0%
logo header
Jumat, 14 Oktober 2022 14:08

Perjalanan Panjang Upaya Hukum Kasus Kekerasan Seksual Perempuan Disabilitas: Kesaksian Dianggap Lemah hingga Mandek tak Selesai

Redaksi
Editor : Redaksi
Ragam kekerasan seksual perempuan penyandang disabilitas. (Muh. Irham)
Ragam kekerasan seksual perempuan penyandang disabilitas. (Muh. Irham)

Maria menilai, jika penegak hukum tidak memahami karakteristik dari setiap ragam penyandang disabilitas, dan sub ragam yang begitu banyak, maka kemudian dalam proses penyelesaian hukumnya rentan terjadi diskriminasi.

“Ketika karakter penyandang disabilitas tidak dipahami dengan benar, maka kesaksian mereka itu dianggap sebagai kesaksian palsu. mereka dianggap berbohong, dianggap dipengaruhi. Sementara tidak banyak saksi ahli yang bisa menguatkan kesaksian dari mereka sebagai penyandang disabilitas,” sebutnya.

Padahal, seharusnya ada pengecualian yang harusnya diberikan kepada penyandang disabilitas, pada saat berhadapan hukum pada ragam tertentu. Misalnya, jika korban adalah seorang dengan penyandang disabilitas intelektual, dalam menggali informasi tidak harus baku, selayaknya disabilitas lainnya atau masyarakat pada umumnya.

Baca Juga : Cerita Perempuan Pekerja Disabilitas: Saya Dibully Rekan Kerja, Saya Ditolak Siswa

“Seharusnya ada pengecualian, apakah membantu mereka dengan foto, gambar, boneka, atau alat peraga lainnya. Bahkan organ reproduksi secara vulgar pun seharusnya bisa dalam membantu mencari informasi. Tapi ini tidak dilakukan, karena masih sangat terbatas aparat penegak hukum memahami itu,” tegas Maria.

Sehingga hal yang perlu diperkuat adalah prespektif dari aparat penegak hukum dan pendamping. Sebab jika ini diabaikan, maka kemudian membuat korban terseok-seok untuk mendapatkan keadilan, seperti pada kasus Sara.

“Ketika proses hukum tidak sampai kepada putusan pengadilan, maka mereka akan berpotensi menjadi korban berulang, bisa saja oleh orang (pelaku) yang sama atau bisa kemudian menjadi korban oleh pelaku yang baru,” kata Maria.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Kepolisian Sebut Terkendala Anggaran

Terpisah, Kepala Sub Unit (Kasubnit) 1 PPA Porlestabes Makassar Ipda Rahmatia mengklaim penanganan laporan korban kekerasan seksual oleh penyandang disabilitas telah dilakukan sesuai prosedur dan tahapan yang ada.
Apalagi pada umumnya mekanisme pelaporan dan penyelesaian pada kasus kekerasan seksual itu sama dengan korban pada umumnya yakni perempuan dan anak nondisabilitas.

“Kalau secara umum, sama saja dengan laporan-laporan yang lain. Tidak harus kekerasan seksual yang di alami, sama saja semua. Cuman ada beberapa kelebihannya, kelebihan dalam pelaksanaan setelah ada laporan itu fasilitasnya beda, memperlakukannya juga lumayan beda, kenapa? karena orang yang berkebutuhan khusus,” terangnya.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Hanya saja pihaknya mengakui, pada fasilitas yang disiapkan masih banyak kekurangan. Misalnya perlunya ada pendamping khusus kepada korban dengan penyandang disabilitas, sementara diinstansinya belum mampu menganggarkan untuk menyediakan juru bahasa isyarat (JBI).

“Kita memang telah mendorong bagaimana fasilitas ini (seperti JBI) bisa diadakan, hanya saja kendalanya tidak bisa dimungkiri adalah anggaran. Kendalanya itu pasti dana. DIPA yang masuk ke DPPA itu hanya bisa untuk pengadaan ATK, sementara yang lainnya itu belum. Makanya, yang tidak berkebutuhan khusus saja memang masih minim fasilitas, apalagi berkebutuhan khusus karena memang fasilitas yang ada masih sangat terbatas yang bisa kita siapkan,” sebut Ipda Rahmatia.

Bukti Yang Terabaikan

Pelaku kekerasan seksual dengan korban perempuan penyandang disabilitas tidak sedikit adalah orang terdekat. Tercatat ada keluarga, kekasih dan kerabat. (Istimewa)

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPA) Kota Makassar Achi Soleman menilai, kendala yang kerap kali dialami korban kekerasan seksual pada perempuan penyandang disabilitas adalah susahnya mencari bukti.

“Kendala paling mendasar itu ketika mereka (korban) dalam proses pemeriksaan kita sangat susah mencari bukti. Karena saat mereka diminta keterangan, mereka selalu memakai bahasa ibu, sangat sedikit yang mengerti bahasa umum, inilah memang yang menjadi kendala,” katanya.

Hanya saja saat ini DPPA Makassar mulai melakukan pembenahan seiring dengan dorongan Wali Kota Makassar Moh. Ramdhan Pomanto untuk mendorong kotanya menjadi Kota Inklusi.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

DPPA Makassar kini telah membentuk tim jejaring, dalam tim itu, katanya melibatkan pendamping hukum dari seorang perempuan penyandang disabilitas yang tergabung dalam HWDI Sulsel.

“Ini kita lakukan agar ke depannya kami lebih tahu kebutuhan apa yang dibutuhkan dari mereka jika ingin melakukan pendampingan. Termasuk pada from assessment, itu harus lebih detail lagi terkait kebutuhan berdasarkan jenis kedisabilitasannya,” sebut Achi.

Paralegal Perhimpunan Disabilitas Indonesia untuk Kesetaraan (PerDIk) Sulawesi Selatan Zakia menambahkan, pernah melakukan pendampingan namun catatan kasus berhenti karena dinilai lemahnya bukti. Kesaksian korban dengan kondisi disabilitas tuli dianggap tidak kuat untuk menjerat terduga pelaku pada pasal pemerkosaan.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

“Dari empat kasus yang PerDIk Sulsel dampingi itu satu kasus tidak selesai. Itu kasusnya Citra (nama samaran) pada 2018 lalu,” sebut Kia.

Citra menjadi korban penyekapan dan pemerkosaan secara berulang oleh diduga pelaku yang merupakan pengedar narkoba. Berhentinya kasus Citra di tengah jalan karena dinilai tidak cukup bukti. Tidak adanya saksi lain yang berhasil ditemukan kepolisian, selain itu korban dianggap tidak bisa membawa kasus tersebut ke meja pengadilan.

Sementara menurutnya kesaksian korban harusnya sudah bisa dijadikan bukti utama pada kasus tersebut. Adanya hasil visum Rumah Sakit Bhayangkara Makassar yang menyebutkan ada bentuk kekerasan seksual berulang yang dialami korban juga harusnya sudah bisa dijadikan bukti yang kuat.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Setelah peristiwa tersebut, Citra bahkan harus dirawat di rumah sakit karena banyaknya lebam di sekujur tubuh yang diduga hasil kekerasan fisik. Dalam kasus itu Citra bukan saja menjadi korban kekerasan seksual, tetapi juga kekerasan fisik dan mental.

“Kasus itu sejak kami tangani, kami laporkan ke Polrestabes Makassar. Prosesnya berlangsung baik, jadi seluruh berkas sudah dilengkapi oleh kepolisian, tetapi ketika masuk di kejaksaan justru dikembalikan,” ujar Kia.

“Menurut jaksa, belum cukup bukti untuk pasal kekerasan seksual, padahal sudah banyak hal yang ditemukan. Jaksa minta ada saksi lain selain korban, sementara saksi tidak bisa ditemukan. Kalau pun ada, juga ditakutkan akan meringankan pelaku karena teman-teman pelaku semua,” sambung Kia.

Baca Juga : Gubernur Sulsel berikan Penghargaan untuk Disabilitas Berprestasi

Pada penyelesaian kasus perempuan disabilitas berhadapan hukum, utamanya pada kasus kekerasan seksual memang sering kali berhenti atau tidak selesai. Banyaknya kendala pada setiap proses penyelesaiannya dianggap menjadi persoalan yang sering kali ditemui para pendamping hukum. Seperti tidak disediakannya Juru Bahasa Isyarat (JBI) bagi korban dengan kondisi disabilitas tuli, dan tidak diterimanya pernyataan berbeda bagi korban disabilitas mental dan intelektual.

“Saat kami mendampingi kasus ini kami harus menyediakan JBI karena tidak disediakan Kanit PPA Polrestabes Makassar waktu itu. Inilah kendalanya kami, sementara JBI juga masih susah waktu itu. Itulah yang juga menjadi kendala kami,” kata Kia.

Kia mengaku, dalam proses penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan korban perempuan penyandang disabilitas harusnya ada perbedaan jika dibandingkan korban perempuan nondisabilitas. Kebutuhan penyandang disabilitas sangat berbeda, sesuai dengan bentuk kediabilitasannya pun menjadi alasan mengapa perlu adanya perlakuan berbeda.

Halaman
Penulis : Chaerani Arief
Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: [email protected] atau Whatsapp +62 813-455-28646