0%
logo header
Sabtu, 29 Oktober 2022 23:36

Hendak Konfirmasi Malah Diduga Dianiaya

Redaksi
Editor : Redaksi
Agung Setiawan wartawan Mata Publik, saat melaporkan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupayen Jeneponton ke Mapolres Jeneponto. (Istimewa)
Agung Setiawan wartawan Mata Publik, saat melaporkan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh pegawai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kabupayen Jeneponton ke Mapolres Jeneponto. (Istimewa)

Catatan: M. Dahlan Abubakar (Tokoh Pers versi Dewan Pers)

REPUBLIKNEWS.CO.ID, — Media ini memberitakan, seorang wartawan, Agung Setiawan, wartawan “Mata Publik” diduga dianiaya oleh oknum pegawai satu instansi  pada salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda (28/10/2022). Korban bermaksud mengonfirmasi salah satu keluhan warga berkaitan dengan pelayanan di instansi tersebut. Namun boro-boro memberikan keterangan, oknum kepala instansi tersebut malah menyemprotnya dengan amarah. Bahkan korban kemudian diduga dianiaya oleh beberapa orang. Akibatnya, korban melaporkan kejadian tersebut ke polisi setempat.

Agung Setiawan sedang menjalankan tugas jurnalistik dan salah satu unsur penting adalah melakukan konfirmasi sebagaimana dituntut pasal 1 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi:”Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beretikad buruk”.

Baca Juga : Obituari Hasyim Ado: Pernah Dibantingi Pistol

Apa yang dilakukan wartawan tersebut adalah untuk mengonfirmasi laporan warga berkaitan dengan layanan  di instansi tersebut. Yang terasa aneh, justru watawan diminta membawa warga yang melakukan keluhan itu ke kantor instansi tersebut. Tugas wartawan bukan sebagai pendamping warga yang mengalami masalah, tetapi membantu warga mendapatkan klarifikasi dan verifikasi atas keluhannya itu. Lagipula, wartawan tersebut ditugaskan oleh instansinya untuk melakukan klarifikasi.

“Jika ada masyarakat mengeluh langsung bawa ke kantor nanti di layani sama petugas,”ungkap kepala instansi tersebut yang kemudian melontarkan kata yang kurang enak, lalu mengusir wartawan tersebut.

Tindakan pengusiran wartawan dapat dikategorikan sebagai menghalang-halangi kemerdekaan pers yang diemban  seorang wartawan, Di dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pada pasal 4 (1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan atau pelarangan penyiaran. (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (5-Habis)Wawancara Sambil Bermain Golf dengan Wapres

Yang lebih parah, tindakan oknum aparatur sipil negara tersebut   dapat dikategorikan melanggar Bab VIII Ketentuan Pidana Pasal 18 ayat (1) “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan  ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Harus Dicoba

Kasus kekerasan terhadap wartawan kerap berulang. Tidak ubahnya bagaikan film ulangan. Hanya korban dan pelaku-nya yang berbeda. Munculnya kejadian seperti ini, memang harus dilihat dari dua sisi. Pertama, dari segi wartawan itu sendiri. Kedua dari sisi oknum atau calon narasumber.

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (4)Satu Malam, Bobol 4 Kantor BRI Unit

Dari sisi wartawan, dalam kasus Agung Setiawan sudah melakukan langkah yang benar. Melakukan konfirmasi terhadap laporan masyarakat sebelum memberitakan sesuatu informasi. Dalam kenyataannya, banyak media mengabaikan konfirmasi seperti ini. Mestinya, pihak instansi tersebut harus memberikan konfirmasi atas aduan masyarakat tersebut.

Kasus ini menjadi catatan penting bagi petinggi daerah tersebut terhadap tingkah laku bawahannya dalam memperlakukan warga, terlebih lagi para pekerja pers yang menjadi mitra pemerintah. Wartawan merupakan “perpanjangan indra” publik atau masyarakat. Warga yang mengadu mengenai layanan  tersebut saya anggap masih bernalar karena tidak berkeluh-kesah di media sosial. Jika itu terjadi, semuanya akan ‘telanjang bulat’.Tidak ada lagi yang dapat kita bendung dan disembunyikan. Masyarakat memiliki hak untuk menyalurkan aspirasinya meskipun mungkin tidak berada dalam koridor etika.

Bagi para pejabat pemerintah, kasus seperti ini sebaiknya tidak perlu direspons dengan reaktif, apalagi dengan mengeluarkan kalimat yang tidak layak. Aparat pemerintah adalah pelayan masyarakat, bukan memarahi dan memusuhi warga. Apa pun profesi dan stratifikasinya. Wartawan yang datang mengonfirmasi keluhan masyarakat tersebut mestinya harus disambut dengan ucapan terima kasih. Langkah ini masih lebih bagus bila dibandingkan warga itu berkeluh kesah di media sosial.  

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Ketika konfirmasi akan melahirkan kasus seperti ini, itu berarti membuka borok baru yang kian membesar. Tentu ada sesuatu yang disembunyikan dengan mengusir wartawan untuk melakukan konfirmasi. Apa susahnya menjelaskan atau membantah maupun menyangkali laporan atau aduan warga yang disampaikan melalui wartawan tersebut.

Dengan adanya dugaan kasus penganiayaan ini, jelas tidak ada perubahan yang berarti terhadap pengaruh dan eksistensi UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjadi landasan juridis pelaksanaan tugas jurnalistik para wartawan. Kita hanya menyoal UU ini jika terjadi kasus seperti ini dari waktu ke waktu.

Saya kira sudah perlu rasanya mereka yang melanggar UU No.40 Tahun 1999 seperti yang menimpa atas diri Agung Setiawan digiring ke pengadilan dengan dakwaan melanggar pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dan Bab VIII  pasal 18 ayat (1) itu. Saya kira ini perlu agar para pejabat juga memahami pekerjaan seorang wartawan. Kita harus mencoba agar ada efek jera. Jika ini terjadi, saya kira pertama kali terjadi di Indonesia. 

Baca Juga : Mantan Dirut BRI Temu Kangen: (3)Dari Staf ke Posisi Puncak

Saya juga menduga mengapa banyak pihak, terutama para pejabat melakukan tindakan seperti ini, karena organisasi wartawan sendiri tidak pernah menyosialisasi UU-nya sendiri kepada instansi pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Jadi, kita tidak bisa juga menyalahkan masyarakat dan aparat pemerintah, karena mereka tidak pernah memperoleh pemahaman yang jelas mengenai rambu-rambu yang tidak boleh mereka lakukan jika berinteraksi secara fungsional dengan pers.

Kini kita tunggu saja kelanjutkan ksus ini. Sebab, setelah kejadian tersebut korban sudah melaporkan dugaan penganiayaan itu ke polisi. (*)

Redaksi Republiknews.co.id menerima naskah laporan citizen (citizen report). Silahkan kirim ke email: redaksi.republiknews1@gmail.com atau Whatsapp +62 813-455-28646