REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Sistem Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Sipasti) yang dikelola Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) mencatat Sulawesi Selatan masuk menjadi 10 besar provinsi dengan pengaduan pinjaman online dan investasi ilegal terbanyak secara nasional.
Analis Kelompok Spesialis Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Arum Sulitiyaningsih menyebutkan bahwa jumlah pengaduan pada aktivitas pinjaman online (pinjol) ilegal di Sulawesi Selatan berada diurutan ke 10 nasional. Dimana dengan angka pengaduan sebesar 460 pengaduan, sedangkan di wilayah Sulawesi Barat sebanyak 29 pengaduan.
“Pengaduan terkait pinjol ilegal sepanjang Januari ke November 2025 terbanyak yaitu Jawa Barat dengan total 3.955 pengaduan. Kalau Sulsel sendiri diurutan delapan, kemudian Sulbar 34 se-nasional,” katanya, dalam keterangan resminya.
Baca Juga : Angkat Ikon Geopark di Bandara Hasanuddin, Gubernur Sulsel: Gerbang Awal Promosi Pariwisata Sulsel
Kemudian, pada aktivitas investasi ilegal di periode yang sama, Sulawesi Selatan berada di urutan ketujuh nasional dengan jumlah aduan 155 pengaduan. Adapun di wilayah Sulawesi Barat diperingkat 28 dengan 18 pengaduan.
“Secara trend pengaduan terkait aktivitas keuangan ilegal ini memang fluktuatif, khusus di periode November 2025 jumlah aduan pinjol ilegal di Sulbar relatif tinggi diangka 41, sementara di Sulsel sebanyak satu pengaduan. Kemudian investasi ilegalnya Sulbar empat dan Sulsel satu pengaduan,” jelas Arum.
Ia menjelaskan, secara demografi, pengaduan pinjol ilegal di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar) pada kategori pekerjaan didominasi pegawai swasta sebanyak 45 persen, kemudian wiraswasta dengan 33 persen, dan pegawai negeri sipil (PNS), ibu rumah tangga, hingga tidak bekerja dengan pengaduan masing-masing enam persen.
Baca Juga : Resmi Disetujui, Pemkot dan DPRD Makassar Perkuat Regulasi Kearsipan, Pesantren dan Tata Kelola Keuangan
Sedangkan pada pada pengaduan investasi di wilayah yang sama dengan kategori pekerjaan juga didominasi pegawai swasta sebanyak 26 persen, tidak bekerja 14 persen, wiraswasta persen, ibu rumah tangga 7 persen, dan TNI/Polri dengan jumlah aduan satu persen. Kemudian, jika dilihat pada rentan usia pelapor tertinggi untuk pinjol ilegal yakni 26 hingga 35 tahun, sedangkan untuk rentan usia pelapor investasi ilegal mulai 18 hingga 25 tahun.
“Kalau kita lihat dari demografi ini mungkin bisa kita petakan bahwa memang berdasarkan usia 26 hingga 35 tahun ini banyak generasi-generasi milenial yang saat ini sudah banyak kebutuhan. Sehingga mereka banyak mencari pinjaman atau akses-akses pinjaman melalui pinjaman ilegal seperti itu,” terangnya.
Arum melanjutkan, untuk lima modus terbanyak investigasi ilegal yang dilaporkan di wilayah Sulselbar adalah jasa periklanan dengan sistem deposit, penawaran pendanaan, duplikasi penawaran investasi yang berizin, investasi pertanian atau perkebunan, dan money games.
Baca Juga : IPM Makassar 2025 Tertinggi di Sulsel, Tembus Peringkat 7 Nasional
“Untuk sebaran jenis kelaminnya berbeda dengan data secara nasional, dimana di wilayah Sulselbar ini sebagian besar adalah laki-laki baik di pinjol ilegal maupun di investasi ilegal,” kata Arum lagi.
Berdasarkan data sejak periode Januari hingga 20 November 2025 secara nasional, platform Sipasti telah menerima 22.355 pengaduan dari masyarakat. Mayoritas kasus berkaitan dengan pinjol ilegal, yang mencapai lebih dari 17.965 laporan, disusul investasi ilegal sebanyak 4.390 laporan.
“Dari seluruh pengaduan tersebut, telah dilakukan langkah tegas berupa penutupan lebih dari 2.617 entitas keuangan ilegal. Terdiri dari 2.263 entitas pinjol ilegal, sementara 354 entitas terkait aktivitas investasi ilegal,” ungkapnya.
Baca Juga : Bawa Semangat Solidaritas Antarumat Beragama, Fadel Tauphan Kunjungi Dua Gereja di Malam Natal
Ia menyebutkan, sejak periode 2017 hingga triwulan III 2025, total kerugian masyarakat akibat aktivitas keuangan dan investasi ilegal mencapai angka fantastis, yakni Rp142,22 triliun. Meski tren kerugian terus meningkat dari 2017, pada tahun 2025 jumlahnya mulai menunjukkan penurunan. Dimana hingga November 2025 kerugiannya mencapai Rp201,73 miliar.
“Ini terdiri dari Rp96,67 miliar sedang dalam penanganan aparatur penegak hukum (APH), dan Rp105,06 miliar telah diputuskan atau inkrah,” ungkapnya.
