi Kasih: Anak-anak Nikmati Kehangatan dan Sukacita Natal
Gejala Penambahan (Addition). Misalnya dalam kalimat berikut” Studi ini bertujuan untuk menemukenali masalah yang dihadapi masyarakat tani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hubungan antara diklat dengan peningkatan keterampilan teknis pegawai.
Penelitian ini bertujuan ingin mengetahui bagaimana partisipasi masyarakat kota pantai di dalam pemeliharaan kebersihan lingkungan. Penyebabnya adalah karena perpindahan merek jasa mungkin lebih mahal. Pada hari ini adalah merupakan hari pertama para kabinet memasuki kantor masing-masing. Demi untuk kepentingan rakyat banyak mereka rela berkorban apa saja. Namun demikian, dampak pariwisata tidak hanya timbul karena elemen dinamis saja, melainkan juga karena adanya interaksi dengan elemen statis.
Kata-kata :untuk, ingin, karena, dhilangkan, sementara demi untuk, adalah merupakan, namun demikian (dipilih satu kata). Penggunaan kopula “adalah” digunakan menjelaskan definisi sesuatu. Misalnya, gajah adalah binatang bertubuh besar, berkulit keras, dan memiliki belalai. Sementara kata “merupakan” bersifat mendeskripsikan sesuatu. Misalnya, Universitas Hasanuddin merupakan perguruan tinggi terbaik di Indonesia Bagian Timur.
Baca Juga : Perkuat Penerapan K3, PLN UIP Sulawesi Lakukan Management Patrol di GI Punagaya
Menurut Darwis, bahasa Indonesia sebagai produk sebagai produk sastra mencakup stilistika, Telaah puisi, telaah prosa, kritik sastra, dan pragmatik.
Prof. Lukman dalam makalahnya mengatakan, bahasa Indonesia dapat menjadi bahasa dunia jika mampu menempatkan diri alat komunikasi dalam diplomasi, perdagangan, dan dalam penyebaran ilmu pengetahuan dunia. Namun kenyataannya, ke dalam orang Indonesia kurang percaya diri.
Bahasa Indonesia saat ini mengalami kemajuan, yakni dalam penyempurnaan ejaan, gramatikal baku, dan memiliki kamus bahasa Indonesia. Saat ini Kamus Bahasa Indonesia memiliki 90.000 kosakata. Jumlah ini masih kecil jika dibandingkan bahasa Inggris yang sudah mencapai 1 juta kosakata.
Baca Juga : Perkuat Penerapan K3, PLN UIP Sulawesi Lakukan Management Patrol di GI Punagaya
“Bahasa Inggris mengalami pertambahan 8.000 kosakata per tahun,” ujar Lukman yang pernah mengajar di Korea Selatan tersebut.
Bahasa Indonesia belum berdaulat di negara sendiri,terutama jika dikaitkan dengan penamaan nama-nama gedung dan produk yang juga disinggung di dalam pasal 37 ayat 1 UU No.24 Tahun 2009 yang berkaitan dengan penamaan gedung. Implementasi UU tersebut belum sesuai dengan harapan. Yang dikambinghitamkan adalah globalisasi.
Menurut Lukman, yang sangat mungkin bagi bahasa Indonesia adalah menjadi bahasa ASEAN, karena sudah ada empat negara yang menggunakan bahasa Melayu (Indonesia).
Baca Juga : Perkuat Penerapan K3, PLN UIP Sulawesi Lakukan Management Patrol di GI Punagaya
Sementara Yusriady dalam paparannya menjelaskan, kesulitan dalam penggunaan bahasa di media disebabkan para wartawan memiliki latar belakang pendidikan, khususnya kemampuan pengetahuan kebahasaan yang bervariasi. Salah satu upaya memperbaiki aspek kebahasaan di media cetak dilakukan dengan rapat evaluasi yang dilaksanakan setiap hari. (M. Dahlan Abubakar)
