REPUBLIKNEWS.CO.ID, MAKASSAR — Yayasan Peduli Kelompok Dukungan Sebaya (YPKDS) mendorong bagaimana penanggulangan HIV/AIDS dilakukan secara maksimal. Termasuk dalam ketersediaan logistik obat bagi penderita HIV-AIDS.
Melihat hal tersebut YPKDS pun melakukan pertemuan koordinasi untuk membangun sistem keberlangsungan ketersediaan logistik obat (ARV-TB dan Commodity Service Delivery and Distribution Mechanism). Pertemuan tersebut melibatkan 12 kepala puskesmas di Kota Makassar.
Pengelola Program HIV kota Makassar Harfianti Firman mengatakan, program penanggulangan HIV-AIDS hingga saat ini masih terus diupayakan. Baik di tingkat nasional maupun daerah, bahkan berbagai strategi terus dilakukan oleh pemerintah maupaun pegiat HIV-AIDS.
Baca Juga : IPPI Sulsel Ajak Perempuan Positif HIV di Makassar Lebih Produktif dan Mencintai Diri
“Meski demikian temuan kasus terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan selain temuan kasus, masalah stok ARV sempat menjadi persoalan, yaitu stok yang tidak mencukupi dan masa tenggang obat yang mendekati kadaluwarsa dan persoalan tersebut berdampak hingga ke daerah,” katanya dalam pertemuan tersebut, Jumat (28/10/2022).
Lanjutnya, saat ini tercatat ada sembilan layanan pengobatan HIV-AIDS baru, serta tiga layanan pengobatan HIV yang sedang berjalan.
“Inilah yang kita undang hari ini, kita undang mereka agar supaya mereka tersosialisasi tentang program HIV yang akan baru mereka jalankan,” katanya.
Baca Juga : Sulsel Urutan 7 Nasional Penemuan dan Pengobatan ODHA
Harfianti menuturkan, sebagai pemegang kebijakan sosialisasi terkait HIV-AIDS kepada para kepala puskesmas dinilai sangat penting agar stigma terhadap ODHA (Human Immunodeficiency Virus) tidak terjadi lagi terutama di layanan kesehatan. Pasalnya, stigma diskriminasi juga masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam program penanggulangan HIV/AIDS hingga saat ini. Stigma diskriminasi masih terjadi di masyarakat dan bahkan di layanan kesehatan serta di tempat kerja.
“Disosialisasikan bagaimana program HIV itu sebenarnya bagaimana stigma yang terjadi supaya mereka bisa mengantisipasi hal itu atau meminimalisir lah hal itu, karena mereka ini kan adalah para kepala puskesmas yang pastinya memegang kebijakan,” ujar Harfianti.
Dirinya berharap, para kepala puskesmas agar mensosialisasikan kembali secara internal di puskesmas masing-masing sebagai agar layanan pengobatan HIV bisa lebih baik.
Baca Juga : Jadi Narsum HAS di Lutim, Prof. Dr. Arlin Minta Jangan Diskriminatif Terhadap Pengidap HIV AIDS
“Di tingkat puskesmas dari hasil kegiatan hari ini baik tindak lanjut maupun isi dari materinya itu harusnya disosialisasikan secara internal di puskesmas masing-masing yang nantinya akan jadi pelayan pengobatan HIV,” ungkapnya.
“Kenapa disosialisasikan lagi supaya nanti pada saat layanan HIV nya sudah terlatih dan sudah langsung berjalan, jadi kalau sudah dilatih kan langsung disetting sebagai layanan pengobatan HIV, pas sudah disetting layanan pengobatan HIV artinya kan berbondong bondong mungkin orang HIV akan datang untuk berobat disitu atau teman-teman populasi kunci, supaya jangan ada stigma, supaya mereka paham penularan,” lanjutnya.
Lebih jauh, Harfianti menuturkan orang terkena HIV dan menkonsumsi obat Antiretroviral (ARV) merupakan cara yang efektif mencegah penularan.
Baca Juga : Menuju Zero Kasus HIV-AIDS, Daerah di Sulsel Didorong Segera Bentuk KPA
“Orang yang minum obat ARV sebagai pencegahan penularan HIV beberapa penelitian itu menggambarkan bahwa orang dengan HIV yang sudah mengkonsumsi obat ARV itu hampir 90 persen putus mata rantai penularannya ke orang lain, bahkan ada beberapa ODHA yang suami istri berbeda status yang suaminya positif HIV dan Istrinya tidak, itu tidak terkena penularan. Itu sebenarnya edukasi buat masyarakat,” jelasnya.
Harfianti menjelaskan, alur BPJS menjadi salah satu kendala saat ODHA ingin mengakses layanan pengobatan, baik itu di rumah sakit ataupun di puskesmas.
“Alur BPJS yang menjadi Masalah adalah, teman-teman ODHA ini tersebar ada ditingkat Puskemas ada di tingkat rumah sakit dan sekali lagi diingat mereka minum obat itu bukan hanya 3 bulan atau 6 bukan saja tapi seumur hidup,” terangnya.
Baca Juga : Menuju Zero Kasus HIV-AIDS, Daerah di Sulsel Didorong Segera Bentuk KPA
Harfianti mengungkapkan pihak BPJS mengaku membolehkan ODHA untuk mengambil obat di layanan kesehatan, namun tempat layanan kesehatan terkadang tidak membolehkan karena adanya peraturan internal masing-masing layanan kesehatan.
“kalau alur BPJS begitu peraturannya walaupun pihak BPJS, bilang tidak bisa begitu sebenarnya kalau mereka cuman mau ambil obat saja mereka bisa langsung kok ke layanan HIV nya tidak perlu melalui loket depan itu pihak BPJS yang bilang, tapi tidak begitu kenyataannya di tingkat rumah sakit dan ternyata itu juga ada hubungannya dengan aturan internal nya rumah sakit,” pungkasnya
Harfianti mengatakan, pihaknya akan melakukan audiensi ke rumah sakit untuk memberi pemahaman terkait kendala layanan pengobatan HIV.
Baca Juga : Menuju Zero Kasus HIV-AIDS, Daerah di Sulsel Didorong Segera Bentuk KPA
“Mungkin yang mau di Advokasi, di audiensi yaitu pihak rumah sakit, supaya mereka paham kesulitan yang hadapi oleh ODHIV saat ini,” ujarnya. (*)
